Malamnya.
Waktu menunjukan pukul setengah sembilan malam. Zara keluar dari kamarnya sambil memakai jaket jeans berwarna biru miliknya.
Ia langsung turun dari lantai dua dan mencari keberadaan kakak laki-lakinya itu. Namun, Zara tidak menemukan keberadaan cowok berambut cokelat kehitaman itu.
"Bunda, kak Al kemana?" Tanya Zara pada ibunya.
Fitria, ibunda tercinta dari Zara dan Alvaro. Wanita yang sudah berumur sekitar 30an itu bekerja di butik miliknya sendiri.
Ia yang suka mendesain baju-baju lalu menceritakan keinginannya memiliki butik, akhirnya ayah Zara membangun sebuah butik yang awalnya sederhana kini menjadi sangat besar dan sudah dikenal oleh banyak orang.
"Itu lagi di dapur, tadi katanya mau makan." Jawab bunda Fitria.
Zara mengangguk lalu menghampiri kakaknya yang sedang menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya.
"Lo masih lama ga makannya?" Tanya Zara.
Alvaro memutar kedua bola matanya malas.
"Nasi gue masih berkurang satu sendok doang. Dan Lo udah nanya gue makan masih lama apa enggak? Ya masih lama lah." Jawabnya dengan kesal.
"Ayo anterin gue ke supermarket dong kak. Bentar doang." Ajak Zara.
Alvaro menelan makanan yang baru saja masuk ke tenggorokannya.
"Emang harus sekarang banget? Lo mau beli apa sih? Besok deh besok pagi." Kata Alvaro.
"Ck. Ini tuh penting kak. Gue butuh itu sekarang juga." Kata Zara.
"Apa sih, mau nyari apa? Kaya orang penting aja Lo. Kan besok pagi juga bisa." Kata Alvaro. Ia juga fokus makan namun sesekali melirik adiknya.
"Ck, ga bisa. Ini harus dibeli sekarang. Kalo nunggu besok mah udah telat, udah ga bisa. Gue ga mau nyuci baju banyak-banyak." Kata Zara.
Alvaro semakin mengernyitkan dahinya. Apa hubungannya?
"Lo mau beli sabun cuci?" Tanya Alvaro dengan asal.
"Enggak lah." Jawab Zara.
"Ya terus mau beli apa, Zara? Dari tadi gue nanya bukannya dijawab juga." Kata Alvaro kesal.
"Mau beli pembalut. Punya gue udah habis. Makanya gue minta ditemenin sama Lo kak Al yang ganteng." Kata Zara.
Alvaro menyatukan kedua alisnya. Dan menatap kesal pada adiknya.
"Gue lagi makan ya, malah ngomongin pembalut. Gila Lo. " Katanya.
Ingin rasanya Zara memukul wajah kakaknya itu. Tadi dia sendiri yang bertanya, sekarang giliran dijawab malah marah-marah.
"Ya terus, salah gue? Kan tadi Lo nanya dan minta jawaban." Kata Zara sambil meledek kakaknya itu.
"Udah-udah sana pergi Lo."
Zara tertawa lalu meninggalkan kakaknya itu. Dan kembali menemui Bundanya yang masih diruang tengah.
"Zara mau ke supermarket nih, bunda. Mau nitip ga?" Tanya Zara.
"Kamu pergi sama siapa?" Tanya Bundanya.
"Sendiri. Mau minta temenin kak Al dia masih makan." Jawab Zara.
"Ayo sama bunda aja, ini udah malam loh." Kata Bunda Fitria.
Zara langsung menggeleng.
"Jangan. Bunda kan juga baru pulang. Zara pergi sendiri aja. Kan deket ini." Katanya.
"Sama bibi ya?"
Zara menggeleng lagi. "Sendiri aja, bunda." Katanya.
Bundanya menghela napas pelan. Putrinya ini cukup keras kepala ternyata.
"Yaudah, kalo gitu hati-hati."
Zara mengangguk dan langsung keluar dari rumahnya.
Letak supermarket memang dekat dengan rumah Zara. Ia tinggal berjalan sedikit saja. Mungkin hanya berjarak sekitar lima atau enam rumah saja.
Zara memasuki supermarket dan memilih barang yang ia cari. Ia melihat-lihat salah satu pembalut yang ia duga pasti itu produk baru, karena baru kali ini Zara melihatnya.
