[Serra: Inilah yang dilihat anak buahku saat mengikuti Luna hari ini, Tante. Sepertinya hubungan Gino dan Cinta benar-benar semakin dekat. Luna terlihat mengunjungi apartemen Gino malam ini. Entah dia memang sering berkunjung ke sana atau malah mereka sudah tinggal bersama, namun yang jelas sepertinya status mereka sudah lebih dari sekadar teman.]
Bertha baru membuka foto-foto yang dikirimkan oleh Serra di keesokan harinya. Di mana wanita itu cukup terkejut dengan informasi itu. Selama ini dia hanya memanfaatkan kedekatan Luna dan Gino untuk menjauhkan putranya dari sang cinta pertama. Dia tahu kalau Gino memang menyukai Luna sejak lama, tapi dia berpikir kalau Luna hanya menyukai Rafael. Dia hanya menganggap Gino sebagai temannya semata.
Namun apa ini? Bagaimana bisa Luna pulang ke apartemen Gino seperti itu? Tentu saja sebagai dua orang dewasa, hanya ada satu kemungkinan saja kenapa mereka bersama di sana semalaman. Tak perlu teka-teki sulit untuk memecahkannya.
'Jadi mereka kini berhubungan seperti itu? Luna mau berpacaran dengan Gino, padahal dulu mereka sahabatan?' Bertha sangat tak habis pikir. 'Ya. Sebenarnya dari awal aku nggak pernah suka pada wanita itu dengan alasan tertentu. Dia pasti nggak sebaik kelihatannya. Tapi yang tidak kupercaya adalah Gino. Dia kan pemuda baik yang selalu menjaga dan melindungi Rafael. Kenapa bisa dia tetap berusaha mengejar wanita yang disukai sahabatnya? Mungkinkah karena kini hubungan mereka sudah rusak, sehingga dia tak mau ambil pusing?'
Tapi sudahlah. Itu bukan urusannya. Justru hal ini akan lebih baik buat Bertha, karena ini akan mempermudah baginya untuk membuat Rafael melupakan Luna. Sehingga dengan begitu putranya itu bisa lepas sepenuhnya dengan sang cinta pertama yang menurutnya tak ada gunanya.
"Apa yang kamu lihat? Kenapa diam saja dari tadi?"
Bertha sedikit terkejut. Dia tersentak, sebelum berbalik. Menemukan suaminya yang memandangnya keheranan.
"T-Tidak. Tidak ada apa-apa," kata Bertha sambil menyembunyikan ponselnya.
Namun Abraham masih menatapnya dengan curiga.
"Kamu tak terlibat hal aneh-aneh lagi, bukan? Hal yang pastinya berisiko dan bisa membuat Rafael terlibat hal-hal tak penting lagi seperti sebelumnya?" kata Abraham masih tak mau menyerah.
"Kenapa kamu berpikiran begitu?"
"Kamu terlihat aneh. Biasanya kamu begini kalau ada yang kamu lakukan."
Bertha memang belum bercerita pada Abraham kalau permasalahan amnesianya Rafael belum sepenuhnya selesai dibersihkan. Kini buntutnya masih saja mengikutinya, sehingga menganggunya seperti sekarang. Dia harus mau bekerja sama dengan Serra agar Serra tak memberi tahu Rafael tentang campur tangannya dengan masalah itu.
Namun masalahnya… bagaimana kalau Abraham sampai marah terhadapnya? Karena suaminya itu pasti tidak akan mau dilibatkan dengan segala kerumitan itu. Padahal daari dulu selalu Serra yang bertindak. Sementara Abraham hanya bisa memerintah dan marah-marah.
'Sudahlah. Kapan-kapan saja kuceritakan padanya. Saat masalahnya terselesaikan. Lagipula dia tidak akan membantu dan hanya akan sibuk mengomel padaku.'
"Tidak. Tidak ada apa-apa. Ini hanya masalah arisan. Sudahlah. Sebaiknya kamu siap-siap, bukankah kamu harus masuk sangat pagi hari ini karena ada pertemuan. Segeralah berangkat daripada membuang waktu begini."
Bertha mengajak suaminya ke luar. Mengabaikan tatapan menyelidik suaminya itu. Menyeretnya ke luar.
"Kamu mencurigakan sekali. Pokoknya kamu jangan berbuat macam-macam, Bertha. Jangan lakukan yang aneh-aneh lagi seperti waktu itu. Aku tak mau ketenangan di rumah ini terganggu."
