Keheningan terasa di dalam mobil ini. Saat Gino membawa Luna untuk meninggalkan gedung kontrakannya itu, lalu menyusuri gang yang tampak masih lumayan ramai walau sekarang lewat jam satu dini hari.
Gino sejenak menghela napas. Dia melirik Luna yang tampak meringkuk kedinginan dan ketakutan di jok samping kemudi. Tampak masih sangat syok dengan apa yang terjadi.
"Apa sebaiknya kita lapor polisi saja? Karena ini sudah termasuk peneroran yang parah?" tanya Gino sambil masih saja mengemudikan mobilnya. Kali ini mereka telah sampai di ujung gang, lalu menyusuri jalan raya.
"Y-Ya. Tapi nanti saja. Saat keadaannya sudah lebih tenang saja. Baru pikirkan lagi," sahut perempuan itu tak lama kemudian.
"Pokoknya kalau kamu membutuhkan bantuanku, kamu tinggal bilang saja ya, Luna."
"Ya. Terima kasih, Gino."
Gino melirik Luna sekali lagi. Dilihatnya bagaimana tubuh mungil itu masih saja bergetar. Menandakan kalau ketakutan benar-benar berhasil mengalahkan sosoknya yang biasanya tegar itu. Menandakan kalau Gino sangat berhasil menjalankan rencana liciknya di belakang semua ini.
'Karena memang inilah yang paling kuinginkan.'
"Tapi selanjutnya kamu mau aku membawa kamu ke mana?"
Lamunan sang gadis langsung buyar lagi ketika diajak bicara oleh sang mnajer kafenya. Tampak berpikir masih dengan penuh keraguan.
"E-Entahlah. Mungkin sebaiknya di salah satu hotel?"
"Kenapa hotel? Bukankah baiknya pulang saja ke rumah kamu saja? Sehingga keluarga kamu bisa menjaga kamu."
"E-Enggak, Gin. Aku nggak mungkin pulang dalam keadaan begini. Selarut ini." Luna menghela napas dengan panjang lagi. Sebelum kemudian dia menundukkan kepala. "Aku nggak mau membuat mereka khwatir. Terutama… karena Bapak masih sakit. Jadi… antar aku ke salah satu hotel saja. Di sana pasti aman."
"Gimana kalau ke apartemenku saja?"
Gino kembali menjatuhkan bom. Kembali dia menebar jala untuk memancing hati dan perhatian Luna. Untuk mengarahkan semua ini untuk semakin sesuai dengan rencananya selama ini.
"Dibanding hotel, kamu bisa lebih bersantai di sana. Banyak makanan juga, termasuk camilan kesukaan kamu. Selain itu kamu pasti akan lebih aman karena ada orang yang menjaga kamu. Di hotel sih memang ramai dan ada pihak keamanannya, namun… melihat keadaan kamu sekarang kayaknya kamu nggak bisa ditinggal sendiri."
"N-Nggak usah, Gin." Luna menyahut cepat. "A-Aku nggak mau lebih merepotkan kamu."
"Nggak ada yang merasa direpotkan kok, Luna. Kamu tahu kan kalau aku selalu senang – bahagia malah – dapat membantu kamu. Lagipula menjamin keamanan kamu juga merupakan hal yang membuatku bisa tidur nyenyak malam ini. Sehingga aku pun nggak kepikiran." Gino memandang lurus lagi ke depan sana sebelum melanjutkan. "Tapi tentu saja… kalau kamu percaya padaku. Kalau aku… nggak bakal berbuat macam-macam sama kamu."
"Tentu saja aku percaya."
Seperti harapannya, Luna menyahut dengan cepat. Melirik ke arahnya juga dengan ekspresi serius.
"Aku selalu tahu kamu itu baik, Gino. Kamu selalu menjaga dan melindungi. Selain itu juga fakta kalau kamu mencintaiku, di mana kamu sering menyatakannya padaku. Jadi tentu saja aku percaya pada kamu." Luna berkata begitu sambil menunduk lagi. "Tapi sungguh, aku nggak mau kamu kerepotan karena aku. Selain itu… rasanya nggak mungkin kalau kita yang belum menikah berada di satu kamar apartemen yang sama, bukan?"
