William tergesa-gesa membayar pesanannya dan meninggalkan rumah makan itu menuju rumah sakit. Dia melihat Olivia dan pria gondrong sedang berbincang dengan petugas administrasi. Olivia mengeluarkan sejumlah uang yang sangat banyak dari amplop cokelat dan memberikannya pada petugas administrasi.
Setelah menunggu, surat pelunasan pun diberikan petugas administrasi pada Olivia. Olivia mengambilnya dengan senyum penuh kebahagiaan, lalu pergi dari situ dengan pria gondrong.
William masih membuntuti dari belakang. Dia melihat gerak-gerik pria gondrong yang membuatnya cemburu, tatapan dan senyumnya terlihat dengan jelas jika pria gondrong itu tertarik pada Olivia.
Meski hati William sangat sesak melihatnya, dia masih terus saja membuntutinya. Namun, tiba-tiba pria gondrong itu menghentikan Olivia dan mengajaknya duduk di kursi taman.
"Livia, jangan mengalihkan pembicaraan lagi. Aku sangat penasaran dari mana kamu mendapatkan kartu black gold itu? Seperti yang kita tahu, kartu black gold tidak sembarang orang punya. Tidak mungkin jika Erfan yang memberikannya, kan?" duga Jerry sambil menaruh banyak curiga di matanya.
Olivia mengembuskan napas kasar sambil membuang muka karena tak berani menatapnya. "Sebaiknya kamu tidak perlu tahu," ujarnya tanpa semangat.
Jerry menyentuh pipi Olivia dan menggerakkan kepalanya agar Olivia mau menatapnya. "Lihat aku! Kamu pasti sudah melakukan sesuatu. Apa yang kamu sembunyikan dariku?"
Olivia meremas dengkulnya dengan telapak tangan basah. Dia semakin gugup ditatap penuh curiga seperti ini oleh Jerry. Mana mungkin dia sanggup mengatakan yang sejujurnya pada Jerry kalau dia sudah menikah dengan pria yang baru dikenalnya. Jerry pasti akan mengatakan dirinya gila atau gampangan karena baru lepas dari Erfan sudah menemukan pria lain.
Olivia menatap bola mata Jerry yang dipenuhi tanya. Sepertinya akan sulit membuat Jerry diam. Terlihat dengan jelas ketidakpuasan dari sorot matanya.
Dia menepis lengan Jerry dari pipinya. "Aku bilang kamu tidak perlu tahu. Yang jelas aku tidak melakukan hal yang aneh-aneh," bantahnya sambil beranjak bangun.
"Terima kasih sudah mengantarku. Sebaiknya kamu kembali ke Ibu Kota, kita berdua seperti ini bukankah tidak baik?" celetuk Olivia sambil berlalu pergi dengan membawa jinjingan berisi makanan untuk Sera.
Olivia bersikap ketus pada Jerry karena jika tidak seperti itu, Jerry pasti akan terus mencecarnya.
Jerry menjatuhkan rahangnya mendengar Olivia bicara begitu dan pasrah melihatnya pergi. Apanya yang tidak baik? Sebelumnya mereka bahkan menghabiskan malam bersama di sebuah kelab, yah meskipun hanya minum-minum saja. Bagaimana bisa Olivia berpikir seperti itu sekarang?
William melihat Olivia masuk ke ruangan ibunya dengan suasana hati yang tidak baik. Waktunya tidak pas jika dia menemuinya dengan kondisi seperti itu. William hanya perlu memahami dan memberinya sedikit ruang. Dia pun pergi dan tidak mau mengganggunya.
"Olivia? Anak Ibu!" seru Bu Susan antusias saat melihat kehadiran Olivia.
"Ah, Ibu sudah bangun? Hati-hati, jangan terlalu banyak bergerak," kata Olivia sambil berjalan menahan ibunya yang hendak bangun memeluknya.
"Apa yang Kakak bawa?" tanya Sera yang sedang berleha-leha di atas sofa sambil memainkan ponselnya.
"Ayam bakar madu kesukaanmu. Kamu bilang kamu belum makan, jadi Kakak sekalian mencari makanan untukmu. Makanlah, jangan sampai kamu jadi pasien berikutnya setelah Ibu," ujar Olivia. Dia mengambil buah-buahan untuk ibunya lalu memberikan jinjingan berisi ayam bakar madu tersebut pada Sera.
"Wah, ayam bakar madu, huhu...!" Kedua mata Sera langsung berbinar ria. Dia segera beranjak bangun dan mengambil jinjingan itu.
Aroma ayam bakar madu sudah menyeruak masuk ke dalam hidung dan mengoyak perutnya. Sera tak tahan ingin segera menyantap makanan kesukaannya yang satu tahun sekali dia dapatkan. Sungguh sangat kasihan.
"Aku cari tempat makan di luar ya, hehe...." Sera segera membawa kabur makanan kesukaannya karena tidak ingin berbagi dengan siapa pun.
"Dasar anak itu," umpat Olivia sambil tersenyum senang melihat kebahagiaan sederhana yang jarang dia berikan untuk adiknya.
