4/6/22
Happy Reading
***
"Semalam baca berapa novel?" tanya Savita pada Laya yang berulang kali menguap.
Saat ini mereka sedang berada di salah satu depot bubur ayam yang sangat terkenal di daerah kostan mereka dan tugas Savita pagi hari ini ada dua, yaitu; membayar sarapan Laya dan mengantar Laya berangkat kerja.
Oke!
"Ada tiga." Laya menutup mulutnya lagi. "Terima kasih untuk sarapannya," ucapnya sambil mengangguk lemas. "Akan aku ganti semua biaya pelayanan Anda, nona Savita."
Savita tertawa gemas dengan candaan Laya yang setengah hidup itu. "Yaaa, sekalian bunganya. Jika telat satu hari, kau harus membayarku dua kali lipat," ucapnya bercanda balik. Sungguh, ia ingin menjitak kepala Laya yang matanya terlihat sayu-sayu ngantuk itu.
"Oke." Laya mengangguk setuju.
"La?"
"Hem?"
"Vihan?"
Savita sedikit ragu menanyakan hal ini pada Laya, karena sampai sejauh ini Laya tidak pernah mau menerima bantuannya untuk ikut andil dalam membiayai pengobatan Vihan. Sebagai sahabatnya Vihan pun ia sebenarnya ingin ikut membantu dan secara berkala juga ingin tahu keadaan Vihan seperti apa.
"Vihan, ya?" Laya menaikkan kedua tangannya keatas, merenggangkan segala ototnya yang kaku. Ia mengedipkan salah satu matanya lalu memberikan senyum termanisnya pada Savita yang menunggu jawabannya.
"Vihan akan selalu baik-baik saja. Kau tahu sendiri, Vihanku itu adalah laki-laki terkuat di dunia ini," ucap Laya mencoba sesantai mungkin. Ia kembali merenggangkan tangannya. Segala macam otot di badannya ini benar-benar sangat kaku.
"Mmm." Savita tahu itu. Ini jawaban yang selalu diberikan Laya padanya. "Dan, kau adalah wanita terkuat yang pernah kukenal."
"Hahah, wonder woman?"
"Lebih dari itu."
Hahaha, Laya dan Savita tertawa bersama.
"Eh, Sav?"
"Iya?"
"Mulai sekarang aku sudah memutuskan!"
"Heuh?" Dahi Savita mengernyit dalam. "Memutuskan apa?" tanyanya yang bingung sendiri. Kenapa obrolan pagi ini sangat random sekali, sih? Mana tidak nyambung lagi.
"Aku tidak akan membaca novel erotis seperti itu lagi." Laya bersungguh-sungguh mengatakan hal itu.
Tapi kesungguhan itu justru disambut tawa yang sangat menyebalkan dari Savita. Tawa itu menunjukkan jika sahabatnya itu tidak percaya dengan apa yang dikatakannya barusan. "Ini sungguhan, Sav! Aku janji tidak akan membaca novel semacam itu lagi!!"
"Apa alasannya?!" tanya Savita yang berusaha menghentikan tawanya. "Jangan katakan gara-gara baca novel seperti itu kau jadi ingin melakukannya, yaa? Hayoo, ngaku!!"
"Nggak, ih!!" Laya membantah itu dengan pasti. "Enak saja! Pikiranku masih suci, ok?!"
"Hahaha, percaya, percaya. Lalu?!"
"Hem, jalan ceritanya sama semua. Pernikahan kontrak, benci jadi cinta, cinta satu malam, dan iya ... hamil, lalu ...." Laya mengangkat kedua bahunya. "Menikah, hidup bahagia selamanya."
"Iyaaa, tapi cerita yang seperti itu yang laku, La."
"Iyaa, sih." Jujur Laya akui itu. Ia saja sampai kecanduan membacanya. "Tapi yang jadi pertanyaanku, kenapa kisah cinta di novel-novel bisa semulus itu? Seperti ... eum, hambatan yang mereka lalui kok bisa diselesaikan dengan begitu mudah dan pasti akan selalu berakhir bahagia."
Laya lagi-lagi menerawang jauh dengan hidupnya yang jungkir balik ini. Andai saja, ia adalah salah tokoh dari novel itu, mungkin masalah hidupnya akan bisa diselesaikan dengan mudah.
Savita menghela napas pelan, ia tahu arah pembicaraan ini. Laya sedang iri.
"Hem, tapi itu kan suka-suka penulis, La. Mereka yang punya ide ceritanya, kan?" Savita mencoba membangkitkan suasana yang sempat hening. "Mereka yang punya cerita dan tugas kita hanya tinggal menikmatinya saja. Benar?!"
"Ahh, iya. Benar juga apa yang kau katakan, Sav." Laya terkekeh. "Ada yang bilang kalau penulis itu Tuhan, kan? Mereka yang menentukan hidup dan mati tokoh yang mereka ciptakan."
"Yapz, 100 untukmu, La." Savita mengacungkan dua ibu jarinya. Sebagai penerjemah profesional disalah satu perusahaan penerbit di negara ini, ia sangat menghargai pendapat Laya yang mengatakan jika penulis itu sama saja dengan Tuhan.
It's, ok.
*
*
*
"Nanti mau ku jemput lagi tidak?" tanya Savita saat dirasa Laya sudah turun dari motornya.
Laya menggeleng. "Terima kasih banyak untuk bantuan Anda hari ini, nona Savita," tolaknya dengan sopan. "Aku tidak tahu bagaimana nasibku jika tidak ada kau disampingku, Sav."
Savita hanya bisa tertawa. "Hem, makanya jaga aku baik-baik! Jangan pernah sakiti aku, ok?!"