"Sekali lagi aku nggak kerepotan, Luna. Jangan khawatirkan hal itu. Dan… mengenai pendapat orang. Hidup di apartemen tidak ada yang memedulikan hal itu, Gino. Semua orang hidup sendiri-sendiri. Jadi kamu nggak akan khawatir. Lagipula kalau kamu nggak nyaman untuk malam ini aja, sampe kamu tenang. Besok mau kamu tidur di hotel, pulang ke rumah orang tua kamu, atau sebagainya… aku tidak akan keberatan. Tapi malam ini biarkan aku menjaga kamu ya?"
Luna lagi-lagi tak bisa menjawab. Ucapan Gino terkesan sangat tulus, sehingga menyentuh hatinya. Selain itu pada nyatanya memang dia belum siap untuk ditinggal sendiri.
***
Selang beberapa menit saja, mereka sampai di depan pintu unit apartemen Gino. Pria itu tampak langsung berusaha membuka pintu dengan kode. Sementara Luna hanya menunggu di belakang dengan gelisah.
'Bisakah aku begini? Apa memang tidak sebaiknya aku menginap di hotel terdekat saja? Aku nggak mau keadaannya malah tidak nyaman. Aku juga tak mau terkesan semakin memanfaatkan perasaannya terhadapku.'
"Ayo, Luna. Kita masuk."
Tak lama setelahnya, pria itu bicara lagi. Melirik Luna yang masih membeku dengan penuh keraguan di tempatnya berdiri.
"Ayolah. Jangan sungkan." Gino meraih tangannya, lalu menarik masuk ke dalam. "Semua akan baik-baik saja."
Ruang apartemen Gino tampak begitu rapi. Hal itu tak terlalu mengejutkan, mengenal pribadi pria itu yang sangat terstruktur. Pokoknya berbeda jauh dengan Luna yang bahkan kebiasaan hidupnya bisa dibilang jorok.
"Duduklah di mana aja. Jangan bengong. Aku akan siapkan teh biar kamu tenang."
Luna lagi-lagi hanya menurut. Sementara itu matanya terus dia larikan ke segala sudut dari tempat itu. Tampak berusaha untuk menyusuri karena ini kunjungannya yang pertama kali.
'Sepertinya Gino punya dua kamar. Baguslah. Begini lebih baik.' Luna bergumam di dalam hati. 'Selain itu… rumahnya bersih sekali. Padahal aslinya sibuk, tapi tidak melupakan kebersihan tempatnya tinggal. Aku memang harus belajar banyak darinya.'
Tak lama kemudian Gino keluar lagi dari dapur dengan dua cangkir di tangan. Menyerahkan salah satunya pada sang perempuan yang dia suka.
"Apa sekarang kamu sudah merasa baikan?" tanya Gino tepat setelah Luna selesai meneguk teh.
"Hm… ya, sekarang memang lebih baik. Berkat kamu," Sahutnya cepat.
"Selanjutnya hanya perlu istirahat saja. Di sini ada dua kamar, tapi satunya belum dibersihkan karena jarang terpakai. Karena memang kamar itu hanya bisa digunakan saat keluarga dan temanku berkunjung."
"K-Kalau begitu biar aku saja yang di sana. Aku akan membersihkannya—"
"Sudah kubilang tak usah, Luna. Biar aku saja. Kamu hanya perlu istirahat dan melupakan semua yang terjadi hari ini. Oh ya, kasih hape kamu ke aku biar kamu nggak terus kepikiran. Besok baru… semua ini kita bicarakan."
Luna masih ragu. Memandang tangan Gino yang diulurkan padanya, guna meminta telepon seluler miliknya.
"Ayo, Luna. Be Cooperative. Karena kalau masih memegang benda itu kamu pasti nggak bakal bisa tenang dan nggak bisa tidur. Titipkan saja dulu kepadaku. Aku nggak akan mencurinya kok."
Tentu saja Luna tidak mencurigai Gino sama sekali. Dia bahkan paham dan berterima kasih atas tawaran dari pria itu untuknya. Sehingga dia bisa beristirahat.
"I-Ini. Sudah aku matikan. Sehingga juga nggak bakal mengganggu kamu," kata Luna pada akhirnya. Dia pun mengulurkan benda itu kepada sang manajer. "Aku mau kamu juga nggak perlu memikirkannya, Gino. Aku yakin ini akan mudah diselesaikan. Namun walau begitu… aku mau mengucapkan terima kasih karena tadi kamu bersedia datang. Makasih juga karena mau menjagaku seperti sekarang."
***