Putri membersihkan etalase toko dengan telaten. Dia tersenyum puas melihat kaca-kaca berisi sepatu branded itu telah menjadi kinclong. Usai dengan aktivitas bersih-bersih, gadis itu segera merapikan berbagai produk unggulan toko. Dia sampai mengubah posisinya berkali-kali agar tampak estetik dan eye catching.
"Semangat banget lo, Put, padahal, ya, gaji-gaji kita enggak bakal naik biarpun kelewat rajin juga," bisik salah seorang rekan kerjanya sesama karyawan.
Putri hanya tersenyum simpul. Perkataan rekannya memang benar. Manajer di toko tempat mereka bekerja itu kurang memperhatikan kesejahteraan karyawan, padahal di cabang lain karyawan mendapatkan hak lebih baik. Si manajer juga terkadang pilih kasih jika bersedia menjadi penjilat baginya.
Oleh karena itu, kebanyakan karyawan di toko hanya menjalankan SOP seminimal mungkin. Tak ada satu pun yang berpikir kreatif. Putri sendiri rajin menata barang bukan karena memang berdedikasi tinggi. Dia hanya sangat terganggu jika melihat sesuatu yang tidak tampak artistik.
"Put, Put, si Dhea katanya dapat bonus deh, padahal dia tuh suka banget melimpahkan kerjaan ke kita. Pasti gara-gara deket sama Bu manaje–"
Si tukang gosip tiba-tiba terdiam dengan wajah tegang. Putri susah payah menahan tawa. Rekan kerjanya mendadak membisu karena manajer yang sedari tadi digosipkan datang berkunjung.
"Tadi malam ada banyak produk yang baru datang dari gudang utama ke gudang toko, segera dirapikan dan ditata di etalase," perintahnya.
"Baik, Bu," sahut Putri dan rekannya kompak.
Manajer berlalu dan menghampiri bagian kasir. Mereka pun segera menuju gudang. Seperti yang dikatakan sang manajer, memang terdapat puluhan kardus terserak di sudut ruangan.
"Aduh, ini yang nganter barang enggak kira-kira deh. Ditaroh kek yang bener. Kalo rusak entar kita lagi yang kena tulahnya," gerutu rekan kerja Putri sambil menyusun kardus dengan setengah hati.
Putri tak menanggapi. Dia melakukan tugas dengan cermat tanpa banyak omong. Tangannya begitu lincah menata kardus agar terlihat rapi. Tak lupa juga dia mendata tipe produk-produk tersebut. Saat rekannya baru menyusun sepuluh kardus, Putri telah membereskan semua kardus.
"Ya ampun, Put. Lo itu manusia apa robot? Kok udah selesai aja?"
"Kalo kerjanya pakai tangan, bakal cepat selesai," sahut Putri ringan membuat rekannya sedikit cemberut. "Yoklah, kita susun di etalase," ajaknya sembari mengambil beberapa produk dan dibawa keluar dari gudang.
Kini, Putri kembali bergerak gesit menata sepatu-sepatu model terbaru itu di etalase khusus produk new arrival. Barang yang sebelumnya dipindahkan ke etalase lain. Baru saja pekerjaan selesai, pengunjung memasuki toko. Putri segera menyambutnya.
"Silakan, Kak, ini produk terbaru kami. Kakak ingin sepatu tipe yang seperti apa?"
"Pesta pernikahan dengan tema alam."
"Berarti outdoor, ya, Kak?"
"Iya."
"Produk-produk yang cocok untuk pesta outdoor ada di sebelah sini, Kak."
Putri terus menjelaskan semua produk yang ada di etalase tersebut. Pengunjung tampak kebingungan memilih di antara dua jenis sepatu. Putri membantu memberikan uraian lebih terperinci tentang spesifikasi masing-masing produk, hingga akhirnya si pengunjung malah membeli keduanya.
Putri hendak merapikan etalase ketika ada beberapa pengunjung lagi masuk. Dia dan rekan kerjanya pun berbagi tugas. Namun, sungguh sial, Putri harus melayani sosok familiar, Rani si julid.
"Selamat pagi, Kak, ada yang bisa kami bantu?" sapa Putri tetap berusaha sopan meskipun perasaanya tak enak karena tatapan sinis Rani.
"Saya mau produk terbaru."
"Silakan ke sini, Kak."
Putri bermaksud mengajak Rani menuju etalase new arrival. Namun, gadis angkuh itu malah duduk di salah satu sofa dengan tangan menyilang di dada.
"Bawa produknya ke sini!" titah Rani.
"Baik, Kak." sahut Putri santun meskipun rasa kesal mulai menggayuti hati.
Putri segera membawakan 5 jenis produk terbaru. Rani melepaskan sepatunya dan menyodorkan kaki. Para pegawai bahkan pengunjung toko yang lain tampak kaget dan menatap syok ke arah dua gadis itu.
Namun, Putri masih bisa tetap terlihat tenang. Dia bersimpuh di lantai, lalu memasangkan sepatu sembari memberi penjelasan spesifikasi produk. Rani tersenyum licik. Setelah mencoba sepatu kelima, gadis angkuh itu menendang Putri.
"Aduh, sakit banget kaki saya! Kamu bisa ngelayanin dengan baik enggak, sih?" bentak Rani.
Suaranya sengaja dikeraskan. Manajer tergopoh-gopoh menghampiri mereka. Dia tampak ketakutan saat melihat Rani.
"Ah, Nona Rani! Ada apa ini, Nona?"
"Pegawai Anda ini tidak becus bekerja," tuduh Rani semena-mena.
