Beberapa jam telah berlalu. Petra mengerjapkan matanya perlahan. Dia tidak sadar jika dirinya tertidur karena pijatan Olivia.
Petra segera beranjak duduk sambil menjepit keningnya. "Jam berapa ini?" gumamnya.
Dia mengontrol pandangan matanya yang berkabut, lalu mulai menatap ke seluruh ruangan dan menyadari kalau masih berada di kamar Olivia.
Begitu Petra menoleh ke belakang, Olivia sedang tertidur sambil duduk dengan bersandar di ranjang. Tidurnya terlihat sangat nyenyak sekali sampai Petra tak tega membangunkannya. Namun, jika tidak di bangunkan, Olivia bisa sakit leher karena posisi tidur sambil duduk seperti itu membuat kepalanya hampir jatuh.
Petra berjalan mendekat. Dia melambaikan tangannya di hadapan wajah Olivia. Memastikan kalau Olivia benar-benar tidur nyenyak. Tanpa pikir panjang, Petra pun mengangkat tubuh Olivia dan membaringkannya dengan sangat hati-hati. Meski hatinya bergetar takut Olivia tiba-tiba bangun dan membuat suasana menjadi canggung.
Begitu Petra menarik lengannya berniat akan pergi, tiba-tiba saja Olivia berbalik sambil menarik dan memeluk lengannya seperti memeluk bantal. Tentu Petra terkejut, tapi dia berusaha untuk tetap tenang.
Saat sedang begitu, pintu kamar terbuka. Terlihat wajah Pak Lim di balik pintu. "Nona -"
"Ssttt...!" Petra menyuruhnya diam.
Pak Lim langsung menundukkan wajahnya dengan sigap. Dia tak berani melihat Petra dan Olivia yang sedang berduaan di atas ranjang.
"Ah, maafkan saya, Tuan. Saya hanya ingin memberitahu kalau makan siang sudah siap," bisiknya hati-hati.
Petra hanya mengangguk. Dia menggerakkan kepalanya menyuruh Pak Lim pergi. Pak Lim pun bergegas pergi dari situ dengan wajah panik karena sudah menganggu waktu berduaan majikannya.
Petra menghela napas kasar sambil memperhatikan Olivia. Mana mungkin dia tega membangunkan wajah manis wanita yang sedang tertidur pulas dengan luka di tulang pipinya seperti ini.
Dia pasti sangat kelelahan karena tersasar dihutan. Jika dilihat baik-baik, wajahnya lumayan juga. Bulu matanya indah, pipi merahnya terlihat manis. Bibirnya pun cukup seksi, merah muda berair. (Batin Petra sambil tersenyum tipis)
Membicarakan masalah bibir, Petra jadi teringat saat bibir mereka tak sengaja bertabrakan malam itu. Itu adalah ciuman pertamanya dan Olivia yang merampasnya. Rasanya bibir menjadi hangat, napasnya pun sangat sesak saat itu. Detak jantung terus berdetak tak mau diam. Malamnya Petra sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak, dia terus membayangkan rasanya berciuman. Uh, membuat bulu kuduk kembali meremang, darah pun terasa mengalir panas ke seluruh tubuh.
"Ehem!" Petra membuyarkan lamunannya karena wajah bahkan sampai telinganya merah saat ini. "Apa yang aku pikirkan!" gerutunya, kesal pada diri sendiri.
Petra pun menarik lengannya dan berusaha bersikap masa bodoh pada Olivia. Dia pergi dari situ sambil menutup setengah wajahnya, takutnya ada seseorang yang menyadari kalau dia sedang tersipu.
...
Di rumah sakit.
Operasi Bu Susan berjalan dengan baik. Meski membutuhkan banyak waktu, tapi para dokter sudah berusaha semaksimal mungkin karena William diam-diam sudah menjanjikan sesuatu. Dia akan menyumbang ratusan juta pada rumah sakit setiap bulannya selama satu tahun apabila para dokter bisa menyelamatkan nyawa Bu Susan.
Pengorbanannya pun tidak sia-sia. Bu Susan bisa terselamatkan, tapi sayangnya Bu Susan masih koma dan tidak tahu kapan akan siuman. Penyakitnya semakin parah, sepertinya akan lebih sulit menyembuhkannya karena mulai komplikasi.
William yang baru saja menyelesaikan biaya operasi Bu Susan kembali menghampiri Sera yang sedang berada di ruang pemulihan.
Sera sedang asik memainkan ponselnya, seakan acuh dan tidak terlihat sedih sedikit pun.
"Sera, kakakmu sudah bisa dihubungi?" tanya William.
Sera terkejut melihat kedatangan William yang tiba-tiba. Dia segera menyembunyikan ponselnya dan memasang wajah sedih.
