Chereads / Membenci Sebuah Janji / Chapter 4 - Awal Yang Menyakitkan

Chapter 4 - Awal Yang Menyakitkan

"B-berapa hutangnya?" tanya Bella terhadap laki-laki menakutkan itu. 

"2 Milyar!" ungkapnya yang membuat dua saudara itu menganga tak menyangka. 

"Itu uang yang tidak sedikit. Buat apa dia meminjam uang sebanyak itu? Sedangkan uang yang ditinggalkan ayah, pasti berlipat-lipat" teriak Simon. 

Pertanyaaan tersebut tidak dijawab Bella. Dia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Apa yang harus diberikan kepada orang menakutkan ini. Bella tidak mengerti kenapa ibu tirinya senang membuatnya menderita. 

"Apakah ada bunganya?" tanya Bella ragu-ragu.

"Itu sudah termasuk dengan bunga. Jadi, cepatlah bayar hari ini juga. Kamu tidak mungkin tidak punya uang, 'kan?" tanya pria itu dengan tatapan mesumnya. 

Bella memundurkan tubuhnya takut. Beruntung sekali, Simon langsung menghalangi mereka. 

"Wah, kamu adik yang baik ternyata. Jadi, kamu yang akan membayarnya?" tanya pria itu dengan nada mengejeknya.

Mendengar hal itu, Simon langsung menunduk. Dan Bella pun menyelinap masuk diantara mereka.

"Bisakah bayarnya besok saja? Kami baru pindah dan sangat lelah hari ini," mohonnya. 

Bella benar. Mereka sangat lelah hari ini. Apalagi Bella, dia mengalami beberapa kali kesialan hari ini. Rasanya, seperti tertimbun tangga beberapa kali. 

"Cuih, sombong juga kamu, ya. Jika kamu tidak bisa bayar besok. Kamu akan tahu akibatnya," jawabnya yang mengancam sambil melirik rok pendek yang digunakan Bella.

"Saya berjanji!" kata Bella yang menutupi roknya dengan jaket.

Mereka pun mengangguk sambil meniupkan asap rokok di wajah Bella, dan melangkah dengan tawa yang semakin hilang.

"Mereka tertawa? Kakak, cucilah wajahmu. Asap rokok dari mulutnya akan membuatmu buruk rupa," desisnya. Kemudian, duduk dan memakan permen karet. 

Bruk!

Bella menjatuhkan diri di depan pintu. Membelakangi Simon. Gadis itu, entah air mata yang keberapa kali dia jatuhkan. Sedangkan, si manusia gengsi menghampirinya. Menenangkan gadis itu walaupun dirinya juga rapuh. 

"Kak, aku tahu ini berat. Aku akan mencari pekerjaan tambahan untuk membayar hutang. Tenanglah! Lagian, besok kita akan mendapat gaji. Mereka tidak akan menyakiti kakak. Kita bisa memberikan mereka uang besok," rayu Simon yang terlalu cepat dewasa, menurut Bella. 

"Bolehkah aku memelukmu? Huhuhu," pinta Bella. 

"Tidak! Ingusmu bisa-bisa menempel di bajuku. Ini baju kesayanganku," balasnya sembari bercanda.

"Hey! Itu baju dariku,' kan? Kalau begitu, aku boleh memelukmu," balasnya dengan tangisan yang menjadi-jadi. 

Simon membalas pelukan Bella. "Jika seperti ini, aku yang seperti kakak, 'kan?" kata Simon yang berbangga diri. 

"Benar. Kamu sudah berjanji waktu kecil akan melindungiku," jawabnya senang. Pelukannya semakin erat. 

"Kapan aku mengatakannya? Aku tidak ingat," tampiknya sengaja. Simon benar-benar anak yang gengsi. Namun, dia memiliki rasa cinta yang besar untuk keluarga terutama Bella. 

"Kamu selalu gengsi! Aku tahu kamu!" sindirnya. 

"Kamu tidak tahu apa-apa," balasnya.

"Aku tahu, kamu saat ini sedang mendekati gadis itu, 'kan?" sindirnya.

"Gadis yang mana? Ah, selalu merasa paling tahu terus," ucapnya dengan bibir mengerucut. 

"Gadis berambut pendek dan berponi itu, lho. Aku tidak tahu namanya. Tapi, kamu terlihat perhatian padanya," cakapnya dengan suara sedikit serak. 

"Kakak menyewa mata-mata untukku?" kata Simon yang marah kepada Bella. 

"Kamu bodoh ternyata. Aku tidak punya uang untuk menyewa mata-mata," kata Bella yang memutar bola matanya cepat. 

"Kita miskin. Hahaha," ucap Simon sembarangan. 

"Ish! Semoga kita jadi kaya, ya, Simon," ujarnya dengan mata yang tersenyum. 

"Kita pasti bisa, kak. Kita berjuang bersama dari awal, ya. Lucu rasanya. Mungkin ayah dan ibu seperti ini dulu," ungkapnya sambil berjalan ke luar. 

