"sayangku.. lihat bayi kita.. cantik sekali sayangku..." bisik seorang wanita yang beberapa saat lalu baru saja melahirkan. Mungkin kita semua akan ikut tersenyum apabila pernyataan diatas diucapkan sang istri diatas tempat tidur rumah sakit, sang suami disisinya menatap lembut pada istri yang baru saja melahirkan putrinya. Bahkan kita pun pasti ingin segera melihat bayi mungil yang dinyatakan cantik sekali itu oleh ibunya.
Sayang sekali, kejadian yang sebenarnya berbeda jauh dari bayangan yang menyejukkan hati itu. Sangat sangat jauh sekali.
Langit sudah gelap, angin tidak berhembus tetapi debur ombak teratur bergulung menuju pantai di Laguna yang sepi tempat si wanita berdiri sendirian dengan bayi ditangannya. Bayi perempuan mungil itu tidak menangis, walau kondisinya masih kotor dan licin dengan darah ibunya, tali ari ari pun masih menempel pada perutnya. Ia hanya bergerak gerak gelisah seakan tak nyaman, entah berapa banyak nyamuk yang sudah mengganggunya dari tadi. Tetapi tetap tidak ada suara yang terdengar dari bibir mungilnya.
"sayangkuuuu.. ini putrimu, putri kita.." wanita itu mulai mengeraskan suaranya sambil mengulurkan bayi mungil itu ke depan, seolah ingin memberikan bayinya kepada seseorang yang tidak tampak wujudnya. Wanita itu semakin lantang memanggil kekasihnya, langkahnya pun semakin mendekati garis pantai. Darah nifas mengalir menuruni kaki wanita itu, membuat jejak gelap di tanah berpasir putih itu. Tampaknya wanita itu tidak peduli, seperti kerasukan ia tetap berjalan menuju air, kedua tangannya mengulurkan bayi mungil yang bergerak gerak gelisah, suatu keajaiban sang bayi tidak terjatuh. Padahal wanita itu tidak berjalan dengan tegak, langkahnya sempoyongan dan terhuyung-huyung. Debur ombak pecah disekeliling kaki wanita itu, menolehkan kepala saja tidak, matanya tetap tertuju pada lautan, mencari cari sesuatu diantara ombak yang datang, tetapi yang dicari tak kunjung datang.
"sayangkuuu.. kemarilah, ini anak kita, putri kita, ambillah.. bawalah.. bawa aku juga sayang" kali ini jeritannya sudah bertambah dengan tangisan. Wanita itu tetap maju menuju lautan, air yang semula hanya semata kaki, dengan cepat menjadi selutut lalu sepinggang, wanita itu tetap maju tidak berhenti.
Ketika air sudah mencapai dadanya, pijakannya goyah karena arus laut yang menyeretnya. Wanita itu memeluk putrinya, sambil berenang dengan kakinya menuju laut yang dalam.
Tiba tiba angin berhembus kencang, gelombang air laut semakin tinggi, pegangan wanita itu semakin melemah.
" Tidak, bawa aku juga kumohon, jangan hanya putri kita saja, aku juga, kumohon.. uhuk uhuk.." jerit wanita itu sambil terbatuk karena terminum air laut. Arus semakin kuat membawa wanita itu semakin jauh ke tengah laut, wanita tersebut tetap bertahan agar kepalanya dan bayinya tetap berada diatas air. Bayi mungil itu seperti tidak terusik, dan malah seperti tertidur dengan alunan ombak yang mengombang ambingkan dirinya dan ibunya.
ombak tanpa henti bergulung gulung menimpa ibu dan bayi itu. awalnya wanita itu masih menjerit jerit memanggil kekasihnya, lama lama jeritan itu terdiam, diganti dengan deru nafas kelelahan. Air mata yang sudah tercampur dengan air garam lautan deras mengalir dari mata wanita tersebut. Harapannya putus. "Putriku, kalau aku tidak mendapatkan kemauanku, maka ayahmu juga tidak akan mendapatkanmu." wanita itu berkata pada bayi mungil ditangannya. Dengan penuh air mata tangannya perlahan turun dan semakin turun, ditahannya kepala bayi itu didalam air. Sang bayi yang kehilangan oksigen mulai bergerak gerak kembali mencari udara, tetapi tangan ibunya menahannya tetap berada dibawah air. wanita itu tergelak lalu terbahak bahak seperti orang gila. karena terlalu terbahak bahak akhirnya pegangannya terlepas. Sayangnya sang bayi tidak muncul kembali ke permukaan. arus laut menyeretnya entah kemana. Wanita itu berhenti tertawa dan mulai menangis, tetapi ia tidak mencari bayinya. Ia hanya terapung apung ditengah lautan seperti perahu yang terlepas dari jangkarnya.
