3/6/22
Happy Reading
***
Laya memijat kepalanya yang pusing. Ini bukan pusing karena kurang tidur atau memikirkan segala beban hidupnya, tapi ini pusing karena efek membaca novel yang semalam dipinjamnya dari Savita.
Benar kata Savita, dampaknya memang sangat gila pada tubuhnya yang masih belum pernah disentuh berlebihan oleh Vihan.
Argh, mana semalam ia bermimpi bercinta dengan Vihan lagi! Mau taruh dimana mukanya ini.
Ya Tuhan! Semoga saja dalam komanya, Vihan tidak merasakan getar-getar aneh di sekujur tubuhnya yang lemah itu.
Laya mendesis sebal pada dirinya sendiri.
"Enyahlah dari pikiranku!" Laya mengusap-ngusap kepalanya sendiri. "Kau tidak boleh memikirkan kegagahan pemeran utama prianya saat berada diatas ranjang, Laya!! Please, kondisikan otakmu yang mesum ini. Fokus! Fokus! Kembali bekerja, oke!! Lantai ini harus dipel sampai berkilauan kalau tidak nanti kau dipecat!"
Oke, Laya memantapkan gerak tangannya maju mundur mengepel lantai.
Untuk merilekskan pikirannya yang pusing-pusing menyebalkan, ia bersiul lirih menyanyikan salah satu lagu idol k-pop kesayangannya.
"Sarangeul hetda uriga manna …."
Sedang asyik bernyanyi, tiba-tiba saja ...
"Laya ... Laya ... Laya!"
Hish, mengganggu saja!
Si heboh Neni— salah satu office girl yang pernah 'dipakai' Juni.
Kenapa Laya bisa tahu? Karena Neni lah yang bercerita sendiri padanya.
Huh!
Pasti wanita centil ini mau mengajaknya ngerumpi atau mau menceritakan malam panas yang dilalui bersama Juni.
Entahlah!
"Tuan muda Jarvis Isamu sudah datang!!" Neni berputar-putar bak penari balet. Wajahnya terlihat sangat segar pagi ini.
"Heuh?" Laya mengernyitkan dahi. Ia jadi menghentikan aktivitasnya mengepel lantai. "Siapa?" tanyanya yang bingung sendiri.
"Astaga Tuan Jarvis Isamu, Layaaa! T-U-A-N J-A-R-V-IS!!"
"Iya, aku dengar, Nen." Laya memutar bola matanya dengan malas. "Tapi yang kutanyakan siapa dia?" tanyanya semakin bingung melihat antusias Neni yang kelebihan dosis saat menyebut nama Jarvis Isamu dengan penggalan huruf seperti itu.
"Ya Tuhan, kau ini hidup di gua atau dimana, sih?! Masa tuan Jarvis saja tidak tahu. Dasar cupu!" Ejek Neni, heran sendiri.
"Lho? Aku kan baru 4 bulan kerja disini. Sebelumnya aku lama di luar negeri. Baru kembali satu tahun yang lalu. Ya, wajar dong aku tidak tahu siapa … siapa tadi namanya? Jarvis ... Jarvis Isamu, kan?" Protes Laya tidak terima dengan wajah julid Neni yang terlihat seperti mengejeknya itu.
"Tuan Muda! Pakai Tuan, Laya! Dia adalah pemilik perusahaan ini!!" Protes Neni tidak terima. "Tuan Jarvis Isamu! Pimpinan baru Perusahaan Isamu Grup. Putra kandung Tuan Jonathan Isamu. Kau tahu kan pimpinan kita yang itu?"
"Iya, kalau Tuan Jonathan aku tahu." Laya mengedipkan mata. Dia masih bingung dengan silsilah keluarga Isamu. "Aku kira Tuan Jonathan tidak punya anak laki-laki."
"What!! Astaga, Laya!" Neni berteriak gemas. Ingin rasanya ia ngunyel-ngunyel pipi Laya yang tembem itu. "Punya! Ada dua! Ganteng-ganteng!! Lulusan luar negeri semua. Paham?!"
"Hah? Benarkah?" Laya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Lalu Bunga Isamu yang sering nongol di tv itu siapa?"
"Itu anak pertamanya Tuan Jonathan, Laya!"
"Ohhh." Laya mengangguk mengerti. "Kalau boleh tahu sejak kapan Tuan Jarvis Isamu menjadi pimpinan resmi Isamu Group?"
"Kalau itu menurut gosip yang beredar, sebenarnya dua tahun yang lalu Tuan Jarvis sudah menjalankan pelantikkan resmi pemindahan kepemimpinan Isamu Grup." Neni sangat antusias menceritakan soal pimpinan barunya itu.
