Kedua pipi Petra tiba-tiba bersemu merah, matanya terpaku menatap Olivia di bawahnya dengan alis kiri terangkat naik.
"Apa yang kamu bicarakan?" tanya Petra sambil menyipitkan mata.
Lamunan Olivia langsung membuyar detik itu juga. Bola matanya terbelalak besar dengan wajah yang sangat-sangat merah setelah sadar dengan apa yang baru saja dia ucapkan.
Dia langsung mendorong wajah Petra dengan telapak tangannya dan menyembunyikan mukanya.
"A-aku hanya asal bicara. Ah, sepertinya aku bisa mengobati lukaku sendiri." Olivia tergesa-gesa mengambil kotak obat di atas meja dan langsung melarikan diri ke kamar.
Blasteran surga? (Batin Petra sambil menyunggingkan senyum)
"Pak Lim, keluarlah. Aku tidak akan membuat perhitungan denganmu," ujar Petra sambil bersandar di sofa dengan santai. Suasana hatinya terlihat baik.
Ternyata Petra tahu Pak Lim sedang mengintipnya dari celah pintu bersama supir pribadinya. Mau tak mau Pak Lim pun menampakan diri dan menghampiri Petra dengan langkah gontai.
"T-Tuan, maaf, saya terlalu ceroboh membiarkan Nona Olivia pergi keluar sendirian," ucapnya gugup sambil mengusap keringat dingin di kedua pelipisnya menggunakan sapu tangan.
"Bukan salahmu Pak Lim. Dia menanggung akibat dari tindakannya sendiri, biarkan saja. Carikan satu pelayan wanita untuk ditempatkan di sini besok. Pilih yang tidak banyak bicara dan penurut," ujar Petra sambil beranjak bangun dengan memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya.
"Baik!"
"Lain kali, jika aku sedang berbicara dengannya jangan ada yang berani menguping!" tegas Petra dengan tatapan penuh maksud pada Pak Lim dan supir pribadinya sambil berlalu menaiki tangga.
Pak Lim dan supir pribadinya hanya bisa membungkuk dengan mulut komat-kamit ketika ditatap seperti itu oleh Petra. Mereka tak berani menatapnya, bahkan bergerak saja tidak sampai Petra benar-benar menghilang dari pandangan mereka.
Petra membuka pintu kamar Olivia. Baru saja masuk satu langkah, dia segera membuang mukanya dengan wajah panik. Sebab, Olivia sedang berganti pakaian. Punggung mulusnya tak sengaja terlihat.
"Astaga! Hey, apa kamu tidak punya tata krama? Setiap kali masuk tidak pernah mengetuk pintu!" teriak Olivia terkejut, sambil buru-buru mengenakan pakaiannya dengan bersembunyi di samping ranjang.
"Aku ... belum terbiasa, lagipula kamu sudah hampir selesai, aku tidak melihat apa pun. Tidak ada untungnya juga bagiku," ujar Petra yang masih membuang muka sambil meremas gagang pintu dengan wajah malu.
"Ck, masih tidak pergi. Ada keperluan apa?" tanya Olivia sambil berdiri menatapnya karena sudah selesai mengenakan pakaian.
Petra mengintip diam-diam dari ekor matanya. Olivia sudah selesai mengenakan pakaian. Dia menghilangkan muka malunya sambil menutup pintu dan berjalan mendekati Olivia.
"Pemulihanmu cepat juga, baru saja aku melihatmu seperti orang yang hampir mati, sekarang sudah berenergi lagi," sindir Petra.
Olivia menelan salivanya sambil duduk di tepi ranjang. Dia berusaha bersikap normal meski merasa Petra sudah mulai mencurigainya.
Petra mengambil sesuatu dari saku celananya, lalu membungkuk di hadapan Olivia. Olivia terkejut, dia mengira-ngira apa yang mau Petra lakukan. Ternyata Petra mau menempelkan plester di bagian pipi Olivia yang terluka. Lagi-lagi wajah mereka begitu dekat. Membuat Olivia canggung saja.
Sentuhan tangan Petra yang lembut kembali menggetarkan hatinya. Embusan napasnya yang teratur membuat bulu kuduk Olivia merinding. Tubuh Olivia membatu, tidak bisa menolak uluran tangan Petra. Bahkan matanya tak ingin menatap Petra karena tiba-tiba teringat ucapan tak sadarnya barusan yang membuat napasnya sesak seakan oksigen di sekitar menipis.
Petra juga menarik pergelangan tangan Olivia, lalu menempelkan plester pada sikunya yang terluka. Dia begitu memperlakukan Olivia dengan baik dan lembut.
"Ehem, terima kasih. Tapi, kamu tidak perlu sampai seperti ini. Aku hanya tergores sedikit, lukanya akan segera sembuh," kata Olivia sambil menyembunyikan wajah malunya. Tangannya meremas sprei dengan kencang.
"Aku sudah berjanji akan memperlakukanmu dengan sangat baik," ucap Petra lirih dengan tatapan yang beradu dengan Olivia. "Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan."
Petra berjalan menjauh dan duduk di sofa sambil menyilang kaki. Berseberangan dengan Olivia. Sedang duduk saja aura kebangsawanannya terlihat sangat pekat. Posisi duduknya seperti seorang raja yang berwibawa.
