Air mata Olivia pecah tak terbendung, bibirnya sampai gemetar melihat betapa murah hatinya sang Ibu sampai dia berani membohonginya. Sungguh anak yang kejam. Dia pun memeluk ibunya sambil mengusap air mata.
"Aku benar-benar minta maaf, Bu," ucap Olivia lirih dengan nada bergetar.
"Sudah, sudah ... Ibu yang salah karena kurang memperhatikanmu selama sakit. Kapan kamu akan membawa suamimu menemui Ibu? Ibu ingin mengenalnya lebih dekat. Apa dia pekerja keras?" tanya Bu Susan sambil melepas pelukannya, berusaha mencairkan suasana.
Olivia menganggukkan kepalanya. "Dia sempurna, Ibu pasti akan menyukainya. Asalkan Ibu berjanji untuk sembuh, nanti aku akan membawanya ke sini, hehehe ...."
"Dasar, tentu saja Ibu akan berusaha untuk sembuh. Ibu tidak mau menjadi bebanmu terus," bual Bu Susan sambil tersenyum lebar.
Mereka pun larut dalam percakapan sampai tidak terasa sudah malam dan Bu Susan tertidur setelah Olivia menyuapinya makan.
Olivia melirik jam di dinding sambil melihat kiri-kanan. Sudah hampir jam sembilan malam. Suasana terasa sunyi sepi. Dari semenjak Sera keluar membawa ayam bakar madu, dia tidak kembali lagi sampai sekarang.
"Ke mana anak itu?" gumam Olivia. Dia ke luar dari ruangan ibunya sambil menghubungi Sera.
Teleponnya tersambung, tapi tidak dijawab. Olivia mencoba meneleponnya lagi dan tetap saja tidak ada jawaban.
Olivia memutuskan untuk mencarinya ke kantin rumah sakit. Dia melihat banyak orang yang sedang makan malam di sana, tapi tidak dapat menemukan adiknya.
Di belakang kantin ada sebuah danau dengan taman bunga yang indah serta jembatan penghubung yang diukir layaknya batang pohon. Lorong menuju danau ditutupi dengan tanaman merambat dan lampu kuning di setiap sisinya. Biasanya danau ini menjadi tempat favorit para dokter, perawat dan pengunjung rumah sakit untuk melepas penat.
Olivia terbuai saat merasakan udara sejuk dan ketentraman saat duduk di salah satu ayunan taman. Terbesit ingatan yang menyeretnya ke masa lalu. Masa di mana dia dan William sering menghabiskan waktu berdua di ayunan ini. Bentuk ayunannya sudah diperbarui, tapi tempat dan posisinya masih sama.
Tidak banyak kenangan dengan Erfan di rumah sakit karena dia tidak pernah mau diajak berkeliling setiap kali mengunjungi ibunya. Mengingat Erfan, membuat lukanya kembali menganga. Perkataan menyakitkan saat menemuinya di apartemen masih terngiang-ngiang di telinga.
Kedua mata Olivia berkaca-kaca. Hampir saja air matanya jatuh untuk seorang bajingan seperti Erfan.
Daripada mengingat Erfan, lebih baik dia mencari tahu kabar Petra-suaminya. Olivia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Pak Lim.
"Ya, Nona? Ada yang perlu saya bantu?" tanya Pak Lim di balik telepon. Pria tua berusia sekitar lima puluh tahunan yang dipekerjakan Petra sebagai kepala pelayan di mansion phylax.
"Apa Petra sudah pulang, Pak?" bisiknya hati-hati sambil terus mengayunkan ayunan dan merasakan angin sepoi-sepoi.
"Tuan Muda Petra tidak akan pulang malam ini. Beliau baru akan kembali besok. Tadi sore beliau menghubungi, menanyakan apa yang sedang Nona lakukan. Saya bilang, Nona Olivia belum kembali dari pusat perbelanjaan, Tuan Petra langsung menutup telepon begitu saja. Nona akan pulang jam berapa?" tanya Pak Lim dengan suara orang tua yang khas.
"Aku masih ada urusan, tidak bisa pulang malam ini. Akan aku usahakan pulang besok pagi. Kalau dia menanyakan aku lagi, katakan saja aku sudah tidur," pinta Olivia memohon.
"Baik, Nona. Jangan membuat saya berada dalam masalah, ya?"
"Tentu!" Olivia menutup panggilan telepon dan menatap layar ponsel sambil menyunggingkan senyum.