"Siap, nona Savita!" Laya tertawa. "Ya, sudah, hati-hati dijalan. Byeee, beib!!"
"Byee ...."
*
*
*
"Pagi, Layaaaaa?!"
Huh, itu suara gadis-gadis office girl yang baru saja tiba.
Seperti biasa, sebelum bekerja mereka semua meletakkan barang-barang bawaannya di loker masing-masing.
"Pagi, semua," sapa Laya tanpa melihat satu persatu wajah teman-temannya itu. Ia pun sedang sibuk menata semua barangnya di dalam loker.
"Ehh ... eh, Tuanku Jarvis sudah datang belum iya?"
Mulai ... mulai!
Laya tidak tertarik dengan obrolan mereka yang membicarakan ketampanan dan kegagahan pimpinan baru perusahaan Isamu ini. Mereka semua sangat melebih-lebihkan penampilan Tuan Jarvis yang katanya kelewat tampan.
Ahh, paling penampilan Jarvis Isamu tidak lebih dari penampilan boss-boss yang pernah dikenalnya secara nyata.
Pakai setelan jas, kaku, pendiam, dingin, pekerja keras, sok berkuasa, dan tidak asik kalau diajak bercanda.
Lagi pula, di novel-novel pun seperti ini juga kok! Malah ada yang sangat kejam, hem!
Terus? Jarvis Isamu itu tipe pimpinan yang seperti apa?
Entahlah, Laya mengedikan bahu. Lagipula ia tidak tertarik dengan hal semacam itu. Ia sudah ada Vihan dan Vihan sangat membutuhkannya sekarang.
Jadi, dia tidak punya waktu untuk memikirkan ketampanan pria lain.
Oke!
"Nona-nona, kumpul-kumpul, briefing-briefing. Ada pergantian tempat kerja kalian, yaa!!"
Itu suara ibu-ibu kepala bagian kebersihan. Ibu Wati, kita semua memanggilnya seperti itu— dia yang bertanggung jawab dengan kinerja office girl yang bekerja disini.
"Laya," panggil Ibu Wati, yang langsung tersenyum senang saat melihat senyum Laya yang sangat manis itu. Laya mengingatkannya pada anak gadisnya yang sedang berkuliah diluar negeri.
"Iya, bu?"
"Kamu bersihkan lantai dua, yaa?"
Laya mengangguk menerima perintah itu dengan sukarela. Ini sudah jadi tugasnya untuk menerima perintah dari atasannya.
Saat Laya dan lainnya sedang bersiap-siap untuk menjalankan tugas mereka, tiba-tiba saja dari salah satu loker terdengar suara dering telepon.
"Milik siapa?!" tanya Ibu Wati dengan wajah berkerut kesal. "Cek, coba!" titahnya dengan gemas. "Satu saja!" sergahnya yang semakin gemas saat melihat anak buahnya ini akan berlari ke loker masing-masing. "Bukankah, saya sudah katakan berulang kali. Semua ponsel di silent, bila perlu dimatikan!! Paham?!"
"Paham, buu ...." Kompak mereka menjawab.
"Loker 3B, Bu. Punya Laya Gemina," kata salah satu office girl yang tadi disuruh untuk mengecek loker.
"Laya ... Laya ... Laya."
"I-iya, bu?" Laya langsung mendongak. Matanya berkedip bingung saat melihat semua mata tertuju padanya. Ia belum menyadari jika ponselnya lah yang sejak tadi berdering
"Ponselmu?!"
Eh?!
Laya langsung berbalik, melihat lokernya yang ada di ujung ruangan.
Siapa?!
"Ibu beri waktu 5 menit—"
"Terima kasih, bu," kata Laya membungkukkan tubuh dengan cepat. Ia langsung berlari ke arah lokernya dengan perasaan cemas.
Nada dering yang disetel berbeda ini dari rumah sakit, dimana Vihan dirawat.
Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Vihan?!
Dengan tangan yang gemetaran Laya menghubungi ulang pihak rumah sakit.
"Halo, iya ini Laya Gemina." Walau panik— Laya berusaha sopan untuk menjawab pertanyaan— yang ternyata dari pihak pelayanan administrasi rumah sakit Fransisco Isamu itu.
"Ada apa dengan Vihan? Dia baik-baik saja, kan?" tanyanya, tidak mau basa-basi jika berhubungan dengan kesehatan Vihan.
"Tuan Vihan Mahendra baik-baik saja, hanya saja ... bla ... bla ... bla."
Laya mendengarkan semua penjelasannya— berulang kali ia menghembuskan napasnya saat pihak administrasi itu menyudahi penjelasannya yang panjang lebar.
Mana bicaranya cepat sekali lagi. Untung saja, Laya bisa menangkap dengan cepat isi pembicaraan yang membahas ....
"Ahh, biaya tagihan pengobatan Vihan, ya?" Laya menarik napasnya panjang-panjang. "Tapi, saya baru ada uang bulan depan ...."
Huh, Laya mengusap wajahnya yang diselimuti kesedihan. Ia hanya bisa pasrah dan tidak tahu harus mengatakan apa lagi saat mendengar suara pihak administrasi rumah sakit yang sangat sewot dan terdengar tidak bersahabat lagi dengannya.
"Iyaa, akan saya usahakan secepatnya. Tapi saya mohon, jangan hentikan pengobatan Vihan." Laya menundukkan setengah tubuhnya, memohon dengan sangat. Walau tak terlihat, semoga rasa ini sampai kepada pihak rumah sakit. "Iya, terima kasih sekali lagi. Akan saya usahakan secepatnya."
Tek!
Laya menutup teleponnya.
***
Salam
Busa Lin