"Mau kemana, Simon?" tanya Bella.

"Mau melihat bintang. Kakak mau melihatnya, 'kan? Ayo!" ajak Simon yang berjalan di depan Bella dengan kedua tangannya yang dimasukan di saku celana pendeknya. 

"Rumah ini punya balkon. Kakak bisa melihat bintang kapan saja," ucapnya. 

"Wah! Benar juga. Saat membersihkan rumah ini, aku belum sempat melihat dengan detail ternyata. Terima kasih, Simon," ungkap Bella yang merasa bahagia walaupun sederhana. 

"Tidak sia-sia ya, ibu mengajarkan kita. Walaupun serba kekurangan, aku bahagia karena masih memiliki keluarga. Dan bertukar keluh kesah maupun kebahagiaan bersama kakak," ungkapnya yang melihat Bella dengan tatapan hangatnya. 

"Terima kasih juga, sudah menjadi adik yang baik. Semoga kebahagiaan selalu dekat dengan kita, ya," balasnya sambil menatap bintang yang bertaburan. 

Pembicaraan ringan mereka berhenti. Setelah salah satu dari mereka menguap karena angin merayunya untuk segera tidur. 

"Kakak, tidurlah lebih dulu," perintahnya.

"Tidak apa-apa aku tinggal sendiri?" tanya Bella. 

"Tidak apa-apa. Aku bukan anak kecil lagi. Tidurlah, besok kakak harus bekerja," kata Simon yang masih betah menatap bintang. 

Bella sudah menikmati mimpi indahnya sekarang. Dan Simon juga sudah selesai menatap bintang. Angin malam memasuki sela-sela tubuhnya. Takut masuk angin dan akan merepotkan Bella. Jadi, dia berinisiatif masuk. 

Simon mencari-cari tasnya jika terdapat mie instan. Sayang sekali, dia hanya menemukan kopi yang dibungkus plastik karena tidak diminum pelanggan di restoran. Sayang sekali jika di buang. 

Simon pun melihat isi dompetnya. Hanya tersisa untuk membeli mie instan paling murah. "Ayah, ibu, aku sekarang lebih sering kelaparan, haha. Kak Bella juga. Kasihan, ya, kita. Tapi, ayah dan ibu tidak perlu khawatir. Kami ini anak hebat, lho," ucapnya terhadap dompet lusuh dengan uang recehan. "Aku beli sekarang saja," sambungnya.

Simon sudah membeli mie instannya. Saat berjalan ke dapur untuk memasak, dia teringat yang sedang tidur di kamar. 

"Tidak nyaman aku makan sendiri," batinnya. 

Tok! Tok! Tok!

"Kak, sudah tidur, ya? Mau mie instan, tidak? Aku membeli dua. Aku sudah makan," kata Simon. 

Di balik selimutnya, Bella membuka matanya. 

"Cih, kenapa tidak makan saja sendiri. Masih saja memikirkan kakaknya. Aku jadi terharu," batinnya. 

"Sudah tidur, ya. Aku makan sendiri, ya," ucap nya kepada pintu coklat itu. 

Setelah selesai memberi mie ke perutnya, Simon teringat seseorang saat berjalan tadi. Dia pun pergi lagi tanpa meminta izin kepada Bella. 

"Ck, dia masih ada di sana," ucapnya dengan rahang yang mengeras. 

Tatapan Simon kepada laki-laki berbaju biru itu seperti akan membunuh tanpa ampun. "Hey, Josh!" Simon memanggilnya dengan volume yang tinggi. 

Bagaikan kepiting yang direbus dengan air panas, Josh memasang muka semerah itu. 

"Ah, Simon, kamu tinggal di mana? Bolehkah aku bertemu kakakmu? Tolong izinkan aku," pintanya sambil melihat kanan kiri. 

"Kakak, ya," kata Simon dengan suara yang pelan dan menundukan kepalanya, serta tangan mengepal yang dia sembunyikan. 

Bugh! Bugh!

Josh terjatuh lebih mudah saat Simon meninjunya. 

Namun, ada yang melihat semuanya dengan panik saat ini. Perasaan marah wanita berbaju seksi itu berkobar seperti api yang akan melalapnya. 

"Simon! Apa yang kamu lakukan kepadanya?! Tunggu pembalasanku," kata Cindy yang mulai menancap gas mobil hitamnya. 

Brugh!!! 

"Cindy! Apa yang kamu lakukan?" kata Josh yang susah untuk berdiri. 

"Cepat masuk. Jalan ini sepi. Kita harus pergi! Bahaya jika orang mengetahuinya," ucap wanita itu terburu-buru

"B-baiklah," jawab Josh. Melompat ke arah mobil milik Cindy. 

Cekrek! 

Tanpa mereka sadari, seseorang berbaju hitam mengambil bukti Simon di tabrak oleh Cindy.