Luna masih saja gelisah.
Walaupun satu jam lebih sudah berlalu semenjak kejadian itu, di mana peneror tadi tak hanya pergi namun juga berhenti menerornya dengan ponsel, namun dia masih saja tak bisa tenang. Ada kekhawatiran kalau hal buruk akan terjadi kalau sampai dia lengah sedikit saja.
Diliriknya kembali buket bunga yang tadi dia terima, di mana masih tergelatak di depan pintu. Sebenarnya Luna ingin segera membuangnya, namun dia tak berani melangkah ke luar rumah. Dia benar-benar takut kalau hal buruk sampai terjadi.
'Tenang. Aku harus tenang. Orang itu telah pergi.'
Luna mengatakan itu di dalam hati sambil terus berusaha untuk meringankan kembali dadanya ini. Namun tetap saja tak semudah itu. Seluruh tubuhnya masih saja bergetar, jantungnya berdetak kencang, serta napasnya tersengal-sengal. Seluruh pikiran buruk juga terus memenuhi otaknya. Membuatnya bukan merasa lebih baik namun kian paranoid saja.
'A-Aku… aku sebaiknya cerita pada Mia. Sehingga mungkin… s-sehingg mungkin… aku bisa tenang dan tertidur.'
Sempat terpikirkan hal itu olehnya, namun dia menahan dirinya lagi. Melirik jam dinding yang hampir menunjukkan jam satu dini hari.
"Tapi Mia pasti sudah tidur. Dia adalah wanita bersuami, yang kebetulan juga sedang hamil muda. Meneleponnya sekarang hanya akan membantunya karena sudah pasti Mia tak akan terjaga."
Maka niatnya ini gagal. Dia harus mencari orang lain sebagai gantinya.
Tapi siapa?
Sebenarnya ada satu nama yang terus dia pikirkan sejak tadi. Nama yang bahkan lebih dulu dari Mia, bahkan semenjak dia mulai merasa ada yang mengikutinya saat berjalan. Nama yang juga dia sebut pertama kali saat nyaris menangis ketakutan begitu memasuki kontrakannya ini.
Namun masalahnya nama itu tak mungkin untuk dihubungi. Selain karena nama itu mungkin sudah tidak peduli lagi terhadapnya, nama itu mungkin telah sangat membenci namanya.
Sehingga itu sebabnya dia tak bisa menghubunginya walaupun nomor ponsel pemilik nama itu tidak hanya berada di telepon genggamnya, namun telah hapal di otaknya.
Dan sebenarnya ada satu nama lain. Namun Luna juga langsung mencoretnya karena alasan yang berbeda. Karena dia tak bisa memberi harapan palsu kepada pemilik nama itu, mengingat Luna tak bisa membalas perasaannya.
Sehingga akhirnya tak ada yang bisa dihubungi.
'Mungkin semuanya sudah berakhir. Semuanya akan baik-baik saja kini. Sekarang aku hanya perlu menenangkan diriku dan tidur. Ya….'
Dengan hati yang masih resah dan mata yang sembab, Luna akhirnya membaringkan tubuhnya. Dia menutup rapat matanya. Berusaha menghambat air mata yang masih ingin keluar. Berusaha menghilangkan ketakutan yang tersisa.
'Sepertinya besok aku harus keluar dari tempat ini. Aku kembali tinggal di rumah orang tuaku saja.'
Baru saja Luna memikirkan itu, tiba-tiba dia mendengar suara langkah kaki di depan pintu kontrakannya. Hal itu membuatnya kembali bangun dalam seketika.
Sempat dia melihat lagi ke arah pintu, memastikan telah dalam keadaan terkunci. Namun di saat bersamaan malah terdengar suara aneh dari sana. Seperti selembar surat yang diselipkan.
'A-Apa itu?'
Teror berlanjut dengan deringan ponsel yang terdengar. Luna dengan cepat melirik benda yang terus dia genggam itu. Merasa panik karena nomor tadi lagi yang menelepon.
"Luna… Luna…."
Bulu kuduknya merinding karena kini dia mendengar suara panggilan. Walau dengan nada berbisik, namun karena kontrakannya sederhana dan malam kian sepi sehingga mampu ditangkap oleh telinganya.
"Luna, aku tahu kalau kamu bisa mendengarku. Bukalah pintu ini. Aku nggak jahat kok. Aku malah bisa bikin kamu bahagia."
