"Olivia, kamu! Bagaimana bisa kamu bicara seperti itu?!" kata William tak terima.
Olivia melihat kekecewaan dari matanya. Ada rasa tidak tega juga, tapi instingnya mendorongnya untuk menjauhi William. Mau bagaimana lagi, kini dia sudah bersuami meski pernikahannya adalah pernikahan kontrak, tetap saja Olivia merasa tidak tenang jika terlalu dekat dengan pria lain.
Olivia berusaha acuh. Dia masuk ke ruangan ibunya dengan pikiran yang berkecamuk tidak tenang. William pun tidak lagi mengejarnya. Mungkin sudah tertampar oleh perkataan Olivia.
Dia menghela napas kasar sambil duduk di sofa. Jantungnya berdegup kencang. Entah karena gugup bertemu kembali dengan William atau karena perasaan lama tumbuh kembali?
Ah, jangan sampai itu terjadi. (Batin Olivia)
Dia berusaha menenangkan pikirannya sambil merebahkan tubuh dan menetralisir suasana hatinya. Ibunya sedang tertidur, jangan sampai terganggu oleh suasana hatinya yang memburuk.
Di lorong rumah sakit, William menyeret langkah kakinya karena begitu lemas mendengar perkataan Olivia. Hasrat mengejarnya perlahan meredup. Hatinya hancur remuk redam. Dia pikir Olivia akan sangat senang saat dia kembali dan akan mudah memaafkannya. Tidak tahunya malah membuatnya sakit hati.
"Dokter Willy?!" panggil Sera dari jauh dengan pakaian yang amat seksi. Dia berlari menghampiri William.
William segera menyembunyikan rasa sakitnya di hadapan Sera. Dia berusaha menarik kedua sudut bibirnya sambil menyapanya dengan ramah.
"Dari mana kamu malam-malam dengan pakaian seperti ini?" tanya William sambil melihat penampilan Sera dari ujung kaki hingga kepala yang menyakiti mata. Dia bisa melihat belahan dada dan paha Sera dengan bebas.
"Aku ... dari rumah teman, hehe. Dokter Willy mau ke mana? Ah, apa baru saja menjenguk Ibu?" tanya Sera dengan wajah ceria.
"Emm ... yah, tadinya mau menjenguk ibumu, tapi ternyata sudah terlalu malam. Yang ada malah mengganggunya, ibumu kan harus banyak istirahat. Aku bisa menjenguknya besok," ujar William sambil membenarkan kacamatanya dengan gugup.
Sera memperhatikan gerak-gerik William yang mencurigakan. "Sudah bertemu dengan Kakak?" tanyanya penasaran.
"Ah, itu ... sudah," jawab William lirih, bola matanya berputar ke sana-kemari. "Em, sudah malam, aku harus pergi. Masuklah temani Kakak dan ibumu."
William berusaha larikan diri karena ingin segera menenangkan pikirannya yang kacau balau, tapi Sera malah menarik lengannya dan menghentikannya. Seakan belum puas membuatnya resah.
"Dokter Willy akan kembali bekerja di rumah sakit ini?" tanya Sera dengan tatapan penuh harap.
"Tidak," jawab William sekenanya.
Bibir Sera langsung mengerucut. "Hum, begitu. Dokter Willy akan pergi ke luar kota lagi, ya? Kapan? Besok?"
"Yah, sepertinya begitu jika tidak ada urusan lagi di sini."
"Kalau begitu, boleh aku minta nomor ponsel Dokter Willy? Jika ada sesuatu mengenai pertunangan Kakak, aku akan langsung menghubungi Dokter. Aku rasa Dokter Willy masih menyimpan harapan pada Kakak, hehe. Sebenarnya aku mendukung hubungan kalian, lho. Ayo, berikan nomor ponsel Dokter," bujuk Sera sambil tersenyum penuh maksud.
Sera menyodorkan ponselnya.
William tidak langsung menurut, dia memandangi ponsel Sera sambil berpikir. Tidak ada salahnya mengetahui informasi Olivia dari adiknya. Dia tidak akan langsung menyerah meski Olivia membencinya. Dia berjanji akan membuat Olivia jatuh cinta lagi padanya.
Lalu, mengenai tunangannya?
Hanya tunangan, masih bisa kurebut. (Batin William)
William pun mengambil ponsel Sera dan memasukan nomornya tanpa ragu, lalu segera mengembalikannya lagi.
"Nanti kirimkan nomor kakakmu, tapi jangan beritahu dia," ujarnya sambil menatap penuh waspada.
"Tentu!" Kedua mata Sera berbinar ria, senyumnya bahkan sampai berbunga-bunga. Dia melihat kepergian William dan langsung melompat kegirangan.
...