"Ah, aku hanya membelikan Ibu buah-buahan. Penjual bubur belum ada yang buka, nanti aku akan cari di tempat lain. Sekarang Ibu makan buah-buahan dulu, ya?" ujar Olivia sambil memasukan buah-buahan ke dalam keranjang.
"Tidak apa, lagipula Ibu sudah bosan setiap hari makan yang lembek-lembek. Kamu sendiri apa sudah makan?" tanya Bu Susan sambil tersenyum lembut dengan wajah pucat.
"Ibu jangan mengkhawatirkan aku. Aku sudah banyak makan di jalan." Olivia membawa pergi buah-buahan itu untuk dicuci, setelah itu dia kupas dadu dan menatanya di atas piring.
Dia menyuapi ibunya dengan sangat hati-hati menggunakan garpu.
"Manis tidak, Bu?" tanyanya sambil menatap haru.
Bu Susan mengangguk lemah sambil mengunyah. "Bagaimana pernikahanmu dengan Erfan? Apa berjalan dengan lancar? Kamu sudah janji pada Ibu akan menunjukkan foto pernikahan kalian. Saking tidak sabarannya sampai terbawa mimpi," kata Bu Susan yang berusaha ceria di hadapan anaknya.
Olivia meletakan garpu di atas piring dan menatap dalam kedua mata ibunya yang sayu. Suasana tiba-tiba berubah jadi mendung, tidak secerah tadi.
"Sebenarnya ada yang ingin aku katakan pada Ibu, tapi aku harap Ibu tidak akan kecewa setelah mendengarnya," ungkap Olivia sambil menunduk muram.
Bu Susan mengelus punggung tangan Olivia dengan lembut dan menatapnya dengan penuh kasih sayang. Dia melihat kegelisahan mendalam dari wajah anak sulungnya, biasanya tidak pernah begitu. Rasanya ada hal besar yang telah Olivia lakukan tanpa sepengetahuannya.
"Bicaralah, Ibu akan mendengarkan. Ibu percaya ketika kamu memutuskan sesuatu kamu sudah memikirkannya dengan matang. Ini adalah hidupmu, kamu sendiri yang menentukan. Jangan mencemaskan Ibu. Apa pun yang kamu lakukan, Ibu akan berusaha mendukung," jelas Bu Susan, berusaha berpikir secara terbuka agar kecemasan Olivia hilang.
Olivia menghela napas panjang sambil mengangguk penuh keyakinan. Dia membuka lemari nakas dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, lalu memperlihatkan selembar foto pada ibunya.
Bu Susan menyipitkan matanya, berusaha menajamkan penglihatannya yang kabur. Dia melihat wajah Olivia dengan riasan dan gaun pengantin yang sangat indah di dalam foto, hampir saja Bu Susan tak mengenali siapa itu. Namun, siapa yang berdiri di samping Olivia mengenakan jas pengantin dengan gagah? Bukan Erfan yang seperti Bu Susan kenal, melainkan pria lain. Wajahnya sangat asing.
"Namanya Petra, dia pria yang baik dan sangat perhatian padaku. Sebenarnya aku sudah lama memutuskan pertunangan dengan Erfan. Maaf sudah membohongi Ibu selama ini. Aku pergi ke Ibu Kota juga untuk menemuinya, bukan menemui Erfan," jelas Olivia memulai pembicaraan.
"Awalnya aku tidak ada niat sedikit pun untuk membohongi Ibu, sungguh! Aku hanya takut akan mengecewakan Ibu karena aku lihat Ibu begitu berharap pada hubunganku dengan Erfan, jadi aku terpaksa menyembunyikannya. Aku merasa tidak cocok dengan Erfan. Aku takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan jika aku meneruskan hubunganku dengannya. Ibu boleh memarahiku, tapi jangan sampai mempengaruhi kondisi Ibu," sambungnya sambil menempelkan punggung tangan Bu Susan pada pipinya dengan mata berkaca-kaca.
Olivia sungguh sangat bersalah karena harus membohongi ibunya seperti ini. Dia tidak mau kondisi ibunya memburuk jika tahu Erfan-calon menantu dambaannya sudah berselingkuh dan mencampakkannya.
Bu Susan mengangkat wajah Olivia sambil mengerucutkan bibir. Mungkin ini alasan kenapa wajah Olivia terasa tidak bahagia sejak tadi. Terlihat guratan kesedihan dari sorot matanya. Sehebat apapun Olivia menyembunyikan sesuatu, pasti akan tercium oleh sang ibu.
"Kenapa tidak jujur saja pada Ibu kalau kamu tidak merasa cocok lagi dengan Erfan? Ibu juga tidak akan memaksamu untuk menikah dengannya jika kamu tidak mau. Kamu pasti sangat kesulitan menjalaninya selama ini, apalagi sampai harus menyembunyikan hubunganmu dari Ibu. Seharusnya Ibu yang minta maaf karena sudah keterlaluan memaksamu tanpa tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan," kata Bu Susan sambil menitikkan air matanya.
...
BERSAMBUNG!!