Jika ingin tahu apa yang sedang aku lakukan, kenapa tidak langsung menghubungiku saja? Cih! (Batin Olivia)
Olivia memasukan ponselnya ke dalam saku celana sambil senyum-senyum. Namun, saat dia akan beranjak bangun, tiba-tiba matanya membulat, senyumnya menyusut, lututnya mendadak lemas, tubuhnya mati membeku.
Pria berkacamata dengan poni acak yang sangat familiar sedang berdiri di hadapannya sambil menunduk menatapnya. Siapa lagi kalau bukan William-cinta pertamanya. Dokter tampan nan ramah yang pernah mencuri hatinya bertahun-tahun lalu.
"Lama tidak bertemu," ucap William lirih sambil melempar senyum indah yang dulu senyum itu selalu menghangatkan hatinya.
Olivia langsung menundukkan wajahnya sambil menelan saliva. Telapak tangannya mulai basah karena gugup.
William merendahkan tubuhnya dengan berjongkok di bawah dengkul Olivia. Dia menengadahkan wajahnya menatap Olivia sampai jakunnya yang terlihat seksi menonjol dengan tegas.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Wiliam perhatian.
Olivia tidak mau menatap William. Dia terus memalingkan wajahnya ke arah lain. Rasa kecewa bertahun-tahun lalu masih tersimpan di lubuk hatinya yang paling dalam. Olivia tidak akan pernah lupa saat William menghilang begitu saja tanpa mengatakan sepatah katapun, sama seperti yang Erfan lakukan padanya. Mereka berdua tidak lebih dari seorang pengecut!
William menyentuh lembut pipi Olivia sambil tersenyum lebar. Namun, Olivia menepis tegas lengannya dan beranjak bangun memunggunginya.
"Sepertinya kamu salah orang, permisi!" kata Olivia.
William segera menarik lengan Olivia saat dia mencoba kabur darinya. Dia langsung memeluk tubuh Olivia dengan begitu erat penuh kerinduan. Tidak mau membiarkan Olivia berpaling dan pergi. Itu sangat menyiksa.
"Olivia, aku sangat merindukanmu," ucap William sambil menghirup aroma tubuh Olivia dari tengkuk lehernya. Aroma yang sama seperti dulu.
Mata Olivia berkabut, dadanya terasa sesak tak tertahan. Dia mendorong tubuh William, berusaha melepaskan diri.
"Aku tidak mengenalmu. Jangan asal menyentuh!" geram Olivia sambil meninggalkan William begitu saja.
William tak gentar, dia berlari mengejar Olivia.
"Olivia! Olivia! Aku datang ingin meminta maaf. Olivia, berhentilah!" teriaknya tanpa peduli ada banyak pengunjung rumah sakit yang melihatnya di lorong. Dia terus saja mengejar Olivia.
"Olivia, jangan menghindariku!" William berhasil menarik lengan Olivia dan menyeret tubuhnya ke dinding. "Lihat aku, aku sudah kembali. Apa kamu tidak senang? ... Olipopku."
Deg!
Olivia mengeraskan rahangnya dengan mata berapi-api. William menyebutkan nama keramat yang dulu adalah panggilan sayangnya pada Olivia. Telinganya tidak mau mendengar, terasa sakit menusuk.
"Senang? Heh! Memangnya siapa yang mengharapkanmu kembali? Sepertinya kamu salah sangka," bantah Olivia sambil berusaha menyembunyikan kegugupannya.
"Aku berutang penjelasan padamu. Aku pergi saat itu karena terpaksa, bukan karena keinginanku sendiri. Jangan menatapku penuh kebencian seperti ini, aku tidak suka."
"Aku tidak peduli. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semuanya sudah berlalu begitu lama, aku juga sudah melupakanmu. Saat kamu pergi tanpa mengatakan apapun padaku, dari situlah cinta sudah tidak aku rasakan lagi. Aku sudah menghapus semua tentangmu dari ingatanku. Sudah bagus kamu pergi, kenapa malah kembali?" ucap Olivia sadis, sambil menaikan dagunya dengan tegas.
Kedua mata William berkedut memerah panas sambil menatap kedua mata Olivia yang dipenuhi kebencian. Satu kedipan saja pasti air mata Wiliam jatuh. Dia tidak percaya Olivia-remaja yang dulu sangat lemah lembut telah berubah jadi wanita yang tak berperasaan. Dengan teganya dia menghancurkan hati William dengan bicara begitu kejam.
...
BERSAMBUNG!!!
Komentar kalian semangatku, luv..