Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 21 - 10.03 Alvian Putra (Fadh Ainurahman)

Chapter 21 - 10.03 Alvian Putra (Fadh Ainurahman)

Malam ini langit cerah. Bulan bersinar terang dengan banyak kerlip bintang. Semilir angin berembus sesekali, mengajak dedaunan dan rumput menari. Mengisyaratkan setiap makhluk untuk mencari tepat yang lebih hangat.

"Apa baik-baik saja seperti ini?" Seperti aku mengalihkan pandanganku, aku juga mengalihkan pembicaraan kami.

Hening sesaat, kemudian Nisa menghela napas berat. "Mau bagaimana lagi," katanya kembali tertunduk.

"Benar baik-baik saja?" tanyaku lagi.

Kali ini jeda yang berlangsung sedikit lebih lama. Aku tahu Nisa sedang berpikir. Lagi. Menimbang-nimbang. Lagi. Berusaha jujur dengan perasaannya. Merenungkan satu dan beberapa hal.

"Sebenarnya ... aku enggak mau putus." Nisa menjadi lebih jujur dengan mengatakan apa yang dia rasakan. "Tapi ... ada sesuatu yang masing-masing dari aku dan Ilyas sangat kami pegang teguh. Yang sama-sama masih belum bisa ditanggalkan. Mungkin karena ego. Kurasa, aku dan Ilyas hanya perlu waktu sedikit lebih lama untuk berpikir dengan cara masing-masing sebelum menjalin hubungan baru."

"Jawaban yang bijak," pujiku "Benar-benar khas Izzatunnisa."

Kami tersenyum satu sama lain, membuat beberapa beban yang selama ini dipikul, dengan ajaibnya, seolah terangkat dan menghilang. Mencari orang yang tepat untuk diajak bicara ternyata adalah keputusan yang sangat tepat.

"Sudah waktunya pulang!" Kepala Pak Fadh muncul dari pintu yang sedikit ia buka. Karena keranjang belanjaannya yang penuh sudah berada di kasir, kurasa guru itu sudah selesai memilih-milih barang. "Bukannya anak teladan sepertimu tidak baik kalau keluyuran tengah malam begini."

"Guru itu pintar. Tahu sekali cara mengomeliku." Aku berkata pada Nisa dengan suara pelan.

"Bukan guru namanya kalau enggak punya sertifikasi mengomel."

"Saya masih bisa mendengar kalian!" seru Pak Fadh muncul lagi dari balik pintu. Kami tertawa lagi. "Alvian, tunggu saya. Kita pergi sama-sama," tambah Pak Fadh.

"Kalau begitu aku masuk dulu." Nisa melambai padaku dan masuk untuk melakukan pekerjaannya.

Sebenarnya aku masih ingin berbicara sedikit lebih lama. Tapi anak teladan sepertiku memang tidak pantas terlihat keluyuran tidak jelas di jam selarut ini. Aku benci mengakui itu, tapi kata 'anak teladan,' memang selalu lebih mampu mempengaruhiku dibanding kata basa-basi lainnya. Kuakui, guru itu pandai memilih kata untuk diucapkan padaku yang pandai mengelak ini.

Karena perasaanku sudah lebih baik, aku bisa pulang ke rumah dengan tenang.

"Kalau bukan cinta lalu perasaan seperti apa itu?!" Bagian lain dari diriku bertanya, tapi terdengar seperti suara Ilyas yang sedang menghardikku.

Perasaan apa?

Selalu berpihak padanya, berusaha menjaga perasaannya melebihi apa pun, dan ... datang ke sini tengah malam. Kuakui aku ingin melihatnya, aku ingin berbicara dengannya agar merasa lebih baik. Aku ... hanya sekadar butuh teman bicara.

Tapi ... sejak kapan aku membutuhkan teman bicara dibanding membenamkan diri dengan membaca.

Tidak, tidak, tidak! Aku melangkah pulang. Berjalan lebih cepat.

"Apa yang kamu pikirkan, kenapa berjalan cepat sekali?" Pak Fadh yang berjalan di sisiku memecah keheningan. Karena terlalu sibuk dengan pikiranku, aku sampai lupa kalau ada orang lain di dekatku.

Aku menggeleng. Jelas tidak mungkin mengatakan apa yang sedang aku pikirkan. Sangat tidak penting untuk orang lain tahu. Lagi pula aku buka tipe orang yang suka curhat.

"Rumah saya cukup jauh. Sebenarnya Bapak enggak perlu mengantar saya," kataku untuk yang ke sekian kalinya.

Rasanya benar-benar canggung berjalan dengan orang yang tidak akrab denganmu tengah malam seperti ini. Entah kenapa Pak Fadh memaksa mengantarku pulang. Padahal aku bukan anak perempuan dengan kemungkinan bertemu pria hidung belang. Aku juga memiliki kemampuan jadi tidak akan mudah diculik. Aku bisa melindungi diriku sendiri.

