Chereads / Di Bawah Langit yang Sama / Chapter 22 - 11. Hari-hari

Chapter 22 - 11. Hari-hari

Putus tidak berarti segalanya telah berakhir. Dunia masih berputar dan hari-hari masih berjalan. Nisa tetap bangun seperti biasa, lari pagi, sarapan, dan membuat bekal. Dan masih sama, masih sering mendengar pembicaraan tidak enak dari belakang.

"Dengar-dengar Ilyas dan Nisa sudah putus." Sebuah pembicaraan terdengar tanpa sengaja.

"Dengar dari mana?" Seorang teman menanggapi tak acuh. Ia sibuk memoles bibirnya dengan pelembab.

"Dengar dari satu sekolah." Si pencerita berkata dengan antusias. "Seluruh penjuru gibahin mereka. kamu enggak tahu?"

Yang diajak cerita menggeleng. Selesai mempercantik diri, ia masukkan kembali pelembab bibir, sisir, parfum, bedak, dan pencuci wajah ke dalam dompet mekap yang ia jepit di ketiak.

"Setelah mereka putus, banyak kakak kelas pada mulai dekatin Ilyas. Dari kelas kita juga ada." Pencerita masih asyik menarasikan apa yang ia ketahui. "Kira-kira kenapa, ya mereka putus? Jangan-jangan Ilyas menyesal. Jangan-jangan ..."

"Kamu sudah selesai rapi-rapi?" Temannya memutus imajinasi yang mulai Pencerita bangkitkan dalam kepalanya. "Kalau sudah, ayo kembali!"

"Ih, kamu. Benar-benar enggak seru kalau diajak gosip," sungut yang bercerita kesal.

Sebenarnya bukan hanya berteman yang membutuhkan orang-orang yang se-frekuensi. Bergosip pun sama. Kalau tidak, cerita seheboh apa pun akan terasa hambar. Berita sebeken apa pun tidak akan nyambung.

Begitu orang yang membicarakannya telah meninggalkan toilet, Nisa keluar dari bilik. Meski mendengar secara kebetulan, Nisa jadi harus tinggal lebih lama dalam bilik. Ia tidak enak jika keluar tiba-tiba. Terlebih orang yang menceritakan dirinya adalah teman dekat saat SMP.

Ini sudah yang kelima kalinya hari ini Nisa mendengar orang-orang bercerita tentangnya. Tidak di kelas, koperasi, perpustakaan, semua orang bergosip tentangnya. Bahkan di depan gerbang saat Nisa baru datang, ia pun mendengarnya walau samar-samar.

"Apa cerita cintaku yang kandas lebih menarik dibanding cerita perselingkuhan Masahiro[1]?Kenapa mereka terus-menerus membahasnya?" Nisa yang merasa kesal hendak menendang pintu bilik tapi kakinya tidak sampai dan nyaris jatuh. Alhasil, ia semakin kesal dan moodnya menjadi buruk sepanjang hari.

Kabar putusnya hubungan Nisa dan Ilyas memang terbilang sangat cepat menyebar. Bagaimana tidak, dua sejoli yang biasanya selalu terlihat bersama, kini menjaga jaga. Seperti dua kutub utara yang saling didekatkan maka akan tolak-menolak. Nisa yang selalu menghindar dan Ilyas yang merasa enggan.

Ilyas tetap datang ke sekolah di menit-menit akhir sebelum bel masuk berbunyi. Tetap sering tidur di kelas, tetap berlatih futsal seperti biasa, dan tetap sering bertengkar tidak jelas dengan Alvian.

Ilyas tidak pernah tahu kalau dirinya begitu populer. Setidaknya baru ia ketahui setelah putus dengan Nisa. Mendadak ia menerima banyak surat cinta dan hadiah. Tidak jarang kakak kelas tiba-tiba mengajaknya berkenalan. Beberapa kali nomor baru menghubunginya. Ini benar-benar berbeda dari bayangannya.

Sepertinya menjadi sandaran saat Nisa dalam masa terberatnya, membangkitkan imajinasi para gadis mengenai kata 'gentle' dan mengayomi dalam diri Ilyas. Meski Ilyas sendiri merasa tidak ada yang ia lakukan selama bersama Nisa.

"Ilyas, aku mau bicara!"

Ilyas celingukan ke sana-kemari, "Kak Dewi?"

Dewi adalah kakak kelas yang sangat populer meski bukan yang paling cantik. Kalau harus menghitung peringkat, Dewi berada di urutan ke tiga dalam daftar siswi paling cantik di sekolah. Banyak anak laki-laki yang mengejarnya.

Tiba-tiba dicegat kakak kelas saat jam istirahat, jelas saja membuat Ilyas terkejut. Lagi, Ilyas celingukan ke sana-kemari sebelum mengajak Dewi berbicara di tempat lain.

"Kenapa kamu enggak membalas pesanku?" tanya Dewi langsung masuk ke inti pembicaraan. "Bukannya aku sudah bilang aku suka kamu. Bukannya harusnya kamu merasa terhormat karena aku suka sama kamu."

"Bukannya sudah kujelaskan juga dalam pesanku. Kita enggak cocok," jawab Ilyas.

"Bagaimana bisa tahu enggak cocok kalau belum dicoba?"

Ilyas berpikir sesaat. Kata-kata Dewi masuk akal tapi ia tidak boleh setuju begitu saja. Kalau ia setuju berarti kalah. Ilyas tidak akan punya alasan lagi untuk menolak Dewi.

