"Emm ... semoga saja tidak," jawab Pak Lim sekenanya.
"Aih, kenapa Pak Lim begitu tenang? Apa Pak Lim mengharapkan aku mati?" gerutu Olivia. "Pak Lim sudah sering kemari, pasti ada jalan pintas agar cepat sampai di mansion, kan? Kita pakai jalan pintas saja, ayo, cepat!"
Olivia begitu tidak sabaran karena sangat takut, membuat Pak Lim yang tadinya tegang malah tersenyum menertawainya diam-diam.
Pak Lim pun segera berbelok arah menuju jalan pintas karena niatnya dari awal juga akan menggunakan jalan pintas agar tidak menimbulkan masalah.
Sesampainya di gerbang mansion, saat Olivia turun tergesa-gesa dari mobil sambil membawa tasnya. Dia melihat mobil mewah Petra sudah terparkir tepat di halaman depan. Tentu saja hal itu membuat Olivia mati kutu, lututnya gemetar lemas. Dia pasrah bila sesuatu terjadi padanya.
"P-Pak Lim, Petra sudah sampai lebih dulu. Bagaimana dengan nasibku?!" bisik Olivia ketar ketir sambil menelan saliva dan memeluk erat tasnya.
Pak Lim juga sama terkejutnya seperti Olivia. Malah dia lebih panik sampai rambut berubannya menegang dengan keringat dingin bercucuran di kening. Jika Petra tahu Olivia tidak ada di rumah, Pak Lim pasti kena marah. Pekerjaannya akan terancam karena sudah membohonginya dari kemarin.
Olivia segera bersembunyi di balik tembok gerbang saat melihat Petra ke luar dari mobil yang dibukakan oleh supir.
Dia memutar otaknya untuk mencari cara, tapi otaknya tiba-tiba eror, seakan membeku. Andai saja Olivia bisa mengambil otaknya sendiri dan memberi sedikit tamparan mungkin otaknya akan kembali bekerja.
Tiba-tiba saja cahaya ilahi muncul di atas kepala. Olivia segera membuka tasnya dan mengambil celana training serta kaos longgar berwarna putih polos. Dia bergegas mengenakan semua itu meski harus memakainya secara tumpuk dengan pakaian sebelumnya karena tidak mungkin berganti pakaian di depan gerbang seperti ini.
Olivia tak lupa mengikat rambut hitam panjangnya seperti ekor kuda, lalu dia mengambil tanah basah dan mengotori pipinya, sikunya dan sedikit mengenai bajunya agar terkesan seperti orang yang baru saja jatuh di kubangan lumpur.
"Apakah Petra akan percaya kalau aku baru saja jatuh saat olahraga pagi?" gumamnya tak tenang.
Olivia mengambil batu runcing dan dia rela melukai sedikit tulang pipinya serta sikunya sampai mengeluarkan darah demi membuat Petra percaya pada akal-akalannya.
"Uh, perih! Tapi, goresan ini tidak seberapa dibanding jika Petra mencekikku dan membuatku mati," ucapnya menggerutu sambil beranjak bangun.
Dia memasukan tas ke dalam mobil. "Pak Lim, sembunyikan tasku. Aku sudah janji tidak akan membawa masalah apa pun untuk Pak Lim," ujarnya sambil tersenyum.
Pak Lim terkejut melihat betapa kacaunya tampilan Olivia yang kotor oleh tanah, begitu pun dengan luka di pipinya. Namun, dia tidak sempat menghentikan Olivia untuk bertanya, Olivia sudah terlanjur masuk ke dalam. Tak mau ambil pusing, Pak Lim hanya mengikuti perintah Olivia dengan menyembunyikan tas miliknya sambil memarkirkan mobil.
"Di kamarnya juga tidak ada, Tuan," ucap supir pribadi Petra sambil menuruni tangga dan menghampirinya. Petra menyuruhnya memanggil Olivia, tapi Olivia tidak ada di mana pun.
Kening Petra langsung mengerut, rahangnya mengeras tajam. Dia mengibaskan jubah hitamnya dan duduk di sofa sambil melipat kedua tangan di atas perut.
"Pak Lim tidak ada, dia juga tidak ada. Tanya pada para pelayan pergi ke mana mereka tanpa sepengetahuanku!" serunya dengan mata menyipit.
"Baik!"
