Tadirman dan kakaknya ibarat matahari dan bulan yang selamanya takkan ketemu. Mana mungkin di langit kita ada bulan dan matahari bareng-bareng, ibarat pengantin laki-laki bersanding dengan istrinya di pelaminan, mustahil toh?
Bukan berarti Dirman dan kakaknya bermusuhan atau hubungan mereka tak baik sebagai kakak adik. Intinya, bila Dirman ada di rumah, kakaknya pasti di luar rumah, begitu pula sebaliknya. Mustahil, kan, mengingat mereka itu orang satu rumah dan masih dalam pengasuhan orangtuanya?
Sebabnya begini, bila Dirman pulang dari sekolah, sang kakak sudah diantar ke rumah paman bibi mereka, karena rumah paman bibinya, yang merangkap klinik bersalin, punya tabung oksigen untuk jaga-jaga bila asma kakak Dirman kambuh tiba-tiba. Lagipula bibi mereka yang bidan punya obat-obatan yang dibutuhkan, bila Izinuddin, nama kakak Dirman, mendadak pingsan atau kejang-kejang.
Intinya, bisa kalian simpulkan sendiri, kesehatan kakak Dirman merepotkan orangtuanya. Untung saja seorang bibi mereka bidan dan bisa meringankan beban Dirman sekeluarga, dengan memberikan obat dan oksigen gratis dari klinik miliknya. Di pagi dan siang hari, penyakit kakak Dirman jarang kambuh, makanya sang kakak bisa menetap di rumah orangtua mereka. Sementara Dirman bersekolah sepanjang waktu kakaknya sedang ada di rumah.
Pada hari Minggu, Dirman memanfaatkan waktu libur dengan jualan es lilin. Makanya bila ditanya, hubungannya dengan sang kakak seperti apa, ya au ah gelap. Bahkan bila tidak melihat foto sang kakak, Dirman bisa saja lupa rupa sang kakak, kecuali bahwa rambut mereka sama-sama ikal, bergelombang besar, dan hidung mereka berdua besar di cupingnya.
Dirman sudah lama sekali lupa soal kakaknya, yang akhirnya meninggal setelah terjatuh dari bangku berkaki rendah. Kenangan muram kakaknya kembali karena buku jahanam itu, Fate Grant Order, yang mendadak mengisahkan soal kakaknya yang sakit-sakitan sepanjang hidupnya. Luka lama itu tertoreh kembali, ibarat selembar koreng hampir kering yang dicopot paksa dan kembali berdarah.
Apakah artinya, Dirman punya harapan menolong sang kakak dari nasib penyakitnya? Bila diingat-ingat, kakaknya berpenyakit sejak ia tak sengaja menelan obat malaria belasan butir di rumah kakek nenek mereka di Kalimantan. Sejak itulah, meski kakak Dirman tertolong nyawanya, ia sakit-sakitan hingga berpulang di usia 16 tahun dan hanya sempat menamatkan SD dengan nilai-nilai dikatrol guru-gurunya yang bersimpati.
Berarti kakaknya bisa dicegah menelan obat malaria, jadi kakaknya bakal sehat seperti anak-anak sebayanya, begitu? Usia Dirman dan kakaknya cuma berselisih dua tahun. Sementara kejadian overdosis obat malaria itu saat usia kakaknya tiga tahun. Bisakah bocah satu tahun, yang berjalan pun belum stabil, mencegah kejadian di luar dugaan itu?
Kok rasa-rasanya mustahil, ya? Dirman 27 tahun merenungi sehelai kertas putih, Tulis sendiri nasibmu. Buset? Jari-jarinya tak bisa digerakkan meski ia berkeras hendak menulis, Izzinudin tidak menelan obat malaria berlebihan di usia tiga tahun. Masalahnya ia tidak bisa menulis takdir yang ia maui.
Dirman akhirnya ingin menulis, Izzinudin tidak terjatuh dari bangku di usia 16 tahun. Dan tulisan itu benar-benar tertulis di halaman buku, maka Dirman merasa, mungkin ini rencana terbaik Yang Maha Kuasa. Bila Izzinudin, kakaknya masih hidup, artinya Dirman tak sebatang kara dalam hidupnya. Itu hal yang positif, toh?
Siang itu, Dirman merasa lelah luar biasa. Pekerjaan cleaning service-nya belum usai, tapi ia memutuskan mengaso di halaman sekolah. Kebetulan ada pohon sawo yang katanya punya bau lumayan klenik. Pelupuk mata Dirman meredup perlahan, dan raganya seperti terhisap dalam larutan warna sepia yang memabukkan.
Raga Dirman seperti terbenam, kian lama tidurnya kian dalam, dan naga-naganya ia justru merasa awas dan terjaga.