"B-belum. Tidak tahu apa yang sedang Kakak lakukan sampai sulit dihubungi seperti ini. Biasanya Kakak selalu mengaktifkan ponselnya jika bepergian ke mana pun karena selalu mencemaskan kabar Ibu. Tapi, sekarang kenapa malah seperti ini. Membuatku kesal saja. Mungkin Kakak sudah tidak peduli lagi pada Ibu!" gerutu Sera dengan wajah murung.
"Jangan-jangan sesuatu telah terjadi padanya," duga William cemas. Dia mulai tidak tenang karena berasumsi sendiri.
Saat sedang begitu, ponsel William berdering. Ada panggilan masuk dari ayahnya yang tidak bisa dia tolak. Dia ke luar untuk menjawab panggilan telepon itu.
"Ada apa, Ayah?" tanyanya dengan wajah dingin.
"William, Ayah menyuruhmu untuk mengelola perusahaan! Tapi, sudah dua hari ini kamu menghilang. Barusan sekretarismu melapor pada Ayah, pengeluaranmu hari ini tidak biasa. Setiap kali kamu kabur, kamu selalu berada di pedalaman terpencil itu. Sebenarnya apa yang kamu cari di sana?!" geram ayahnya sampai suaranya yang kencang menyakiti telinga William.
William menggertakan giginya hingga rahangnya mengeras kuat. Dia embuskan napas kasar. "Sudah kubilang, jangan memata-matai aku! Aku tidak suka!"
"Jika kamu menurut, Ayah tidak akan mengawasimu seperti ini. Cepat kembali ke Ibu Kota, atau Ayah cari tahu apa yang sebenarnya kamu lakukan di sana!"
Panggilan telepon pun terputus. William sangat-sangat marah, matanya tertutup emosi. Dia remas ponselnya sampai urat-urat di lengannya menonjol menjalar seperti akar.
Tiba-tiba Sera ke luar dari ruangan ibunya dan melihat William yang sedang meremas ponselnya. Dia segera menghentikan William, jika tidak ponselnya mungkin akan remuk dan serpihannya bisa melukai telapak tangan William.
"Dokter Willy, apa yang terjadi sampai Dokter terlihat semarah ini?" tanya Sera panik.
William mengontrol emosinya meski matanya masih merah menyala. "Jaga ibumu. Aku harus kembali ke Ibu Kota sekarang, ada urusan mendesak yang harus aku selesaikan," ucapnya sambil berlalu begitu saja.
"Eh, tapi -" Sera tak sempat menghentikan William. Dia melihat punggung William yang semakin menjauh.
Sera sangat kesal karena merasa diacuhkan dan ditinggalkan. Sebab, sebelum mendengar kabar ibunya jatuh dan kritis, William berjanji akan membawa Sera ke Ibu Kota.
"Semua ini gara-gara Kakak dan Ibu! Jika Kakak tidak pergi ke Ibu Kota dan Ibu tidak koma, aku mungkin sudah pergi berdua dengan Dokter Willy," geram Sera sambil mengepalkan kedua tangannya.
Sera mengambil tas tangan miliknya dan mengeluarkan sejumlah uang yang Olivia berikan untuk melunasi biaya sekolahnya. Dia pun menghubungi Bibi Lusi.
"Halo, Bibi? Dengar-dengar katanya Bibi sedang butuh uang, ya? Bagaimana kalau Bibi tolong aku menjaga Ibu di rumah sakit? Aku harus ke luar kota untuk beberapa waktu karena tugas dari sekolah. Tenang saja, aku akan membayar Bibi, kok."
"Wah, kebetulan sekali. Kalau begitu Bibi akan segera bersiap-siap ke rumah sakit," ujar Bibi Lusi yang terdengar sangat antusias.
Sera mematikan panggilan teleponnya sambil menyunggingkan senyum. "Ibu, maaf aku harus bersikap egois. Aku juga ingin mencari kebahagiaanku sendiri," ujarnya sambil tersenyum.
...
Baru saja Olivia mengaktifkan ponselnya sambil mengucek kedua matanya karena berkabut setelah bangun tidur, dia dikejutkan dengan beberapa panggilan tak terjawab dari Sera.
Firasatnya mengatakan telah terjadi sesuatu, sebab bila Sera sampai menghubunginya berkali-kali, biasanya ada yang terjadi pada ibunya.
Olivia segera menghubungi Sera dengan perasaan tak karuan. Dalam hatinya dia berdoa semoga apa yang dia pikirkan tidak benar. Namun, sudah lama menunggu Sera tidak menjawab teleponnya. Membuat Olivia semakin resah.
Olivia kembali menghubungi Sera dan ternyata tidak ada jawaban juga. Hingga pada akhirnya ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari sebuah nomor tanpa nama.
...
BERSAMBUNG!!