Chapter 12 - Ayla (12)

Ah, orang dewasa itu ada-ada aja, deh. Ayla menggumam sebal. Masak cuma nulis di buku aja dilarang. Emangnya kenapa sih? Salahnya di mana coba? Ayla kebetulan punya kebiasaan menulis halus. Di mana ada kertas, di sanalah Ayla berkreasi bebas. Ia bakal menulis apa saja, dari A sampai Z, selama ilhamnya memungkinkan.

Sejauh ini, Ayla belum pernah kehabisan ide. Kata apa pun yang melintas, pasti ditulisnya saat itu juga. Kata-kata bahasa Inggris saja dia bisa, karena ia diajari Dirman dan seorang relawan guru di SD Mentari Bangsa yang setengah bule. Guru ganteng itu berdarah campuran Prancis, Andre namanya.

Pak Andre suka sekali pada Ayla dan memanggilnya mon petit chou, yang berarti sweet pea kecilku, katanya. Menurut guru Ayla itu, panggilan mon petit chou seperti panggilan untuk adik atau teman yang disayangi, dan sweet pea itu sejenis bunga yang menawan dan tersebar di seluruh wilayah Mediterania. Nama Latinnya Lathyrus odoratus dan harumnya sungguh semerbak.

Ayla suka bunga, tetapi mereka tidak punya tanah atau tempat untuk menanam bunga. Kata Kak Kara, bunga-bunga tidak bisa ditanam dalam ruangan, karena tanpa sinar matahari yang cukup, bunga-bunga akan layu dan mati. Sayang sekali, untuk menanam bunga sederhana pun Ayla tak kesampaian mimpinya.

Sebetulnya Ayla suka cerita anak kodok. Namun, ayahnya tutup mulut saat Ayla menanyakan sambungan cerita itu. Kelanjutannya gimana, Yah? Apalagi Ayla tak dibolehkan menyentuh buku aneh yang ada burung hitam di sampulnya itu. Heran, apa yang Ayla maui pasti tidak diberikan kepadanya. Kata ayahnya, inilah akibatnya bernasib jadi orang miskin.

"Bu, orang miskin itu apakah serba tidak bisa dan serba tidak mampu, Bu?" Esoknya, Ayla nekat bertanya pada ibu gurunya.

"Tidak juga, Ayla. Orang miskin juga bisa bahagia bila ia pintar bersyukur atas hidupnya. Banyak orang miskin yang diakui sebagai pahlawan berkat jasa-jasanya. Contohnya ..."

"Apakah contohnya pahlawan tanpa tanda jasa, Bu? Mereka orang miskin yang berjasa besar, kan?" Ayla menyela ucapan gurunya.

"Bukan, Ayla. Pahlawan tanpa tanda jasa itu julukan untuk guru. Seperti ibu guru kalian ini."

"Ooohh. Maaf ya, Bu." Ayla menjawab malu.

Aduh, Ayla mengeluh dalam hati. Ibu guru tersinggung tidak, ya, aku bilang orang miskin itu pahlawan tanpa tanda jasa? Kan artinya ibu guru juga miskin, karena ternyata guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa?

Kata kakak kelas Ayla yang umurnya 13 tahun, guru-guru di SD Mentari Bangsa semuanya miskin. Maklum, sekolah mereka sekolah gratis, dan murid-muridnya orang tak mampu semua. Seperti si kakak kelas yang masih kelas lima SD di usia 13 tahun, lantaran tidak ada biaya masuk SD, terpaksa menunda tiga tahun sebelum diterima di sekolah ini. Artinya guru-guru Ayla digaji kecil sekali dari uang sumbangan para dermawan, kata si kakak kelas itu.

"Miskin itu tidak enak kali ya, Kak." Ayla curhat pada kakak kelasnya. Namanya Kak Sarai.

"Justru karena kita miskin, Dik, makanya kita ketemu orang yang baik-baik. Dermawan yang membangun sekolah ini juga membiayai kita bersekolah. Bersyukurlah kita, Dik, karena bila kita kaya, belum tentu menerima kebaikan orang lain." Kak Sarai berujar dengan arif.

"Kalau Ayla kaya, Ayla bakal jadi orang baik itu, Kak. Jadi Ayla yang ngerasain jadi orang baik itu pasti enak."

Orang kaya itu enak, tapi orang baik belum tentu enak nasibnya. Malah suka dikerjai orang dan apes ujung-ujungnya. Itu omongan Dirman, ayahnya Ayla suatu hari.

Maka, Ayla semakin bingung, sebetulnya jadi orang kaya atau orang baik yang lebih bagus. Pasalnya Ayla yang kecil pun sadar, dirinya bosan menjadi orang miskin selama ini.