Mungkinkah dia kabur setelah memiliki kartu black gold? Berani sekali dia! (Batin Petra)
Setelah supir pribadi Petra pergi memanggil para pelayan, Olivia menyeret kakinya masuk dengan wajah pucat. Dia menyentuh lengannya sambil terengah-engah.
Petra yang melihat wajah pucat disertai luka dan pakaiannya yang kotor tentu saja langsung syok. Dia beranjak bangun dan menghampiri Olivia.
"Apa yang terjadi?" tanyanya panik dengan mata membulat.
Olivia segera menggapai lengan Petra dan mencengkeramnya seperti menahan tubuh yang hampir ambruk pada tiang yang kokoh.
"Air! Aku butuh air ... ambilkan air," pintanya dengan suara gemetar.
"Pelayan! Ambilkan air!" teriak Petra tak main-main. Dia segera menggiring Olivia ke sofa dan membantunya duduk dengan hati-hati.
"Ada apa? Kenapa bisa kamu terluka seperti ini?" tanya Petra penasaran.
Olivia menelan saliva dalam-dalam. Dia takut kebohongannya terbongkar. Dia berusaha sekuat mungkin untuk mendalami perannya demi keselamatan hidupnya.
Belum sempat Olivia menjawab, segelas air sudah dibawa oleh seorang pelayan. Pelayan pria ini tampak sangat sigap karena takut membuat Petra marah.
Olivia berniat mengambil gelas airnya, tapi Petra sudah mendahuluinya dan dia juga membatu Olivia minum. Perasaan Olivia sedikit tergerak, dia tidak tahu Petra secemas ini.
"Apa yang kamu lihat?! Ambilkan kotak obat!" bentak Petra pada pelayan pria sampai suaranya melengking di telinga.
"Katakan, apa yang terjadi?" tanya Petra penasaran setengah mati.
"Aku ... aku sedang olahraga tadi pagi di sekitar sini. Saat aku akan pulang, aku malah tersesat karena banyak sekali pohon besar yang mirip, lalu tidak sengaja tersandung bebatuan. Aku terjatuh di kubangan lumpur dan sedikit mendapatkan luka. Untung saja bertemu Pak Lim di jalan. Dia cemas karena aku keluar dari pagi tidak bilang-bilang," jelas Olivia dengan wajah menunduk sambil meremas bajunya dan berdoa dalam hati semoga Petra percaya dengan ucapannya.
"Kenapa tidak meminta Pak Lim atau salah satu pelayan untuk menemanimu? Kamu orang baru di sini, jangan coba-coba keluar tanpa pendamping," gerutu Petra memperingati.
"Itu ... itu karena Pak Lim dan pelayan baru yang kamu kerjakan semuanya laki-laki. Aku tidak nyaman berduaan dengan pria di alam bebas," kata Olivia gugup bukan main.
Petra terdengar mengembuskan napas kasar. Ucapan Olivia ada benarnya, Petra jadi sedikit merasa bersalah karena dia mengganti pelayan lama dengan pelayan baru yang semuanya pria. Niat awalnya agar bisa menjaga mansion dan melayani Olivia lebih baik karena tenaga pelayan pria jauh lebih kuat dari pelayan wanita.
"Besok aku carikan pelayan wanita khusus untuk melayanimu," kata Petra sambil mengambil kotak obat yang pelayan pria berikan padanya.
Dia membersihkan tanah dari pipi, lengan dan seluruh tubuh Olivia dengan lembut, lalu mengolesi luka di tulang pipinya dengan obat.
"Auh!" rintih Olivia sambil mengernyit kesakitan. Dia melihat dari ekor matanya supir pribadi Petra dan Pak Lim sedang mengintip dari celah pintu.
"Ah, apa aku terlalu kasar?" tanya Petra sambil menatapnya hati-hati.
Olivia yang kini sedang bersandar di sofa dengan menengadahkan wajahnya bertemu dengan bola mata Petra. Hatinya sedikit tergerak. Dia memandangi wajah mulus Petra tanpa celah, bola mata amber yang indah memikat, garis hidung yang tegas, bibir keriting tipis yang seksi serta rahang tajam dan jakunnya yang menggiurkan mata. Akankah orang-orang percaya jika wajah setampan ini bisa berubah jadi iblis yang kejam? Olivia hanyut dalam lamunannya.
"Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan garis wajah dengan begitu sempurna? Apa kamu ini blasteran surga?" celetuk Olivia tanpa sadar.
Blush...
...
BERSAMBUNG!!!