"Apa aku enggak sebaik Nisa?" tanya Dewi lagi.

"Tentu ... " Ilyas hampir keceplosan dengan mengatakan 'iya' " ... saja kalian sama-sama baik. Tapi ... sebenarnya ... aku dan Nisa belum putus. Kami hanya ... bertengkar." Ilyas membuat alasan lain.

"Kalau begitu kalian putus saja," usul Dewi seenaknya. "Bertengkar artinya kalian enggak cocok. Jika enggak ada yang mau mengalah, setelah pertengkaran pertama pasti akan ada pertengkaran-pertengkaran lain. Suatu saat kalian akan lelah dengan pertengkaran seperti ini. Jadi, sebelum menyesal di kemudian hari lebih baik mengambil keputusan sekarang."

"Mana bisa seperti itu," tolak Ilyas. "Bukannya dalam sebuah hubungan bertengkar itu hal biasa. Bahkan setelah putus saja masih bisa baikan. Apa lagi hanya bertengkar."

"Kamu tahu, manusia adalah makhluk yang cenderung suka mengulang kesalahan. Berbaikan setelah putus adalah sebuah kesalahan yang paling sering dilakukan. Pada akhirnya mereka akan putus lagi dan lagi. Mereka berbaikan hanya karena emosi sesaat. Bukannya merasa kehilangan orang yang biasanya sering menemani kita setelah putus itu wajar. Tapi mereka bersikap terlalu berlebihan seolah kehilangan setengah dunianya. Padahal dijalani pelan-pelan semuanya pasti membaik. Kembali seperti semula."

Pada titik ini Ilyas melihat Dewi seperti melihat Alvian. Tidak mau kalah saat berdebat adalah ciri khas Alvian. Berteori panjang lebar juga kehebatan Alvian nomor satu. Dua hal itu terlihat jelas dalam diri Dewi.

Ilyas menggeleng, menegaskan bahwa jawabannya telah final. Tidak bisa diubah lagi.

Dewi mendekat ke arah Ilyas. Ilyas mundur memberi jarak. Dewi maju selangkah, Ilyas mundur selangkah. Dewi maju dua langkah, Ilyas mundur dua langkah. Dewi hendak maju lagi tapi Ilyas mengangkat tangannya sebagai instruksi berhenti.

"Aku sudah menurunkan harga diriku dengan mengatakan perasaanku lebih dulu tapi sama sekali enggak dihargai." Dewi mendelik ke arah Ilyas.

"Ah, enggak sampai seperti itu. Kita sudah di jaman emansipasi wanita. Enggak ada salahnya mengatakan perasaan lebih dulu," bujuk Ilyas tapi tatapan Dewi tidak juga melunak. "Bagaimana ... kalau aku kenalkan temanku? Aku kenal orang yang mungkin coco..."

"Ilyas!"

Dewi hendak memukul Ilyas, tapi bel tanda masuk berbunyi. Buru-buru Ilyas memanfaatkan kesempatan untuk kabur.

Avian juga tetap datang ke sekolah paling awal, tetap rutin ke kantin, tetap menjadi pemain cadangan di tim futsal. Tetap meladeni segala keluh-kesah Ilyas.

Pembicaraan Alvian dengan Pak Fadh terakhir kali berakhir mengawang tanpa penjelasan. Sebelumnya Alvian hanya menganggap Pak Fadh misterius, tidak sungguh mencurigai macam-macam. Tapi setelah pembicaraan mereka, tampaknya Pak Fadh patut diwaspadai. Ia harus menyelidiki guru itu.

"Hari ini benar-benar mengerikan." Ilyas yang baru kembali tanpa aba-aba langsung curhat. "Sama sekali enggak disangka kalau Kak Dewi bisa seagresif itu dengan laki-laki. Membuatku takut saja."

Alvian melirik penasaran tapi tidak bertanya. Tidak juga menanggapi.

"Dia juga pandai berteori. Pantas saja dia bisa menjadi juara debat Nasional selama 3 tahun berturut-turut." Ilyas tetap melanjutkan ceritanya. Sama sekali tidak peduli orang yang diajaknya bicara tidak menanggapi. "Karena kupikir kalian mirip, jadi tadi aku mencoba untuk menjodohkan kalian."

Ilyas mendapat sebuah kemajuan. Kali ini Alvian menanggapi. Tidak dengan kata-kata tapi fisik. Alvian memukul kepala Ilyas dengan buku yang ada di mejanya.

"Semoga tadi Nisa enggak melihatku dan Kak Dewi berduaan. Kalau Nisa lihat, dia pasti salah paham. Bagaimana caraku menjelaskan situasinya." Ilyas menghela napas. Ia menatap ke arah Nisa.

"Kalian sudah putus, Nisa enggak akan peduli," celetuk Alvian.

Akhirnya Alvian mengeluarkan suara juga. Padahal suaranya tidak terbuat dari emas, mengeluarkan permata pun tidak, tapi jarang sekali berbicara. Ilyas tadi sempat takut kalau-kalau temannya itu mendadak bisu.

"Aku sudah memutuskan!" kata Ilyas tegas walau dengan suara yang rendah agar tidak terdengar oleh guru di depan kelas. "Aku hanya menganggap kalau kami hanya bertengkar."

Alvian sungguh terkejut mendengar kata-kata Ilyas. Ia mengerutkan keningnya, menggeleng, kemudian memasang ekspresi random.

[]