Lebih dari tujuh jam aku fokus pada apa yang aku baca. Ketika mataku mulai kelelahan, aku akhirnya jatuh tertidur.
"Alvian ... Alvian."
Rasanya baru sejenak terpejam ketika suara yang memanggil namaku membuatku terusik. Disusul suara isak tangis tidak lama kemudian. Tangis yang begitu dekat dan terdengar begitu pilu. Ini bukan kisah horor jadi sama sekali tidak ada kesan mistik yang kutangkap. Lagi pula aku sudah sangat terbiasa tiba-tiba mendengar suara isak tangis seperti ini di tengah malam.
Sumber suara berasal dari kamar sebelah. Lebih tepatnya dari kamar ibuku. Sebenarnya ini membuatku jengah. Aku benar-benar benci drama seperti ini. Tapi aku bisa apa. Aku tidak memiliki kuasa untuk menghentikan drama yang terus berulang ini.
Ibuku adalah tipe wanita yang membutuhkan pria melebihi hidupnya sendiri. Hal itu baru disadarinya setelah kepergian Ayah yang tukang selingkuh.
Memiliki seorang Ayah yang tukang selingkuh dan Ibu yang haus kasih sayang, betapa beruntungnya hidup dalam keluarga ini. Dan, keluarga ini benar-benar hancur setelah mengorbankan salah satu dari anak mereka. Berduka hanya pada awalnya tapi sampai akhir mereka tetap tidak berubah. Tidak sedikit pun.
Sebagai seorang anak harusnya aku selalu berada di sisi ibuku. Tapi sifatnya yang kekanak-kanakan dan terlalu sering merengek terkadang membuatku muak. Seolah sama sekali tidak peduli dengan perasaanku. Hanya agar ayah mau datang dan menjenguknya, ibu bahkan sering mengancam akan bunuh diri.
Jika tidak ingin kehilangan seharusnya pertahankan sampai akhir. Toh, jika bersangkutan dengan wanita ayah adalah orang yang paling mudah luluh. Ayah tidak akan tega saat melihat Ibu menangis dan memohon. Setelah Ayah luluh, Ibu tidak tahan jika tidak memulai pertengkaran. Ibu menuntut untuk dijadikan satu-satunya prioritas. Selalu seperti itu. Berulang.
Memikirkan keluargaku dengan segala lakonnya membuat dadaku sesak.
"Tunggu dulu!" Aku menyadarkan diri sepenuhnya. Harusnya ini tidak benar. "Ah sial! Aku terperdaya lagi." Aku menghantamkan satu pukulan ke atas meja.
Aku mengambil jaket, berpenampilan dengan benar, dan meninggalkan rumah. Aku butuh udara segar.
Malam ini tidak begitu dingin. Musim telah berubah. Langit tampak cerah dan rembulan bersinar terang. Jalan tenang dan sekelilingku sunyi senyap. Kendaraan bermesin hanya lewat satu-dua dan itu pun dalam jeda yang lama.
Di kota kecil seperti ini, keheningan dan ketenangan mudah ditemukan. Saat masuk tengah malam, akan jarang ada orang yang menghabiskan waktunya di luar. Berbeda dengan kota tempat sebelumnya aku tinggal. Kota yang tidak pernah tidur.
Langkah demi langkah kulewati, berjalan di atas trotoar yang sepi. Menyesapi ketenangan yang sangat kubutuhkan di tengah banyak hal yang memenuhi kepalaku.
Aku tidak tahu sudah berapa lama berjalan. Tapi jika harus menghitungnya aku hanya perlu membagi jarak tempuh dengan kecepatanku. Dan, berdiri di sinilah aku sekarang. Pada jarak di mana aku dapat melihat dengan jelas sebuah swalayan 24 jam dengan lampu-lampunya yang benderang.
Aku datang tanpa pertimbangan dan tanpa banyak berpikir. Aku tahu malam ini sampai satu minggu ke depan jadwal Nisa jaga malam. Karena itulah aku datang.
"Bisa beri aku rokok?"
"Alvian!"
Nisa terlihat terkejut dengan permintaanku. Tentu saja. Karena selain Ilyas, tidak satu orang pun pernah melihatku memegang rokok. Atau mungkin Nisa terkejut dengan kedatanganku di jam seperti ini. Jelas, karena orang yang biasanya datang di waktu-waktu tidak terduga adalah Ilyas.
"Bisa beri aku rokok?" ulangku.
