William berjalan mengendap-endap sambil melihat ke sana kemari mencari Olivia karena dia kehilangan jejaknya saat berada di perempatan lorong rumah sakit.
Selama mencari Olivia, ada beberapa dokter dan perawat yang menyapanya. William tidak mungkin bersikap dingin, dia terus menebar senyum di sepanjang jalan.
Saat akan berbelok, William kembali melihat bayangan Olivia yang baru saja ke luar dari sebuah ruangan.
Dia berjalan tergesa-gesa karena tidak ingin kehilangan jejaknya lagi. Namun, ketika melewati ruangan di mana Bu Susan dirawat, Sera ke luar secara tiba-tiba sampai tidak sengaja menabrak William.
Bruk!
"Ah, maaf saya sedang terburu-buru jadi tidak memperhatikan langkah," kata William tanpa memperhatikan Sera, matanya sedari tadi tertuju pada punggung Olivia yang semakin menjauh.
Dengan cepat Sera menarik lengan William dan membuat langkah kaki William kembali terhenti.
"Dokter Willy?!"
"Eh, Sera?" ujar William sambil menatap dengan teliti, takutnya salah orang.
"Wah, benar Dokter Willy, ya! Sudah lama sekali kita tidak bertemu. Bagaimana kabar Dokter sekarang? Uh, Dokter semakin tampan dan dewasa saja, hehe...," ucap Sera sambil berbinar-binar melihat penampilan William dari ujung kaki hingga kepala.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya William. Akhirnya dia mengurungkan niatnya untuk mengejar Olivia.
"Sedang apalagi kalau bukan menjaga Ibu," jawab Sera sambil duduk di kursi tunggu.
William mengintip dari celah pintu. Dia melihat Bu Susan yang sedang terbaring lemah di atas bangsal dengan beberapa alat medis di tubuhnya seperti dulu. Tidak ada yang berubah sedikitpun.
"Kondisi ibumu belum membaik?" tanyanya dengan raut wajah turut sedih.
Sera mengangguk sambil mengerucutkan bibir. "Masih sama seperti dulu. Padahal sudah banyak mengeluarkan uang, tapi tetap saja tidak ada peningkatan sedikit pun. Rasanya aku sangat lelah melihat Ibu seperti itu terus," keluh Sera dengan wajah yang semakin muram sambil diam-diam memperhatikan ketampan William.
"Kamu dan kakakmu sudah menjaganya dengan sangat baik dari dulu. Suatu hari nanti ibumu pasti sembuh," ucap Wiliam sedikit menghibur.
"Aku harap begitu. Ah, iya, apa Dokter sudah bertemu dengan Kakak?" tanya Sera sambil menarik senyum.
"Em ... belum," jawabnya sambil memalingkan wajah.
"Kakak baru saja ke luar, katanya akan mengambil uang untuk melunasi biaya pengobatan Ibu. Kita sudah menunggak berbulan-bulan, pihak rumah sakit sudah tidak dapat memaklumi lagi," jelas Sera dengan memperhatikan wajah sedihnya.
"Apa kakakmu bekerja di luar kota?" tanya William penasaran.
Sera menggelengkan kepalanya. "Setelah Ayah meninggal, Kakak bekerja mengantar bahan pakan dari pabrik ke pasar, tapi sudah hampir dua minggu ini Kakak pergi ke Ibu Kota mencari tunangannya dan dia baru kembali hari ini."
Kening William langsung menjurus tajam dengan mata membulat. "Tunangan?"
"Iya, tunangan. Kakak sudah lama bertunangan dengan teman kuliahnya, tapi sudah satu tahun tunangannya menghilang tanpa kabar. Ibu menyuruh Kakak mencarinya ke Ibu Kota untuk segera dinikahi karena Ibu takut tidak cukup waktu melihat Kakak menikah. Ibu terlalu cemas tidak akan ada yang menjaga kami setelah Ibu tiada," jelas Sera sambil mengusap air matanya dengan lirikan penuh maksud.
Perasaan William tergerak mendengar perkataan Sera yang terlihat sangat malang ini. Dia mengusap kepalanya dengan lembut. Namun, William sangat penasaran dengan tunangan Olivia. Bahkan nyalinya menjadi ciut mendengar Olivia sudah bertunangan.
"Lalu, bagaimana dengan kakakmu dan tunangannya? Mereka akan segera menikah?" tanyanya dengan perasaan tak rela.
Sera mengedikkan bahunya sambil menarik tangan William agar duduk di sampingnya, lalu dia bersandar di pundaknya yang kokoh.
"Aku belum sempat menanyai masalah itu. Apa Dokter Willy masih mengharapkan Kakak?" tanyanya sambil memeluk lengan William dengan memasang tampang kasihan.
