2/6/22
Happy Reading
***
Pukul 8 malam, di kost Laya.
Laya membuka pintu gerbang dengan kelelahan yang sesungguhnya. Hari ini tenaganya terkuras habis dan langkah kakinya pun sudah sangat lemas untuk berjalan karena dia baru saja dikerjai habis-habisan oleh Juni.
"Hah, suatu saat aku akan merebut tempat itu dari mu, Juni!"
Demi Vihan, Laya menguatkan tekadnya untuk tetap bertahan di perusahaan itu.
"Baru pulang, La?" tanya Savita Magnolia sahabat Laya— menurunkan novel yang sedang dibacanya saat melihat Laya baru saja membuka pintu.
"Iya." Laya berpuh lelah. "Kakiku mau patah rasanya," katanya yang langsung duduk di salah satu sofa yang memang disediakan di kost itu. "Aku baru saja dikerjai seseorang."
"Siapa yang mengerjaimu?" tanya Savita sedikit emosional. "Dia menyakitimu? Mengganggumu? Melecehkanmu? Atau apa, hah? Katakan padaku siapa orangnya?!"
Mata Laya berkedip-kedip sayu. "Tidak separah itu, Sav. Hanya saja aku baru saja diberi hukuman bersih-bersih ruang rapat sendirian tadi." Laya mengerucutkan bibirnya. Ia mempuk-puk pinggangnya yang encok.
"Mana seperti sengaja di kotor-kotorkan lagi. Masa ada jejak sepatu berlumpur di lantai kantor. Kau tahu sendiri, kan, kalau gedung itu adalah gedung paling elite di negara ini. ISAMU GRUP! Gila tidak?" Laya menggeleng heran. "Sialan banget tuh orang, mana pengecut lagi! Beraninya cuma sama perempuan! Untung saja aku dibantu Bu Siska tadi. Kalau tidak, mungkin aku sudah dilecehkan disana!" Laya mengeluh layaknya anak kecil yang baru saja dinakali anak lain.
Sumpah demi apapun, ia sangat dendam dengan pria brengsek itu!!
"Tahu pelakunya?"
"Pastilah!" Laya mendengus kesal.
"Ahhh, aku tahu!!" Savita jadi ikut-ikutan mengeratkan gigi dengan marah. Dia paling tidak suka jika sahabatnya ini diganggu oleh, "Si gila itu lagi, kan? Juni pria brengsek 'pemakan segalanya'!!"
Laya mengangguk mantap. Mudah sekali bagi Savita menebak si pemberi hukuman itu. Dia sering menceritakan tabiat buruk si Juni pada Savita.
"Pantas pulangmu malam sekali." Savita jadi meletakkan bacaan novel yang sedang dibacanya tadi diatas meja.
"Bisa tidak?! Kalau ada apa-apa denganmu hubungi aku," ucapnya bisa merasakan kelelahan dan kekesalan Laya.
Sebagai sahabat Savita hanya ingin melihat Laya baik-baik saja dalam bekerja mencari uang untuk biaya operasi tunangannya itu dan secara tersirat, sudah menjadi kewajibannya melindungi Laya yang sudah menjadi yatim piatu ini.
"Kapanpun aku bisa menjemputmu, Laya." Savita menghembuskan napas marahnya. "Sekalian saja aku ingin memberinya pelajaran sampai babak belur! Bila perlu burungnya kupatahkan jadi dua bagian, bagaimana?"
Laya terkekeh geli mendengar ancaman yang mengerikan itu. "Tapi kan kalau kerja tidak boleh bawa hp."
"O-iya, lupa." Savita menepuk dahinya. "Tapi kau tidak disentuh-sentuh sama si brengsek gila itu, kan?"
Laya menggeleng cepat. "Kalau sampai berani menyentuhku, lihat saja. Aku akan mematahkan tangannya jadi tiga bagian."
"Ugh, galaknya." Savita terkekeh gemas saat melihat hidung Laya yang kembang kempis seperti itu. "Penyebabnya apa?"
"Tadi, di dapur ...."
Laya terpaksa menceritakan ulang kejadian menyebalkan di dapur tadi.
Seperti biasa awalnya Savita terlihat sangat antusias mendengar ceritanya tapi lama kelamaan antusiasnya itu sampai kelewat batas— yang sampai membuat suara umpatan serta tawanya saling membentuk simponi suara yang cukup membuat telinga siapa saja yang mendengar menjadi ....
"LAYA, SAVITA!"
Deg!
Aghh, tidak!
Itu suara ibu kost yang tiba-tiba muncul dari pintu samping dan bentakkan dari ibu kost sukses membuat Laya dan Savita melompat kaget dari sofa masing-masing.
"I-ibu Su-si, saya masih muda, Bu," kata Savita mengelus dadanya yang berdebar kencang.