Bisikan itu kembali terdengar. Semakin membuatnya ketakutan.
Demi tuhan, ke mana semua orang? Bukankah ada cukup banyak penghuni kontrakan ini? Tapi kenapa tidak ada satu pun yang menyadarinya. Bukankah kalau begini keadaannya akan sangat tidak aman? Orang itu mungkin bisa segera menelusup ke dalam.
Mungkin karena tidak sabaran, dia mulai mengusap-ngusap pintu. Mungkin berusaha kian mengusik Luna tanpa harus membuat terlalu banyak keributan.
"Luna, aku tahu kamu belum tidur. Luna, aku yakin kamu akan menikmatinya kok. Sungguh. Aku bisa bikin kamu bahagia seperti terbang ke langit ke tujuh." Hening sejenak, sebelum kembali terdengar lagi suaranya itu. "Kalau begitu terserah kalau kamu nggak bisa membukanya. Aku bisa melakukannya sendiri kok. Aku bisa membuka pintu ini, segera bisa segera menemui kamu di dalam. Tunggu aku ya."
Suara logam tiba-tiba terdengar di bagian lubang kunci pintu. Hal itu akhirnya benar-benar membuat Luna kalang kabut. Dengan panik mencari bantuan. Sehingga akhirnya dia mengotak-atik ponselnya lagi dan menghubungi satu-satunya orang yang mungkin bisa membantunya.
'Halo—'
"G-Gino?" Suara Luna sampai terdengar tercekat. Seluruh tubuhnya menggigil. "G-Gin, tolong aku, Gin. A-Ada orang aneh yang menerorku. Orang itu bahkan… kini berusaha membobol paksa pintu kontrakanku," ucapnya tersedu-sedu.
***
Senyuman licik Gino terlihat begitu dia sampai di depan gedung kontrakan Luna. Matanya memandang gedung dengan empat lantai itu.
"Dia udah pergi, kan? Pastikan dia terus menutup wajahnya agar tidak teridentifikasi di CCTV?" tanyanya masih berbicara di telepon.
'Sudah, Bos.' Roy menjawab. 'Dia sudah melapor kalau dia terus menjauh. Dia akan ke lokasi yang aman untuk membongkar penyamarannya.'
"Bagus. Katakan padanya kalau aku akan memberinya bonus. Sebab berkat dirinya… Luna akhirnya benar-benar memanggilku datang ke rumahnya."
'Baik, Bos.'
Gino mematikan sambungan telepon. Dia lalu berjalan memasuki pekarangan kontrakan yang memang selalu terbuka itu, seraya menghubungi nomor ponsel Luna.
"Luna, aku sudah berada di depan gedung kontrakan kamu? Kamu di mana? Apa orang itu masih berada di sana dan mengganggu kamu?"
'A-Aku nggak tahu. Keadaannya memang sudah tenang, tapi… aku takut dia masih menunggu di luar.' Wanita itu bersuara dengan sangat bergetar. Jelas kalau dia begitu ketakutan. 'Memangnya tidak kelihatan dari bawah. Kamarku berada di lantai tiga, tepatnya unit 302.'
"Aku nggak lihat siapa-siapa kok di teras lantai manapun. Tapi sebaiknya kamu siap-siap saja dulu. Aku sudah di sini untuk menjemput kamu. Kamu sebaiknya menginap di apartemenku dulu."
'I-Iya, G-Gin. M-Makasih. M-Maaf merepotkan.'
"Enggak kok. Mana mungkin bantuin kamu merepotkan. Kamu kan tahu aku justru senang karena selalu ada buat kamu."
Dengan seringaian Gino menyelesaikan telepon itu, lalu mulai meniti anak-anak tangga menuju lantai tiga. Dia bahkan sempat bersenandung segala sebelum akhirnya sampai di lantai yang dimaksud. Di mana kemudian wajahnya berubah menjadi khawatir dan peduli, saat melangkah mendekati pintu unit bernomor 302.
Saat itu Gino menghitung di dalam hati. Satu, dua, dan tiga. Lantas tak lama setelah dia mengetuk pintu, wanita itu keluar dengan mata yang sembab. Langsung menghamburkan tubuhnya yang bergetar ke dalam dekapan Gino.
"B-Bantu aku, Gino. Aku sungguh-sungguh ketakutan."
***