William terdiam membisu. Dia menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Tentu saja dia sangat berharap, karena kepergiannya dulu bukan keinginannya. Dia terpaksa oleh keadaan dan ternyata sampai sekarang pun William tidak bisa merubah keadaan itu. Dia masih tidak bisa memberitahu orang tuanya bahwa ada seseorang yang sudah lama singgah di hatinya.
William menarik lengannya dan beranjak bangun. Dia tidak menyadari gerak gerik Sera yang sebenarnya sedang menggodanya secara tersembunyi.
"Aku lupa ada urusan. Aku akan kembali sambil membawa sesuatu saat menjenguk ibumu," ucap William sambil berlalu begitu saja meninggalkan Sera.
"Cih, menyebalkan!" gerutu Sera sambil melipat kedua tangannya di atas perut dengan gigi menggertak.
...
Di kantor cabang.
Ruth-sekretaris Petra yang terkenal dengan sifat pemalunya berjalan masuk ke ruangan Petra setelah mengetuk pintu. Dia membawa tablet di tangannya. Petra yang sedang memeriksa beberapa dokumen di atas meja kerja melihat Ruth menghampiri.
"Ada apa?" tanyanya dingin, sambil mengusap kening.
Ruth menyerahkan tablet di tangannya dengan hati-hati. "Ini data pengeluaran dari kartu black gold Anda perhari ini, Tuan."
Petra langsung menghentikan aktifitasnya dan bersandar pada kursi kerjanya. "Katakan saja," ucapnya menolak melihat.
"Pada pukul sembilan pagi, satu juta telah keluar dari rekening Anda dan pada pukul dua siang tadi, 450 juta keluar dari rekening Anda," jelas Ruth dengan sungkan.
Mata Petra langsung melirik tidak ramah pada tablet yang ada di genggaman Ruth. Dia merampas kasar tablet itu dan melihat dengan mata kepalanya sendiri pengeluaran hari ini.
"450 juta?" gumamnya dengan kening mengernyit.
Apa yang dia beli dengan uang sebanyak itu? (Batin Petra)
"Di pakai apa uang sebesar itu?" tanya Petra pada Ruth.
"Eh? Saya tidak tahu, Tuan. Memangnya bukan Anda yang menggunakan uang ini? Perlukah saya melapor pada pihak bank?" Ruth balik bertanya karena dia tidak tahu menahu mengenai pernikahan Petra, apalagi pada Olivia.
"Huff, tidak perlu. Sudah, tinggalkan aku sendiri," ujar Petra sambil menjepit keningnya. Dia terlihat marah karena merasa tidak percaya sikap Olivia yang sebenarnya ternyata memang seperti itu. Benar-benar matre, sangat mengecewakan.
...
William mencari Olivia di sekitar rumah sakit. Dia menelusuri beberapa mesin ATM terdekat karena dia berpikir Olivia berada di salah satunya. Namun, setelah di cari ke berbagai tempat, William tidak dapat menemukannya juga.
Karena lelah, William memutuskan untuk istirahat dulu di sebuah rumah makan mewah yang berseberangan dengan rumah sakit sambil memesan minuman dingin.
Kilas balik, saat William masih bekerja di rumah sakit ini, dia sering melihat Olivia dengan seragam sekolah memesan makanan di sini untuk ibunya. Olivia pun sering mengajaknya ke rumah makan ini karena katanya makanan di sini enak-enak dan harganya sangat terjangkau.
Namun, zaman sudah berubah. Rumah makan yang dulunya sangat kumuh dan tidak layak ini telah berubah menjadi rumah makan mewah dan sangat ramai pengunjung. Tidak ada lagi kursi reyot dan lalat hijau yang dulu menjadi saksi bisu perjalanan cinta mereka.
Jika diingat-ingat, rasanya baru kemarin William bertemu dengan Olivia dan jatuh cinta padanya. Dia sangat merindukan kebersamaan dengan Olivia.
William jadi senyum-senyum sendiri dibuatnya.
Saat dia menoleh ke luar kaca jendela sambil menyeruput minuman segar, dia melihat Olivia yang baru turun dari mobil ford ranger bersama seorang pria gondrong berjaket kulit warna hitam. Olivia membawa tas jinjing merah di tangannya.
William jadi teringat kejadian malam di mana dia konvoi bersama para Tuan Muda. Mobil ford ranger yang malam itu dikendarai Olivia sampai menggores mobil sport Petra sama persis dengan mobil ford ranger ini.
William langsung berasumsi kalau pria gondrong dengan tampilan seperti bad boy yang kini masuk ke rumah sakit bersama Olivia itu adalah tunangannya.
...
BERSAMBUNG!!