'Justru yang kulakukan adalah untuk menjaga ketenangan di rumah ini. Untuk mencegah Rafael jadi marah terhadap kita. Tapi kamu tak akan mengerti. Jadi nanti saja kujelaskan.'
Bertha mengantarkan suaminya itu hingga naik mobil di depan teras. Lantas setelah menunggu mobil itu berjalan meninggalkan kediaman mereka itu, dia kembali memasuki rumah tersebut. Bersiap untuk menyambut sarapan dengan putra semata wayang kesayangannya itu.
"Apa Rafael sudah bangun ya? Apa tidak ada masalah juga dengan pakaian atau segala maca?" tanya Bertha pada dirinya sendiri saat sampai di meja makan.
Omong-omong Rafael kini tak punya pelayan khusus lagi. Padahal dulu dia selalu membutuhkan bantuan pelayan di banyak hal dalam kesehariannya, namun kini dia ingin melakukannya sendiri. Dia tak mau dibangunkan atau diganggu ketika bersiap di pagi hari. Sehingga pelayan hanya perlu menyiapkan pakaiannya saat dia tak ada di kamar.
Tapi untunglah sejauh ini terlihat aman-aman saja. Rafael bisa menghandle segala kebutuhannya sendiri. Dia juga selalu muncul di meja makan tepat di jam sarapan. Sehingga tak ada yang perlu dicemaskan sama sekali.
'Aku ingin dia cepat keluar. Karena… aku harus menunjukkan foto ini padanya.'
***
Rafael ternyata ke luar kamar di jam yang biasanya. Dia segera berjalan menuju meja makan, di mana dilihatnya Bertha sejak mengitak-atik ponselnya. Tampak sendirian tanpa kehadiran kepala keluarga mereka di sana.
"Wah… ternyata mereka memang tak berubah. Sama saja."
Rafael mengernyitkan dahi saat mendengar gumaman sang ibu. Lantas berjalan semakin mendekat padanya.
"Siapa yang nggak berubah, Ma?"
Bertha tampak terkejut. Dengan cepat mengangkat wajahnya pada sang putra, sebelum menyembunyikan alat komunikasi miliknya tadi di belakang punggung.
"E-Eh, Raf. Kamu sudah ke luar? Kenapa tiba-tiba?"
"Mama bicara soal siapa?" tanya Rafael sambil mendudukkan tubuhnya di kursi.
Bertha tampak tak menyahut. Dia malah mengalihkan pandangan dengan penuh ragu-ragu dari Rafael. Tentu saja membuat pria itu jadi semakin penasaran.
"Ada apa? Kenapa reaksi Mama aneh begitu? Apa ini ada hubungannya denganku."
Bertha tampak masih diam. Membuat sang putra semakin keheranan saja.
"Sepertinya memang ada hubungannya denganku, kan? Ada apa sih? Jangan menyembunyikannya."
"Kamu nggak perlu tahu."
Rafael mengernyitkan dahi. Dia semakin merasa curiga saja pada sang ibu. Namun ada sedikit firasat di dalam dirinya.
"Jangan bilang… ini ada hubungannya lagi dengan dua orang itu? Dua pengkhianat yang sempat mengusik hidupku beberapa bulan yang lalu."
Kegugupan Bertha membuat dia jadi semakin curiga.
"Jadi ini memang soal dua orang itu? Tch, Mama masih saja mengurus mereka. Tidak penting sekali. Kubilang berhentilah… biarkan mereka hidup sendiri. Kita jalani hidup sendiri."
"Gimana mungkin kita membiarkan mereka begitu saja setelah semua yang mereka lakukan kepada kamu? Kepada kita?"
Rafael memilih tak ambil pusing dan malah mulai memilih menu makanan yang mengisi perutnya untuk hari ini. Namun tentu saja Bertha tak akan membiarkannya lolos begitu saja. Karena dari awal dia punya tujuan sendiri membahas hal ini di depan sang putra.
"Sepertinya sekarang mereka tinggal bersama. Jadi… Mama menyewa seseorang untuk mengikuti mereka, suruhan Mama itu melihat Luna memasuki apartemen Gino tadi malam. Mama bahkan punya fotonya."
Gerakan Rafael tampak terhenti. Dia tampak membeku. Pertanda kalau usaha Bertha ini tepat sasaran. Sang putra memakan pancingan darinya.
***