"Oh, pake yang bersayap ternyata."
Zara langsung berjengit kaget. Dia melihat siapa yang tiba-tiba bicara dibelakangnya. Dan ternyata ada cowok yang tadi siang mengantarnya pulang.
Pipi Zara bersemu merah saat Farel masih memperhatikan barang yang ia bawa. Ia malu jika harus bertemu dengan cowok dan sedang membeli barang rahasia milik cewek itu.
"Apaan sih Lo?! Sok tau banget. Lagian Lo ngapain di sekitar sini lagi?" Zara berkata dengan sedikit terbata-bata.
"Kita tuh jodoh Ra. Jadi kalo nanti kita sering tiba-tiba ketemu itu udah tanda-tanda kalo Lo emang harus jadi pacar gue." Kata Farel.
Zara memutar kedua bola matanya malas. Farel ini sedang bicara apa?!
"Mana coba lihat pembalut yang Lo beli." Pinta Farel membuat Zara melotot.
"Gak. Apaan sih Lo! Malu tau ga?!" Zara semakin menyembunyikan miliknya di belakang tubuhnya.
"Kan dibelakang Lo ada. Hahaha." Farel melihat apa yang ada di belakang Zara.
"Gue lagi catat di pikiran nih, nanti kalo kita udah pacaran terus Lo lagi PMS kan gue bisa beliin tuh roti Jepang buat cewek. Sekarang gue catat, kalo Zara pake yang bersayap. Oke." Kata Farel sambil tersenyum meledek.
Zara menatap ke arah Farel dengan tatapan mendelik.
"Apaan banget kaya gitu di ingat-ingat. Lo ngapain sih disini? Lo ngikutin gue mulu ya?" Tuduh Zara.
Farel menggelengkan kepalanya pelan.
"Lo ga ingat ya kalo rumah Lo sama Vano tuh jaraknya dekat. Rumah Vano kan di sebelah supermarket ini." Jawabnya.
Zara merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia lupa jika disini ada rumah Vano juga. Mana dia sudah menuduh cowok itu mengikutinya.
"Ya gue lupa." Kata Zara singkat.
"Lo sendiri?" Tanya Farel. Zara mengangguk.
"Ini udah malam dan Lo malah pergi-pergi sendiri." Kata Farel.
"Kan deket dari rumah gue. Orang cuma jarak beberapa rumah." Kata Zara.
Zara memperhatikan cowok didepannya.
"Lo beli apa?" Tanyanya penasaran.
"Mau cari minum sama rokok sih." Jawabnya.
Zara hanya ber'Oh' ria mendengar jawaban dari Farel.
"Yaudah, gue duluan." Kata Zara sambil meninggalkan Farel.
Farel tak tinggal diam. Dia langsung mengikuti langkah Zara.
"Sekalian sama ini, mbak. Berapa?" Tanya Farel meletakan minuman miliknya didekat pembalut Zara.
"Oh, iya rokoknya satu." Tambah Farel.
"Gue bisa bayar sendiri." Zara mengeluarkan uang yang tadi ia masukkan disaku celananya.
"Gak."
Setelah kasir mengatakan jumlah totalnya, Farel langsung memberikan uangnya. Ia tertawa mengejek pada gadis disampingnya saat Zara kalah cepat saat memberikan uang.
Mereka keluar bersama. Didepan supermarket, Zara memaksa Farel untuk menerima uang untuk mengganti uang Farel tadi.
"Ga usah, Ra. Orang cuma segitu doang. Udah bawa aja, sekalian sana buruan pulang. Ini udah malam." Kata Farel.
"Tapi Rel,"
"Udah ga ada tapi-tapian. Buruan sana pulang, apa mau gue anterin?" Tawar Farel.
Zara langsung menggeleng. Bisa-bisa, Alvaro akan mengamuk jika mendengar deru suara motor Farel.
"Orang dekat banget kaya gini. Yaudah kalo gitu makasih ya, gue pulang duluan." Kata Zara.
Farel mengangguk. "Oke. Hati-hati, Zara Almeera."
Zara berjalan menjauh dari supermarket itu. Dia jadi yakin kalau Farel itu sebenarnya memang baik, namun karena tertutup oleh dia yang suka bolos, balapan, dan suka merokok itu membuat hal-hal kecil yang baik itu tak terlihat.