"Beritanya sempat ramai, Laya." Mata Neni berbinar semangat. "Jadi trending topik pemberitaan dimana-mana."
Hah, tapi kenapa hanya dirinya yang tidak tahu berita ini? Kemana saja ia selama ini?
Kalau berita seheboh itu terjadi dua tahun yang lalu berarti ia masih kuliah diluar negeri dan belum kembali ke tanah kelahirannya.
"Tapi, entah, apa yang terjadi Tuan Jarvis Isamu baru tahun ini mengambil alih Isamu Grup," lanjut Neni. "Dan, baru bisa menghandle perusahaan yang ada disini tahun ini. Aneh tidak menurutmu?"
Laya berkedip tidak tahu. Aneh darimananya? Menurutnya wajar, kok. Mungkin Jarvis Isamu dua tahun yang lalu masih belum sanggup menjalankan perusahaan sebesar ini dan mungkin saja, pria itu meminta waktu untuk belajar lagi.
Iya, sama seperti dirinya dulu, haha!
Dulu Papa pun menyuruhnya untuk mengambil alih perusahaan tapi dengan tegas permintaan Papanya langsung ditolak karena ia masih mau melanjutkan kuliah S2-nya.
Hem, oke, kadang si centil Neni ada gunanya juga jadi biang gosip seperti ini. Jadi, ia tidak perlu repot-repot mencari tahu soal kehebohan di pagi hari yang cerah ini.
Tapi jujur dari dalam hati Laya yang terdalam, ia benar-benar tidak tahu menahu seluk beluk perusahaan Isamu Grup.
Yang jelas saat melamar pekerjaan di perusahaan Isamu ini, ia membawa segudang prestasi pada portofolionya dan mendapat nilai tertinggi dalam setiap tes yang diujikan tapi tetap saja Laya Gemina putri satu-satunya Tuan Mateo Gemina dijadikan sebagai office girl.
Oke, tidak masalah!
Mau protes tidak bisa. Mau tidak diterima tapi harus cari pekerjaan dimana lagi coba?
Laya menerima penawaran itu karena saat ini yang dibutuhkannya hanyalah uang.
Iya, uang! Tidak ada yang lain.
"Terus, apa hubungannya dengan kita-kita ini, Nen?" Laya bertanya dengan begitu polosnya.
Benar kan' apa yang ditanyakannya?
Maksudnya, status kedudukannya dengan Tuan Jarvis Isamu saat ini bagaikan langit dan bumi. Jarvis Isamu pemilik perusahaan sedang Laya Gemina hanyalah office girl.
Dan, astagaa ...
Kenapa ia baru sadar saat melihat beberapa wanita baik karyawan kantor ataupun office girl yang ada disini sedang bisik-bisik membicarakan pimpinan baru perusahaan Isamu.
"Kenapa semua orang jadi pada heboh seperti ini? Apa istimewanya Tuan Jarvis?"
"Laya ... Laya ... Laya!" Neni meletakkan kedua tangannya dengan gemas dibahu Laya. "Tuan Muda Jarvis itu pria tertampan yang pernah kulihat, Laya! Masih sangat muda dan begitu sedap dipandang mata. Kau harus melihat sendiri betapa tampannya dia saat berjalan masuk tadi! Ini pertama kalinya aku melihat orang setampan itu."
Heuh, benarkah Jarvis Isamu setampan itu?
Yang dia tahu pria tertampan didunia ini hanyalah Vihan Mahendra.
"Tuan Jarvis baru saja lewat tadi. Dia pakai setelan jas warna coklat muda, ughh!" Neni tanpa sadar meremas bahu Laya dengan gemas. "Pakai lift khusus pimpinan. Mungkin Tuanku sekarang sudah duduk di kursi kebesarannya."
Heuh? Tuanku? Sejak kapan pimpinan Isamu jadi milik Neni. Ngada-ngada saja!
"Nen?" Laya sudah lelah mendengar celotehan Neni. Dia dengan sopan menurunkan kedua tangan Neni yang bersarang di bahunya.
"Iya?"
"Kalau kau tidak mau dipecat ...." Laya berbisik penuh arti. "Lebih baik kau teruskan saja pekerjaanmu yang tertunda tadi," ucapnya sambil menunjuk kepala office yang memperhatikan mereka sejak tadi.
"Ohh, oke, siap!" Neni langsung lari entah kemana.
Huft, akhirnya pergi juga!
*
*
*
Setelah jam kerja selesai, sebelum pulang ke kost— pada akhirnya pertahanan Laya hancur. Ia melipir-melipir cantik ke sebuah toko buku antik nan klasik di sudut kota ini.
Ehem, kata Savita, dia mendapatkan novel-novel erotis itu dari sini.