Aku adalah siswa SMA, Genius, disiplin tinggi, dan teladan bagi anak-anak lain seusiaku. Aku tahu. Dan aku juga tahu hanya dengan sekali menyulut rokok tidak akan membuat nilai-nilaiku jatuh atau pihak sekolah mengeluarkanku. Tidak juga karena keluyuran tidak jelas di tengah malam maka predikatku akan dicabut. Jika itu terjadi, mereka yang akan rugi.
Aku adalah anak dalam keluarga berantakan. Meski seperti itu aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku bisa menjadi lebih baik dibanding seluruh anak-anak lain seusiaku. Aku membenamkan diri dengan membaca buku siang dan malam. Aku melakukannya lebih giat dari siapa pun. Mengerjakan semuanya dengan sempurna.
Sampai akhirnya orang-orang menyadari keistimewaanku sebagai anak yang luar biasa, orang tuaku tetap menatapku sebagai anak yang sama. Yang bisa mereka abaikan. Dan mungkin, yang bisa mereka buang kapan pun.
"Aku benar-benar butuh rokok sekarang," kataku lagi karena Nisa tidak juga memberi apa yang aku minta.
"Aku sampai kaget. Ternyata seorang Alvian punya sisi yang seperti ini juga." Nisa berujar sembari bola matanya bergerak ke arah lain.
Belum sempat aku mereaksi gerakan bola mata Nisa, tahu-tahu tiga permen mint sudah mendarat di telapak tanganku.
"Tengah malam begini bukannya tidur di rumah, malah keluyuran mencari rokok." Suara yang sangat kukenal berbicara padaku. Pak Fadh Ainurahman. "Kamu anak futsal, 'kan, bukannya kamu tahu kalau merokok tidak bagus untuk fisik?" tambahnya mengomel.
"Iya, Pak," kataku sembari menunduk.
"Alvian Putra, hanya kali ini saja saya akan berpura-pura tidak mendengar apa yang baru saja kamu minta." Pak Fadh mengakhiri. Aku menganggukkan kepala dengan sungkan.
"Aku enggak sempat bilang kalau ada guru sekolah kita belanja di sini," Nisa menimpali. Tatapannya seolah-olah sedang meminta maaf, tapi sudut bibirnya tersenyum jahil.
Pak Fadh juga ikut tersenyum. Sekarang, bertambah satu orang lagi yang mengetahui sisi lain dari diriku. Bahwa aku anak teladan yang terkadang suka memberontak dengan melakukan kenakalan seperti merokok.
"Kamu benar-benar merokok?" Nisa bertanya memastikan.
"Kenapa, apa aku terlalu suci untuk itu?"
Nisa tergelak mendengar jawabanku yang spontan. Aku dan Nisa mengobrol di kursi panjang, sementara dua pegawai laki-laki yang lain berjaga sembari mengobrol seru. Sesekali suara mereka terdengar sampai di teras depan.
Di jam-jam seperti ini pembeli sangat jarang. Hanya ada beberapa orang dan beberapa yang lainnya datang di waktu-waktu tertentu, seperti ketika bus perusahaan tambang menurunkan karyawannya. Atau orang yang singgah karena kebetulan lewat. Aku tahu itu karena Nisa pernah bercerita pada Ilyas ketika kami bertiga sedang makan siang di kantin.
"Bukan," Nisa menggeleng "Soalnya Ilyas enggak pernah cerita. Padahal dia ..." Suara Nisa berubah pelan dan urung melanjutkan kalimatnya. Lagi-lagi dia menyebutkan nama Ilyas tanpa sadar.
"Iya, aku yang minta agar jangan bilang ke siapa-siapa. Aku tahu kalau anak itu cukup bisa dipercaya."
"Kenapa? Apa kalau orang lain tahu kesucianmu bakal ternodai?" canda Nisa mencairkan kecanggungannya sendiri. Aku menanggapi dengan ikut tertawa. Tidak ingin memperpanjang lelucon tidak menyenangkan ini.
Hening.
"Bagaimana ... kabar Ilyas?" Nisa bertanya, kembali merasa canggung.
"Caramu bertanya seperti enggak pernah ketemu saja. Bukannya kita masih satu sekolah dan pagi tadi juga masih ketemu."
"Iya sih, tapi enggak terlalu kuperhatikan," jawab Nisa malu-malu.
"Karena Nisa terlalu sibuk menghindar," kataku terlalu berterus terang.
"Apa kelihatan sejelas itu?" tanya Nisa polos.
Nisa yang sejak tadi berbicara dengan menunduk akhirnya mengangkat wajahnya. Sepasang mata beningnya menatapku. Tidak ingin tersihir oleh daya tariknya, buru-buru kualihkan pandanganku ke tempat lain.
[]