"Apa! Ibu jatuh di kamar mandi? Bagaimana caramu menjaganya? Kenapa Ibu bisa jatuh di kamar mandi? Dasar ceroboh!" cecar Olivia kesal sambil berlari masuk ke kamarnya dan mulai mempersiapkan diri untuk pulang kampung.
"Kemarin malam aku masih di kampus karena ada tugas tambahan. Aku menyuruh Bibi Lusi menjaga Ibu. Katanya Bibi Lusi pergi ke rumah dulu untuk mengambil baju ganti Ibu. Saat aku tiba di rumah sakit, aku melihat Ibu yang tak sadarkan diri di kamar mandi," jelas Sera tergesa-gesa.
"Sudahlah, aku akan pulang sekarang juga. Kamu jangan pergi meninggalkan Ibu sebelum aku tiba." Olivia mematikan teleponnya dan bergegas pergi sambil membawa tas.
...
Setibanya Olivia di kampung halaman, dia segera pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi ibunya. Di ruangan kelas rendahan ibunya terbaring lemah dengan selang oksigen di hidung sambil ditemani Sera. Dahinya terlihat merah, sepertinya akibat benturan di kamar mandi.
Kedua mata Olivia berkabut saat berjalan menghampiri bangsal ibunya.
"Kakak sudah sampai? Di mana Kak Erfan?" ucap Sera sambil mencari ke sana kemari. Seorang remaja berusia 20 tahun dengan rambut pendek sebahu. Dia lebih feminim dari Olivia, selalu menjaga penampilannya agar tetap fashionable meski harus menekan Olivia untuk memenuhi semua kebutuhannya.
"Sudah selama ini Ibu belum juga bangun? Apa sudah ada dokter yang memeriksanya?" tanya Olivia sambil menarik kursi dan duduk dengan mengelus tangan ibunya yang sudah keriput dengan selang infusan di bagian punggung tangannya. Dia sedang tidak ingin membahas Erfan.
"Sudah, dokter bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, untunglah benturan di dahinya tidak terlalu parah. Ibu juga sudah siuman tadi, aku langsung memberikannya obat dan sekarang Ibu tertidur," bisik Sera sambil melihat penampilan kakaknya yang tidak berubah sedikitpun meski sudah menginjakkan kakinya di Ibu Kota.
"Syukurlah kalau begitu. Kamu sudah makan?" tanya Olivia perhatian.
Sera menggelengkan kepalanya sambil menunduk. "Aku sudah tidak pegang uang dari beberapa hari yang lalu. Kampus juga menagihku untuk melunasi biaya semester. Aku sangat malu pada teman-temanku," kata Sera yang begitu malang.
Perasaan Olivia langsung tergores mendengarnya. Dia selalu merasa gagal menjadi seorang Kakak bagi adiknya setiap kali mendengar keluh kesah Sera. Ayahnya berpesan sebelum meninggal untuk menjaga dan merawat Sera dengan baik. Namun, terkadang hanya ingin mengajaknya pergi makan di luar saja Olivia tak mampu.
"Kamu mau makan apa? Kali ini Kakak akan menelaktirmu makan yang enak. Biaya sekolahmu juga akan Kakak lunasi," ucap Olivia sambil tersenyum haru.
Kedua mata Sera langsung berbunga-bunga. Dia tampak sangat terkejut mendengar Olivia mengatakan hal yang belum pernah sekalipun dikatakan selama ini.
"Yang benar?! Kakak tidak sedang membual, kan?" kata Sera dengan antusias yang tinggi.
"Sstt, kecilkan suaramu. Ibu bisa terganggu."
Sera langsung menutup mulutnya dan merendahkan suaranya. "Aku lupa. Kita makan di tempat yang bagus. Ada kafe baru di samping kampusku yang baru buka. Kita pergi ke sana sekarang, ayo!"
Saking bahagianya, Sera sampai langsung menyeret tangan Olivia.
"Tunggu, Sera! Kakak baru saja sampai, Kakak ingin istirahat sambil menunggu Ibu bangun. Kita tidak akan makan di luar tanpa Ibu, bungkus saja makanan yang kamu mau, lalu makan di sini bersama," ujar Olivia yang langsung membuat Sera kecewa berat.