"Maafkan atas kelalaian karyawan kami, Nona Rani."
Manajer toko melotot kepada Putri, memberi isyarat untuk memohon maaf. Putri pun membungkukkan badan sambil meminta maaf berkali-kali. Rani tersenyum penuh kemenangan. Sorot matanya jelas tengah meremehkan.
Rani mengibas-ngibaskan tangan. "Sudahlah. Semua produk ini saya beli. Kirimkan saja ke rumah saya," ketusnya berdiri dan menuju kasir.
Sebagai permohonan maaf tambahan, manajer memberikan bingkisan spesial untuk Rani. Setelah proses pembayaran selesai, Rani melenggang keluar dari toko.
Manajer menatap tajam Putri. "Ikuti saya!" perintahnya.
Manajer toko masuk ke ruagannya. Putri mengekor dengan patuh meskipun tangan terkepal dalam saku. Tak lama kemudian, dia pun kena omel, juga diberikan surat peringatan.
"Ini sudah surat peringatan kedua. Untuk ke depannya lebih baik kamu hati-hati. Sekali lagi kamu melakukan kesalahan, kamu tentu tahu apa akibatnya," ancam si manajer.
Ya, Putri pernah ditegur juga sebelumnya. Seperti kejadian hari ini, surat peringatan bukan dikeluarkan karena kesalahannya, tapi tingkah kurang ajar pelanggan VIP. Putri pernah memelintir tangan lelaki mesum yang mencoba mencolek pinggangnya. Manajer bermuka dua itu memang selalu menjadi sumber ketidakadilan.
"Iya, Bu. Saya mengerti," sahut Putri, lalu permisi untuk melanjutkan pekerjaannya dengan perasaan kesal setengah mati.
***
Aldi memijat kening yang berdenyut. Demi menjalin relasi bisnis, kesabarannya benar-benar sedang diuji. Aroma minuman beralkohol membuat perut mual, ditambah lagi dengan suara sumbang teman-teman Gilang. Aldi gatal sekali hendak memperbaiki nada yang salah.
Ya, bisa dikatakan Gilang sedikit menipunya. Mereka bukan pergi ke tempat karaoke biasa, tetapi yang ekslusif langganan para pengusaha. Tempat tersebut menyediakan minuman keras mewah dan wanita penghibur kelas tinggi. Aldi sedikit bersyukur Gilang dan teman-temannya tak sampai memanggil para ladies terlatih itu.
"Masa segelas kecil aja lo enggak mau minum, Bro?" Gilang merangkul bahu Aldi sembari mendekatkan kelas berisi wine.
Aldi menjauhkan tangan Gilang. "Gue enggak suka."
"Atau takut dosa?" sindir Gilang.
Dia dan teman-temannya terbahak-bahak. Mereka kompak meledek Aldi yang dianggap pengecut. Argasoka paling semangat bahkan sedikit memaksa hendak meminumkan wine.
"Sudah, sudah, Ga. Orang alim jangan diganggu, biar tugas setan aja yang kayak gitu." Gilang menengahi.
Untunglah, Argasoka menurut. Namun, raut wajahnya masih tampak mengejek. Aldi tak peduli. Dia memiliki prinsip untuk tidak akan mencoba alkohol, narkoba, dan pergaulan bebas. Menjadi olok-olokan semenjak zaman sekolah maupun ketika sudah berjibaku dengan dunia bisnis adalah hal biasa.
"Sekarang, giliran lo yang nyanyi dah," usul Gilang sembari memberikan mikrofon kepada Aldi.
Aldi memilih lagu dan mulai menyanyi. Teman-teman Gilang terdiam. Mereka langsung menyadari level yang berbeda jauh. Saat lagu selesai, mereka pun bertepuk tangan.
"Seharusnya, lo jadi penyanyi ajalah, pasti banyak digandrungi ciwi-ciwi," ledek Argasoka.
Aldi hanya tersenyum dipaksakan. Teman-teman Gilang yang lain memintanya untuk menyanyikan beberapa lagu lagi. Setelah empat lagu, barulah Aldi bisa beristirahat. Dia langsung menenggak habis air mineral di meja.
"Sialan apa yang mereka masukkan ke minuman!" umpat Aldi dalam hati.
Dia mencium ada aroma alkohol. Tadi, Aldi tidak menyadari karena sangat haus. Dugaannya semakin diperkuat oleh senyuman nakal Argasoka dan Gilang. Duo playboy itu jelas pelakunya.
Rupanya tak cukup hanya alkohol. Aldi mendadak merasakan suhu tubuhnya meningkat. Jantung juga berdebar kencang. Dia menduga Gilang juga memasukkan obat mengandung afr*disiaka ke dalam minumannya.
Keadaan bertambah parah ketika pintu dibuka. Lima gadis cantik berpakaian seksi masuk satu per satu dengan tatapan menggoda. Mereka duduk di antara para pria di sana dan bergayut manja.
Aldi meradang saat salah seorang gadis memeluk lengannya. Bayangan wajah sedih Wulan membuatnya refleks bangkit dari sofa dan mendorong si gadis sampai terjatuh. Namun, pengaruh obat dan alkohol terus berusaha menguasainya.
"Argggh!"
Aldi menggeram, lalu keluar ruangan dan melangkah cepat tak tentu arah. Matanya semakin mengabur. Kesadaran sudah hampir di ambang batas ketika dia terduduk di tengah-tengah jalan raya. Sementara itu, sebuah motor melaju cukup kencang dari arah timur.
Tiiin!
***