Seperti dejavu, maksudnya sungguh dejavu betulan, Pak Koman sore itu semringah menyongsong Dirman yang memberinya uang rokok, cuma dua ribu sih, itu pun uang lecek yang tercecer di WC pria, dan mengizinkan si cleaning service memetik bunga di kebun sekolah.
"Di sini adanya kembang sepatu, asoka, ama flamboyan aja. Petik, deh, Man. Mawar sih gak ada lho, ya." Si tukang kebun, Pak Koman yang bukan komandan, menyerocos.
"Gapapa, Pak Koman. Sederhana itu indah, kok." Dirman mengulang ucapan klisenya untuk kali yang kedua, persis kejadian sembilan hari yang lalu.
Ternyata geli juga ya mengulangi perbuatan kita dua kali, ibarat syuting adegan yang sama tapi take-nya berkali-kali. Dirman bukan bintang film, tapi pernah mengintip syuting sinetron yang njelimet. Untuk adegan kesiram air saja, syutingnya makan waktu sampai berjam-jam. Dirman sampai bersumpah, sekalipun Ayla yang cantik ditawari jadi bintang cilik pun ia takkan setuju. Sengsara betul menjadi bintang film itu. Apalagi sinetron zaman sekarang sistemnya stripping dan kejar tayang. Gak banget lah buat si Ayla itu.
Tiga macam bunga jelata, yaitu asoka, kembang sepatu, dan flamboyan, memang tak sebanding mawar merah. Namun yang penting perhatiannya, kan? Persis sembilan hari silam, Dirman menggenggam bunga yang sama, pulang naik angkot, dan jadi lirikan penumpang yang sirik bercampur rasa kepo. Ish, pamer lo, kayak orang gak pernah pacaran aja. Norak!
Duh, adegan berikutnya adalah adegan yang paling menguras emosi Dirman. Sebelumnya Dirman mampir ke warung kelontong, dengan simpanan lima ribu perak punyanya, terbelilah kejutan satunya lagi. Ini trik kuno ajaran si Ayla. Katanya ribuan cewek sudah pasti meleleh dengan cara seperti ini.
Oke, Dirman mengepalkan tangannya. Ayla putrinya, biar masih kecil tetapi cewek juga. Pasti tahu betul perasaan perempuan. Sementara Dirman sendiri ... ah ia malu mengatakannya. Meskipun ia duda beranak satu, perkara cewek yang diketahuinya sedikit sekali. Sebabnya ya begitulah. Nanti dengan berjalannya cerita, kalian pun akan tahu sebabnya kenapa.
Singkat cerita, untuk kedua kalinya, Dirman dan Kara berpapasan secara sengaja, karena ia memang mondar-mandir di gang sempit sisi warung Bu Martini, ibunya Kara. Dirman sudah hafal mati, Kara akan lewat di situ sepulang kuliah. Dirman lagi-lagi tersenyum mati gaya. Kikuk ia jaga sikap di hadapan cewek secakep Kara Sucia. Kara sesuai yang diingat Dirman, menyapanya dengan bangkis yang ditahan-tahan.
Seharusnya Kara bilang begini. "Maaf ya, Mas Dirman. Aku batuk flu, nih. Soalnya aku ... atsyi ... ada alergi serbuk bunga. Rhinitis alergi gitu, Mas."
Namun, mantra ghoib itu kan sudah ditulis Dirman. Kara cuma gak alergi sama bunga pemberian gue. Kalau pemberian cowok lain dia bakal gatal dan keringat dingin. Itu dia maksudnya Dirman mengulang hari kemarinnya yang gagal. Memperbaiki nasib cintanya yang ibarat besi karatan sudah bobrok itu.
Selepas Kara bersin-bersin dan seperti akan bicara, Dirman menyela terlebih dahulu. "Kara, ini sekadar pemberian bunga dari Mas. Jangan takut, Kara gak bakal alergi sama bunga-bunga cantik ini." Dirman menambahkan dalam hati, karena bungamu secantik dikau, oh dinda Kara.
Wah, Mas. Indah sekali bungamu. Aku suka, Mas. Terima kasih banyak, ya. Harapan Dirman Kara bakal ngomong begitu.
"Lho, Mas. Memangnya itu termasuk bunga, ya. Bukannya itu sebatang ... itu ..."
Hah? Cuma cokelat satu batang saja? Dirman menelan bulat-bulat rasa paniknya. Kan padahal ada bunga sebuket di tangannya? Kemana larinya bunga-bunga itu? Cokelat itu kan mestinya diselipkan sebagai pemanis, karena bunga pemberian Dirman sedikit kampungan kesannya. Duh, gimana ceritanya say it with flower, lha wong bunganya gak tahu ngelayap ke mana gerangan lho!