Sera langsung melepaskan genggaman tangannya dengan bibir cemberut. "Ck, bilang saja Kakak tidak punya uang. Berlagak ingin mengajakku makan enak. Baru saja merasakan rasa senang yang tidak pernah aku rasakan, Kakak malah langsung mengecewakannya. Jahat sekali," gerutunya dengan tatapan sinis.
Tiba-tiba saja ada perawat wanita yang masuk dan menghampiri Olivia sambil membawa sesuatu di tangannya.
"Kebetulan kamu ada di sini," kata Perawat pada Olivia. "Bulan kemarin kamu sudah janji akan melunasi biaya rumah sakit yang terus menunggak. Sekarang rumah sakit sudah tidak bisa melonggarkan waktu lagi, kamu harus segera melunasi semuanya. Jika tidak, dengan terpaksa pihak rumah sakit akan mencabut alat-alat di tubuh ibumu," jelasnya sambil memberikan rincian biaya pada Olivia.
Olivia mengambil rincian itu dan melihat keseluruhan biayanya. Matanya membulat kaget, karena biayanya sungguh besar. Dia sudah menunggak sekian bulan sampai nominalnya beranak pinak dengan cepat.
"Sera kamu jaga Ibu dulu, Kakak akan pergi ke bagian administrasi," ucap Olivia sambil memasukan tasnya ke dalam laci nakas karena di dalam tas ada sesuatu yang tidak bisa diperlihatkan pada Sera.
Olivia pun pergi mengikuti perawat di depannya.
"Heh, sok-sokan mengajakku makan di luar. Melihat biaya rumah sakit ibu saja matanya sudah seperti mau copot begitu. Apa Kak Erfan yang katanya sudah naik jabatan itu tidak memberinya uang banyak?" gumam Sera sambil duduk dengan bibir menggerutu.
Olivia berbincang dengan bagian administrasi. Tidak lama dia pun mengeluarkan uang dari dompetnya dan membayar setengahnya dulu karena sebelum pergi ke kampung, Olivia sudah mengambil uang tunai dari kartu black gold yang Petra berikan. Namun, hanya uang untuk pegangan saja, tidak tahu akan ditagih tiba-tiba oleh pihak rumah sakit saat tiba di sini.
"Saya baru kembali dari luar kota dan tidak membawa uang lebih, tapi saya janji akan melunasinya sore ini," ucap Olivia dengan penuh keyakinan.
"Kami hanya bisa menunggu sampai jam lima sore. Jika tidak, kamu tahu sendiri apa yang akan terjadi pada ibumu," ujar petugas administrasi dengan tegas.
Olivia mengangguk dan berjalan kembali menuju ruangan ibunya. Namun, seseorang berkaca mata yang sedang berbincang dengan para dokter di lorong melihat keberadaannya sekilas. Itu adalah William.
Apa aku tidak salah lihat? Bukankah itu Olivia? (Batin William)
Dia baru tiba di rumah sakit itu karena malam ini beberapa dokter kenalannya akan mengadakan acara reuni. Dia dipaksa untuk datang karena sudah bertahun-tahun tidak bertemu kawan lama. William pun teringat pada pertemuannya dengan Olivia saat konvoi bersama para Tuan Muda, dia jadi tergerak untuk kembali ke kampung ini.
Semua dokter dan perawat di sana mengenalnya dengan sebutan dokter tampan berkacamata karena dulu William menyamarkan penampilannya dengan terus menggunakan kacamata dan rambut yang berponi acak. Terlihat seperti kutu buku yang ramah. Tidak seperti penampilannya di Ibu Kota yang sangat keren tanpa berkacamata.
"Sepertinya aku melihat seseorang yang aku kenal. Aku akan memastikannya, kalian lanjut bekerja saja nanti baru bertemu lagi," ucap William tergesa-gesa sambil membenarkan posisi kacamatanya.
William pun pergi meninggalkan sekumpulan dokter itu.
"Sudah lama tidak bertemu, dia semakin tampan dan tambah gagah saja," kata dokter lain.
"Tentu saja, dia pasti merawat tubuhnya dengan sangat baik."
"Ah, iya, sampai sekarang identitas keluarganya masih disembunyikan. Apa dia keturunan ningrat sampai begitu sulit mendapatkan informasi pribadinya?"
"Yah, mungkin saja. Dulu dia tiba-tiba melepas gelar dokternya dan pergi ke luar kota tidak bilang-bilang, menurutku itu sangat aneh."
"Sudah, sudah. Kembali bekerja!"
...
BERSAMBUNG!!