"Apalagi yang harus kita bicarakan?" tanya Olivia.
Petra merogoh saku jasnya, mengeluarkan sebuah botol kecil yang didalamnya terdapat cairan bening serta beberapa suntikan yang masih tersegel. Dia letakan di atas meja.
"Ini obat penenang. Meski kamu memiliki cincin batu hitam, kamu harus tetap menyimpannya saat sedang bersamaku untuk berjaga-jaga dari Rex. Dia bisa menyerangmu kapan pun dan di mana pun. Jika sedang terdesak, kamu suntikan saja obat penenang ini pada lenganku," jelas Petra.
Petra melihat wajah Olivia berubah jadi murung, sepertinya perkataannya membuat nyalinya ciut.
"Jika bisa ditangani dengan obat penenang untuk apa ada aku?" gumam Olivia. "Apa Rex benar-benar berbahaya?" tanya Olivia untuk memastikan dengan benar.
Petra mengangguk tanpa ragu. "Sejauh ini tidak ada yang bisa meredam emosi dalam tubuh Rex selain kamu. Tenaga Rex lebih besar dari tenagaku. Dia bisa membanting tiga orang sekaligus. Aku tidak dapat menyuntikkan atau mengkonsumsi obat penenang terlalu sering, karena itu tidak baik.
"Bagaimana kalau aku sedang tidak memegang cincin batu hitam dan kamu tiba-tiba berubah jadi Rex? Apa ada cara lain untuk menenangkannya selain menyuntikkan obat penenang?" tanya Olivia kelabakan. Mendengar penjelasan Petra semakin membuatnya takut menghadapi Rex.
Petra menggelengkan kepalanya sambil menghela napas kasar. "Belum ada yang bisa menemukan cara lain. Kamu hanya perlu waspada, terkadang aku sulit mengontrol emosiku. Aku mendatangimu sebenarnya ingin membuat banyak perjanjian."
"Perjanjian? Apa lagi?" Olivia terlihat sudah pasrah dengan keadaan. Tidak ada hasrat untuk menolak.
"Perjanjian ini demi keselamatanmu juga. Kamu harus selalu bisa menyenangkan hatiku. Kamu tidak boleh bertindak sesukamu. Jangan bertingkah macam-macam yang bisa memicu emosiku karena jika kamu ingin tetap aman, aku harus selalu dalam suasana hati yang baik. Sebagai balasannya, jika kamu butuh uang atau apa pun, kamu bisa bilang padaku," jelas Petra dengan sorotan mata tajamnya yang begitu menusuk.
Olivia sampai dibuat menelan salivanya berkali-kali. Dia meremas dengkul sambil berusaha menarik sudut bibir. Tidak disangka menikah dengan Petra begitu rumit, meski tidak perlu mencemaskan uang, tapi harus mencemaskan keselamatan diri sendiri. Hal ini lebih sulit dibandingkan tidak memiliki uang.
"Baiklah, aku janji akan bersikap baik jika berada di dekatmu. Aku juga tidak ingin membahayakan diriku sendiri," kata Olivia dengan wajah sedikit pucat.
Dia menjadi sangat penurut. Apa karena dia sudah menyadari kalau aku adalah sumber uang untuknya? (Batin Petra)
"Apa yang kamu sukai dan yang tidak kamu sukai? Aku harus melayanimu seperti apa? Setidaknya aku harus tahu hal-hal dasar seperti ini, kan? Hehe ...," tanya Olivia sambil menyeringai bagai kuda.
"Aku menyukai ketenangan. Kamu tidak diharuskan melayaniku, kamu hanya perlu bersikap baik saja. Karena kamu sekarang istriku, jika ingin bertindak harus menggunakan otak. Tidak masalah mau menghabiskan berapa banyak uangku, tapi kamu harus memutuskan kontak dengan masa lalumu. Jangan berhubungan dengan pria lain. Aku tidak ingin orang tuaku memandangmu sebagai wanita yang tidak baik."
Olivia diam-diam mengulum senyum. Perkataan terakhir Petra terdengar seperti sedang menghawatirkannya dan menjaga harga dirinya di depan orang tuanya sendiri. Entah kenapa rasanya senang Petra bicara begitu. Rasa takut yang dari tadi menghantui, perlahan menyusut. Olivia mengangguk dengan cepat sampai kepalanya hampir copot.
Cih, dia terlihat senang setiap kali aku membahas uang. (Batin Petra)
Olivia beranjak bangun dan langsung loncat sambil duduk di samping Petra dengan senyum yang begitu merekah.
"Kamu terlihat lelah. Lihat, kerutan di wajahmu akibat terlalu banyak bekerja. Uh, kulitmu juga jadi kusam tidak bercahaya setelah pulang dari kantor cabang. Perbanyak minum dan istirahat. Aku sebagai istri, yah meskipun bukan benar-benar istri sih, tapi tetap harus bisa menjagamu dengan baik, kan? Bisa-bisa aku dicaci ayah dan ibumu karena tidak bisa merawatmu. Mana yang pegal? Kaki, tangan, pundak atau 'anu'? Aku bisa memijatnya agar otot-ototmu tidak tegang," cecar Olivia sambil memijat lengan serta kaki Petra dengan kecepatan kilat.
...
BERSAMBUNG!!
Jangan lupa power stonenya, luv...