Pagi hari sekali, bahkan mata hari juga belum muncul, tapi Olivia harus segera berpamitan pada ibunya. Olivia mengatakan kalau dia akan sering mengunjungi ibunya. Bu Susan pun mengerti karena sekarang Olivia sudah mempunyai suami, dia harus membagi rata waktunya.
Olivia melihat Sera yang masih tertidur pulas di lantai yang beralaskan karpet tipis.
"Oh iya, Bu, mengenai pernikahanku, sebaiknya jangan dulu diberitahukan pada Sera. Pernikahanku juga bukan pernikahan yang besar. Takutnya dia berpikir yang tidak-tidak karena aku bukan menikah dengan Erfan. Tolong tutupi dulu, aku akan mencari waktu yang tepat untuk memberitahunya nanti," bisik Olivia. Dia tidak mau membuat adiknya terganggu.
Bu Susan mengangguk tanpa ragu. "Baiklah, lagipula anak ini selalu bertindak impulsif, takutnya akan merepotkanmu. Lalu, bagaimana dengan foto pernikahanmu? Sebaiknya kamu bawa saja, jika Ibu menyimpannya suatu saat mungkin Sera akan tahu. Ibu juga sudah melihat seperti apa menantu Ibu, parasnya yang tampan sudah Ibu ingat dengan jelas," ujar Bu Susan sambil tersenyum haru.
Olivia mengangguk cepat sambil memeluk erat ibunya. "Aku akan sering menjenguk Ibu. Ibu harus mendengarkan apa kata Dokter ya, agar cepat sembuh. Mengenai biaya, jangan dipikirkan. Kita berjuang sama-sama," ucap Olivia.
Dia melepaskan pelukannya, lalu memberikan berlapis-lapis uang pada ibunya.
"Kalau Sera sudah bangun, berikan uang ini padanya. Dia sudah lama menunggak uang sekolah, kasihan. Pasti sangat malu dengan teman-temannya," ujar Olivia.
"Ya ampun, uang sebanyak ini kamu dapatkan dari mana? Ibu juga dengar dari perawat kamu sudah melunasi semua biaya rumah sakit kemarin," kata Bu Susan dengan air mata yang bergelinang.
"Aku dapatkan dari Petra. Sudah kubilang dia sangat baik. Sudah, pokoknya Ibu jangan mencemaskan apa-apa. Aku sudah harus pergi." Olivia mengecup kening ibunya lalu berpamitan sambil membawa tas dengan perasaan tak tega.
Dia menitipkan pesan pada perawat untuk menjaga ibunya dengan sangat baik.
Setelah itu, Olivia pergi menemui pemilik pabrik bahan pakan untuk mengatakan kalau dia akan berhenti kerja. Dia menyerahkan kunci mobil yang biasa dia pakai untuk mengantar barang.
...
William membuka pintu ruangan Bu Susan sambil membawa seikat bunga dan buah-buahan segar. Wajahnya cerah berseri, tampilannya sangat rapi dan bersih. Sepertinya tidak sabar bertemu Olivia dan membuka suasana baru. Dia sudah melupakan kejadian kemarin, tidak mau berlarut-larut memikirkannya.
Terlihat Bu Susan sedang bersandar di bangsal sambil melamun menatap jendela. Cuaca di luar sangat cerah. Namun, tidak lagi cerah saat William tak melihat keberadaan Olivia.
"Selamat pagi, Bu Susan," sapa William dengan senyum merekah saat Bu Susan menoleh.
"Ah, Dokter Willy?! Apa saya tidak salah lihat?" kata Bu Susan sambil menyipitkan matanya dengan wajah yang pucat.
William memberikan seikat bunga pada Bu Susan lalu meletakan buah-buahan di atas nakas.
"Tidak, Ibu tidak salah lihat. Ini memang saya. Lama tidak bertemu. Bagaimana keadaannya sekarang, Bu?" tanya William ramah.
"Dokter Willy selalu saja membawa bunga saat mengunjungi saya, tidak pernah berubah, saya sangat berterimakasih. Keadaan saya masih sama seperti dulu, Dok. Biaya pengobatan yang membuat penyakit saya tidak kunjung sembuh," jawab Bu Susan dengan wajah murung. "Ah, apa Dokter Willy kembali bekerja di sini lagi? Dulu saya tidak tahu Dokter Willy berhenti bertugas, jadi tidak sempat mengucapkan selamat tinggal."
"Tidak, saya hanya berkunjung saja dan menemui teman lama. Oh, saya tidak melihat Sera dan Olivia. Apa mereka sedang keluar?" tanyanya sambil mengedarkan mata ke setiap penjuru ruangan.
"Sera sedang mencari sarapan. Olivia kemarin datang berkunjung, tapi dia sudah kembali lagi ke Ibu Kota pagi tadi," jawab Bu Susan sekenanya.
...
BERSAMBUNG!!!
Ramaikan kolom komentar dong...