"Tidak masalah." Pak Fadh juga menjawab dengan kalimat yang sama untuk ke sekian kalinya. "Anggap saja olahraga malam. Lagi pula kamu adalah salah satu aset berharga yang dimiliki sekolah. Kalau sampai terjadi apa-apa, sekolah yang akan rugi."

Aku tidak tahu apakah Pak Fadh bercanda atau serius dengan kalimatnya. Dia tidak tersenyum. Ekspresi di wajahnya pun tidak berubah. Tapi kuakui kata-katanya benar. Aku memang aset berharga sekolah dan mereka akan rugi jika kehilanganku.

Kalau dilihat-lihat sebenarnya Pak Fadh pandai mendekati murid. Sifatnya juga tidak begitu menyebalkan. Harusnya bisa menjadi guru yang menonjol. Tapi entah kenapa hal seperti itu tidak terjadi. Keberadaannya bahkan sering kali tidak kami sadari. Mungkin Pak Fadh pandai menyembunyikan dirinya atau sedang menyembunyikan kemampuannya.

"Menurutmu Ilyas bagaimana?" tanya Pak Fadh tiba-tiba.

"Ilyas?!" Mendengar nama Ilyas tentu saja aku terkejut. Aku sama sekali tidak berpikir Pak Fadh tertarik pada anak itu. "Saya pikir Bapak lebih tertarik pada Izzatunnisa."

"Oh, kenapa kamu berpikir seperti itu?"

Aku menatap Pak Fadh sedikit lebih lama sebelum menjawab pertanyaannya. Rasanya seperti Pak Fadh sedang memancingku. Tapi memancing untuk apa, aku belum tahu.

"Bapak tinggal di daerah yang sama dengan Nisa. Selain tempat tinggal, Bapak sekaligus bisa menjangkau tempat kerja Nisa dengan mudah," jelasku.

"Tinggal di daerah yang sama bukannya itu kebetulan?" elak Pak Fadh.

"Kalau begitu bagaimana dengan tawaran masuk tim atletik? Apa itu juga kebetulan?" tuturku. Aku yakin kali ini Pak Fadh tidak akan bisa mengelak.

Ada begitu banyak anak di sekolah dan lebih banyak lagi potensi yang tersembunyi. Baru beberapa hari mengajar sudah menawari Nisa masuk dalam tim atletiknya. Dari mana Pak Fadh tahu potensi Nisa. Yang lebih mencurigakan bahkan setelah Nisa menolak bergabung, Pak Fadh tidak berencana mencari anak lain. Artinya tujuan Pak Fadh sejak awal adalah Nisa, bukan karena timnya kekurangan anggota.

"Saya sering melihat Nisa lari pagi. Kekuatan fisiknya sangat bagus dibanding anak-anak yang lain," terang Pak Fadh.

Langkahku berhenti. "Sekarang Bapak mengakuinya?"

Langkah Pak Fadh juga berhenti. "Mengakui apa?"

"Memata-matai Nisa!" tuduhku. "Bapak bahkan tahu kebiasaan Nisa lari pagi." Aku menatap pria itu tajam. Berusaha mencari tahu apa yang sedang ia pikirkan. "Apa yang Bapak rencanakan?!"

Aku tidak sekadar bertanya. Aku sekaligus mengingatkan bahwa apa pun yang sedang coba ia lakukan, aku memantaunya. Jika berani macam-macam, semua tidak akan selesai dengan mudah.

Hening. Pak Fadh tidak langsung membalas kalimatku. Seperti di bawa ke dunia lain aku merasa sekelilingku mendadak terlalu hening. Aku bahkan tidak bisa mendengar suara angin, derit ranting yang bergesekan, atau pun suara binatang malam.

Perasaan apa ini? Apa aku sedang ketakutan? Pak Fadh tidak melakukan apa pun tapi mendadak aku merasa terintimidasi. Mustahil. Aku bukan seorang pengecut.

Ketika aku akan mengalihkan perhatian ke sekelilingku untuk mengembalikan akal sehatku, aku melihat senyum di sudut bibir Pak Fadh.

"Tenang saja. Sudah ada banyak orang yang tertarik dengan keberadaan Nisa. Dan saya bukan salah satu dari mereka." Pak Fadh berbicara dengan suara rendah. Ia menggerakkan kepalanya sebagai isyarat.

Mereka?

Untuk beberapa saat aku hanya bisa mematung. Mencoba mengerti. Berusaha mengurai makna dari setiap kalimat yang Pak Fadh ucapkan.

"Alvian."

Satu panggilan telah menghancurkan seluruh fokusku dalam berpikir. Itu suara khas yang sangat aku kenal. Caranya memanggil namaku berbeda karena huruf L yang seharusnya ada tidak terucapkan dengan jelas.

Seorang pria berusia 45 tahun, Ayah.

[]