Menulis saja kok susah, ya? Tadirman berdecak kesal dan mengusap-ngusap dagunya. Setiap hari ia mesti bercukur, karena berewoknya rimbun dan susah diatur bulu-bulunya. Gawatnya lagi, sekarang tangannya justru yang sulit diatur, karena tak bisa digerakkan menulisi nasibnya sendiri!
Maksud hati Dirman menuliskan perubahan nasibnya, agar kejadian nahas dari empat belas tahun lalu bisa berubah sedikit. Cuma dia harus menulis apa, ya? Si Ferdi pas hari duel mendadak demam tinggi, begitu? Atau si jago kandang mendadak turun berok - atau halusnya menderita hernia - dan terpaksa rehat di rumah seharian? Kurang bagus, ah. Kurang lucu juga rasanya.
Atau begini saja, gimana kalau ia menulis si preman Ferdi tergelincir kulit pisang dan benjol besar di kepalanya? Kok jadinya jahat dan terlalu klise, ya? Ah, bukan, bukan, gak bagus kalau model gitu. Dirman membatin kesal.
Yang membuat sebal, buku aneh bergambar burung Simbada itu tidak bisa dihapus jika sudah ditulisi. Artinya kita harus menulis langsung jadi, tak boleh ada kesalahan dan juga dilarang berubah pikiran. Bagaimana enaknya, ya?
Atau kutulis saja celanaku anti robek, jadi ditendang Ferdi pun tetap utuh? Dirman membatin, tiba-tiba menjadi lebih bersemangat.
Tunggu dulu, Dirman berpikir masak-masak. Kalau celana jelek itu tidak sobek, kan berarti aku babak belur ditendang si preman katai? Malah lebih jelek, dong, situasinya. Lalu bagaimana menyelamatkan muka gue dari malu, ya?
Tanpa disadari Dirman, seakan tangannya menulis sendiri, tertera tulisan semacam ini, pada hari duel dengan si preman Ferdi cebol, Dirman si Anak Kodok memakai celana kolor yang keren motif kartun kekinian. Lalu semua teman bersorak sorai pas celananya sobek. Sekian ceritanya.
Hah? Kok bisa gue nulis macam kayak gini? Dirman nyaris membanting buku tipis itu, namun urung karena buku itu dipinjam dari ruang Pak Kepsek Dewan. Kalau rusak bukunya, gue pasti gak punya dokat buat ganti rugi. Dirman mempertimbangkan lagi. Maka, akhirnya, Dirman cuma menempeleng buku itu pelan-pelan, melampiaskan kesal sekadarnya.
Buru-buru, Dirman berkaca di sebidang kaca buram. Untung dia belum berubah wujud. Masih Dirman yang dulu. Bukan, masih Dirman yang sekarang, 27 tahun umurnya. Sembari tertawa, ia mengembus napas lega. Kelegaan ini persis seperti perasaannya di hari kelulusan SMP. Seingatnya, berpisah selamanya dari Ferdi adalah hari paling menyenangkan dalam hidupnya.
Kemarin dan kemarinnya lagi, Ayla terus menanyakan kisah si Anak Kodok. Dirman tak tahu bagaimana harus menjawabnya. Akhirnya ia tutup mulut saja dan cemberut. Akhirnya Ayla jadi gentar dan tak berani bertanya-tanya lagi, dan Dirman mengalihkan perhatiannya dengan majalah anak-anak bekas yang didapatnya dari Pak Loak di seberang rumah.
Ayla makin gemar menulis, dan tak lama setelah puas membaca majalah, jemari kecilnya corat-coret di kertas majalah yang kosong, menggambar bunga dan menulis kata-kata bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Sekilas pandang, terselip kata frog dan kodok, lalu ada gambar kodok yang tubuhnya bintik-bintik mirip kudisan. Anak-anak memang luar biasa daya khayalnya!
Dirman geleng-geleng dengan geli, membayangkan cerdasnya Ayla meski sekolahnya SD gratisan khusus kaum duafa. Si pria menepuk-nepuk bantal sebelum tidur, ingin memimpikan Kara yang memasak di dapur rumah mewah, sementara Dirman dan Kara menanti dengan manis di meja makan. Tak lama, hidangan mewah terhampar, dan Kara sang nyonya rumah melayani Dirman dan Kara, mengambilkan nasi dan lauknya, mereka lantas makan bersama dalam suasana canda tawa.
Sayangnya bermimpi pun Dirman gagal mendapatkan Kara, karena Dirman malah bermimpi seram dikejar anjing gila. Eh, bukankah anjing dalam mimpinya itu persis anjing liar dekat sekolah SMP-nya dulu, yang gemar mengejar seorang Anak Kodok? Dirman merasa tubuhnya basah berkeringat, berlari sangat kencang sebelum terbangun oleh guyuran air dingin yang mengagetkan.