Chapter 6 - Tadirman (6)

Luar biasa! Alinea pertama saja cukup memukul Dirman. Buku ini pasti permainan setan atau mungkin Dirman kelelahan hingga khayalannya terlalu liar? Tertulis nama Dirman dan juga nama Kara sebagai tokoh cerita, bahkan kejadian di dalamnya juga sungguh nyata.

Persisnya buku itu mengutip kejadian yang sungguh terjadi seminggu lalu, bahwa Dirman coba-coba memetik bunga di halaman sekolah, atas seizin pengurus kebun, tentunya, untuk menyenangkan Kara dan sekalian penjajakan "cinta" sekadarnya. Cinta dalam tanda kutip karena Dirman merasa ingin bersahabat dulu dengan Kara yang jelita. Modus tahu diri lah ceritanya.

Nah, baru saja bunga beberapa kuntum itu mau diserahkan pada yang terpuja, Kara mengeluh flu batuk hingga tak leluasa mengobrol. "Maaf ya, Mas Dirman. Aku batuk flu, nih. Soalnya aku ... atsyi ... ada alergi serbuk bunga. Rhinitis alergi gitu, Mas."

Ups! Dirman bersyukur belum sempat beraksi dengan bunga-bunganya. Untung sudah tahu duluan. Akhirnya bunga-bunga itu ditaruhnya di meja makan butut, di dalam vas yang lumayan rombeng. Begitulah dalam waktu seminggu, bunga-bunga itu kisut dan menghuni keranjang sampah. Nasib cinta cuma sudi memihak pangeran tampan, agaknya.

Apa boleh buat. Penasaran berat sulit dicari obatnya. Dirman yang menyingkirkan buku jauh-jauh tergoda akhirnya. Ya, sebetulnya jauh-jauh sekali sih kagak. Cuma di kolong ranjang saja supaya Ayla tidak mengintip bukunya. Ayla sering main di kamar Dirman, karena kamarnya sendiri sempit, cuma setengah luasnya kamar Dirman. Padahal kamar Dirman saja sesak dan lebih mirip kapal pecah.

Buku ini bisa dibuka gak, ya? Dirman teringat lagi, buku ini dibuka Ayla dengan gampang, sementara di tangannya buku ngeyel itu layaknya dilem kekuatan gaib. Boro-boro dibuka, untuk diintip-intip saja tidak bisa.

Ah, dicoba saja gak rugi, toh, Dirman membatin. Buku itu tersaput debu. Disapunya dengan tangan, ditepuk-tepuk sekadarnya, dan ... buku itu bisa membuka dengan mudah! Betul-betul terbuka lebar dan Dirman bisa membaca dengan leluasa. Tak berlalu berapa lama, Dirman berpaling dan mengusap-usap matanya. Gila, isinya sama seperti yang dibacanya barusan bersama Ayla.

Pengarang buku ini apa tinggalnya di sekitar gang ini kali, ya? Kok bisa-bisanya kebetulan tokoh utamanya bernama Dirman dan Kara? Lalu kejadiannya kok persis seperti yang dialami Dirman sepekan lalu? Maksud hati ingin menutup buku, tetapi khawatir bukunya tidak bisa membuka sekalinya ditutup. Akhirnya Dirman tergerak membalik halaman selanjutnya.

Halaman berikutnya kosong. Selembar kertas putih dengan sebaris tulisan kecil-kecil di deret atas. Tulis sendiri nasibmu. Wah, gendeng nih buku! Dirman lekas meraih bolpoin biru dan menulis dengan cemberut. Kara cuma gak alergi dengan bunga pemberian gue. Kalau pemberian cowok lain dia bakal gatal dan keringat dingin. Sengaja Dirman memakai bahasa semi gaul karena sebal dengan buku itu.

Akhirnya selesai menulis, Dirman kelelahan hingga terlelap sepanjang malam, dan terbangun oleh celotehan pipit di ambang jendelanya. Ada dua pipit, yang satu burung pipit dan yang satunya lagi Nak Pipit, anak balita cerewet yang rumahnya dengan rumah Dirman saling memantati.

Sesaat Dirman menggeliat malas, mengusap mata dan dagunya sejenak. Hah? Bukunya kok sudah tak ada? Seingatnya ia duduk menulis di atas ranjang. Bahkan tangannya masih memegang bolpoin yang tutupnya terbuka. Kantuk Dirman terusir rasa panik, dicecarnya kolong tempat tidur, tetapi yang terlihat cuma setumpuk debu. Asal-asalan ia menyisir lemari baju, nihil juga, hingga terpikir mengintip di atas lemari baju. Duilah, benar, bukunya ada di situ rupanya. Siapa kira-kira yang memindahkan buku selagi ia tidur?

Teman serumah Dirman cuma Ayla. Hanya putrinya seorang. Tubuhnya masih pendek, jadi tidak mungkin bisa menaruh buku setinggi itu. Mendadak khayalan berbau horor merajalela, dan Dirman hanya bisa berasumsi, jangan-jangan buku itu ada penunggunya (baca: hantu)?