Oke, walau itu novel bekas, tapi isinya benar-benar membekas di otak Laya.
Jadi, iya ...
"Semoga saja aku tidak kecanduan seperti Savita. Cuma beli satu, kok. Janji. Setelah itu aku tidak akan beli lagi. Hanya untuk hiburan saja."
Tapi, lagi-lagi!
Laya benar-benar tidak bisa menepati janji yang diucapkannya itu, karena setelah setengah jam di toko buku …
"Terima kasih, Pak." Laya nyengir salah tingkah saat menerima paper bag berisi 10 novel erotis pilihannya dari kasir.
Laya sampai menghabiskan uang seratus lima puluh ribu hanya untuk membeli novel-novel bekas itu.
"Mantap!" Laya bergumam kesal pada dirinya sendiri. "Uang makan dan transport ku habis untuk membeli novel yang tidak berguna ini."
Laya menghembuskan napasnya. Dia mendongak, melihat langit yang mulai gelap.
"Lalu, aku pulang naik apa? Masa, iya, aku pulangnya jalan kaki? Mau sampai jam berapa coba?!"
Dasar Layaaa, bodoh!!
.
.
.
"Hai, cantik?" Savita melambaikan tangannya. Meledek Laya yang masih berdiri kikuk di depan toko buku bekas langganannya.
Tadi, bertepatan saat keluar kantor, Laya menghubunginya. Memintanya untuk menjemput di toko bekas langganannya.
Hahaha!
"Ayo, cepat! Kemari lah, Laya! Aku ingin lihat, apa saja yang kau beli," ucapnya terkekeh geli melihat wajah lelah Laya yang memerah.
Hahahah, ternyata sahabatnya ini otaknya sudah tidak suci lagi.
Setelah Savita mengeceknya ...
"Uang 150 ribu bisa buat makan 2 hari, dan ini … astagaa, hahahah!" Savita terbahak-bahak meledek Laya saat melihat isi paper bag itu.
Laya tidak bisa berkata-kata lagi. Bibirnya hanya bisa mengerut kesal melihat Savita yang puas sekali tertawanya.
"Ssst, udah, sih!!" Bibirnya semakin mengerucut. "Jangan menggodaku di tempat umum seperti ini. Kalau mau debat nanti saja. Malu, tahu!!" serunya tidak terima.
"Hahaha, Laya ku yang polos ini sudah kecanduan baca novel erotis!!" Savita semakin tergelak dan tawanya terdengar sangat ambigu. "Ayo, cepat naik-naik. Ini pakai helmnya." Savita dengan semangat memberikan helm pada Laya. "Sekalian saja kita ke toko—"
Plak!
"Heh, jangan macam-macam, iya?!" Walau belum disebut nama tokonya, entah kenapa Laya sudah tahu maksud Savita. "Pulang saja. Aku sangat lelah," katanya, naik ke motor maticnya Savita.
"Hahaha, baiklah, nona. Sepertinya Anda sudah tidak sabar untuk membacanya, ya?"
Laya hanya diam saja. Kalau ditanggapi, obrolan ini hanya akan semakin menggila. Ia hanya duduk manis dibelakang, menikmati semilir angin sore.
Untungnya sepanjang perjalanan menuju kost, Laya hanya bisa mendengar sayup-sayup celotehan Savita yang menjurus ke ranah dewasa.
.
.
.
"Pakai jari saja, bagaimana, La?" Savita menunjukkan jarinya di depan Laya.
"Sialan!!" Laya dengan gemas melepas helm yang dikenakannya lalu mengacungkan jari tengahnya, tidak lupa umpatan yang sangat manis keluar dari bibir Laya.
"Wawww, semakin liar, beby!!"
"Hahaha, aku belajar itu dari temannya Ash."
"Heuh, Ash? Siapa?"
"Ranjang Hangat Mafia Tampan."
"Oohhh. Rusiana. Cewek badas yang tidak takut mati sekaligus teman ranjangnya Ash dan katanya sih, hanya dia yang bisa buat Ash sampai—"
"Iyaa." Wajah Laya tiba-tiba panas-panas menyebalkan. "Dan, walau Rusiana tahu Ash lebih mencintai Swan dibanding dirinya, dia tetap setia ada disamping Ash sampai mati."
"Ughh, adegan pembunuhan itu yang membuatku menangis sesenggukan." Savita mengusapi air mata imajiner di pipinya.
Laya tertawa lirih melihat kelakuan random Savita. "O-iya, terima kasih sudah mau menjemputku."
Savita mengangguk.
"Besok antarkan aku sekalian, ya?"
"Siap, nona!"
***
Salam
Busa Lin