"I-iya, saya tidak mau mati muda karena divonis serangan jantung, ibu," timpal Laya mempuk-puk dada sebelah kirinya.
Hish, kenapa semua orang yang ada disekitar hidupnya senang sekali kelebihan 'gas', sih?!
Suka sekali berteriak dan mengagetkannya secara tiba-tiba. Untung saja jantungnya ini sudah berlapis baja.
"Astaga, kalian berdua! Ibu kira ada pertengkaran antar sesama anak kost tadi. Habisnya ...." Ibu Susi menatap curiga kedua anak kostnya yang memiliki tone kulit berbeda warna ini. "Ngaku! Diantara kalian siapa tadi yang bilang kalau ada pria brengsek yang jalangnya melebihi anjing, hah?!"
Laya dan Savita saling lirik, memberi kode dengan tatapan penuh arti.
Oke, demi persahabatan yang sudah terjalin selama 8 tahun, dan demi harga kost termurah di kawasan ini!
"Saya, Bu!" Kompak Laya dan Savita mengangkat tangannya.
"Jangan main-main sama ibu, Laya, Savita!"
"Saya yang bilang pria brengsek, bu," kata Laya melirik Savita.
"Dan, saya yang bilang, jalangnya melebihi anjing, bu."
"Ya Tuhaaan!" Ingin rasanya Ibu Susi menjewer telinga mereka berdua. Tapi, sabar-sabar. "Ibu tidak tahu siapa pria yang kalian maksud. Tapi, ingat, disini bukan hanya kalian yang tinggal. Tapi ada enam lainnya. Ini sudah malam. Jadi jaga sopan santun. Ingat, ibu tidak melarang kalian mengumpat tapi harus tahu batasannya dan mengumpatlah dengan sopan. Mengerti?!"
"Mengerti, bu. Sekali lagi maafkan kami."
Setelah Ibu Susi pergi ...
Laya dan Savita tertawa namun sebisa mungkin mereka menahan tawanya supaya tidak terlalu keras.
"Untung saja kita tidak diusir, Sav." Laya menghembuskan napas leganya.
"Tidak akan," kata Savita percaya diri. "O-iya, bisa beritahu tidak, umpatan yang pakai batasan itu seperti apa?"
"Cowok tengik ... mungkin?" Laya mengedikan bahu. Sudah tidak mau bercanda lagi.
"Kurang gerrr ...."
"Auh, ah! Gelap," kata Laya akan beranjak dari duduknya. "Aku mau istirahat."
"Yaa, silahkan, nona," kata Savita masih bergumam mencari-cari kata umpatan yang sopan.
Sebelum Laya beranjak dari duduknya sekilas ia melihat tumpukkan novel genre erotis milik Savita yang ada diatas meja.
"Ranjang Hangat Mafia Tampan," gumam Laya mengambil salah satu dari tumpukkan novel itu. "Apa ceritanya?" tanyanya penasaran.
"Biasa lah," ucap Savita tertawa kecil. "Mafia yang dingin bertemu dengan cewek lugu. Terus si mafia jatuh cinta dengan ceweknya. Perjanjian kontrak, cinta satu malam yang berujung pada percintaan luar biasa panas diranjang lalu jatuh cinta dan iya, happy ending."
"Ohh." Laya membawa novel itu pergi tanpa mengatakan apa-apa. Sekali-kali, dia butuh bacaan seperti ini. Lelah juga jika harus membaca bacaan yang berat.
"Eh? Mau dibawa kemana novelku?" tanya Savita berkedip kaget. Tidak biasanya Laya mau membaca novel erotis seperti itu. Tumben sekali.
"Kamu masih perawan ting-ting, La."
"Memang kalau masih perawan tidak boleh membaca semua ini, hah?" Laya menunjuk novel-novel milik Savita yang covernya menunjukkan keerotisan yang sebenarnya.
"Tidak masalah, sih." Savita mengedikan bahu. "Hati-hati saja. Itu efeknya luar biasa parah, lho. Bisa bikin candu, ughh. Kalau tidak kuat datang saja kekamarku. Aku punya banyak alat untuk ... first time open your—"
"Ya Tuhan, Savita! Sssttt!" Kepala Laya yang sudah pusing semakin pusing saja. "Aku kuat lahir batin. Ini hanya tulisan bukan visualisasi nyata, oke! Aku tidak akan butuh alat-alat gilamu itu dan first time hanya akan dibuka oleh Vihan Mahendra, bukan dengan alat murahanmu itu."
"Heh, alatku tidak ada yang murah iya!" teriak Savita tidak terima. "Paling murah, satu juta, Layaaa!!"
"Iya ... iya, terserah kau. Selamat malam. Aku pinjam ini. Bye, sampai ketemu besok, Sav."
***
Salam
Busa Lin