Sementara itu, di perkampungan tak jauh dari pantai tempat kejadian diatas berlangsung, tinggallah seorang nelayan bernama Tarno dan istrinya bernama Sumi, keduanya adalah pasangan yang tidak mempunyai anak, tetapi sekitar 5 tahun lalu, Tarno bersama rekannya yang bernama Parjo, mencari ikan bersama ke laut, saat itu Parjo membawa putrinya Naira yang saat itu berumur 13 tahun melaut bersama. Naasnya malam itu yang seharusnya cuaca cerah ternyata malah terjadi badai, perahu mereka karam dan yang selamat hanya Tarno dan Naira, Parjo hilang ditelan lautan. Berhari hari dicari oleh rekan rekannya sesama nelayan tetap tidak ditemukan. Sejak saat itu Naira dirawat oleh Tarno dan Sumi. Naira anak yatim piatu, dan sudah tidak memiliki kerabat lain lagi, walaupun Tarno dan Sumi tidak berasal dari golongan orang berada tetap tidak mengurangi keinginan mereka untuk merawat Naira. Alhasil tidak ada surat surat resmi pengapdosian Naira. Tetapi karena mereka tinggal di perkampungan terpencil di pinggir pantai, tidak semua orang yang tinggal disitu juga memiliki KK dan KTP, kepala desanya juga tidak terlalu ketat dalam mendata penduduknya, jadi semua orang langsung mengaggap Tarno dan Sumi adalah wali Naira. Awalnya semua berjalan lancar dan menyenangkan, Naira anak yang baik hati dan penurut, ia senang membantu Tarno dan Sumi. Tetapi beberapa tahun belakangan Naira suka sekali berenang di laut hingga malam. Berbagai macam alasan dibuatnya, mulai dari mencari udang, kerang hingga telur penyu. Sumi awalnya mengira jangan jangan Naira punya kekasih, tetapi ketika Tarno menjemput Naira dengan perahu, tidak didapati siapapun selain Naira. Selain itu Naira selalu membawa hasil laut. Bermacam macam bentuknya, pernah sekali waktu Naira membawakan mutiara hitam yang langka, Ia berikan untuk Sumi dan sampai saat ini mutiara tersebut disimpan Sumi sebagai kenangan indah, dan Sumi bersumpah tak akan menjualnya dan akan memberikan mutiara itu untuk anak Naira kelak.
Karena itu mereka sangat kaget dan kecewa ketika Sekitar 8 bulan lalu Naira didapati sedang mengandung. Naira tidak mau menjawab ketika ditanya siapa yang menghamilinya. membuat Tarno dan Sumi semakin malu, apalagi ketika didesak Naira malah menjawab yang menghamilinya adalah dewa laut. Naira menggambarkan yang menghamilinya adalah seorang pria perkasa yang bisa berubah menjadi manusia setengah ikan dari perut kebawah bila berada di dalam laut, pria itu bisa memerintahkan lautan, apakah tenang atau badai, bisa memerintah seluruh mahkluk hidup yang ada di lautan, dan bisa bicara tanpa menggerakkan mulutnya alias bisa telepati. Tarno dan Sumi tidak percaya, tetapi tidak ada satu pemudapun yang dekat dengan Naira di kampungnya apalagi sampai berani menghamilinya. kampung mereka kecil, tetapi sangat menjunjung tinggi akhlak , dan menganut aliran kepercayaan leluhur. Jadi mereka semua adalah komunitas kecil yang sangat sopan dan baik hati. Kejahatan hampir tidak pernah terjadi, apalagi perkosaan. Kepala desa sampai mengumpulkan semua pria tua maupun muda di balai desa untuk menginterogasi satu satu setiap pria yang ada disana, siapa yang menghamili Naira. Tetapi hasilnya nihil, setiap pemuda memiliki alibi dan memang tidak ada yang dekat dengan Naira. semua memperlakukan Naira dalam batas batas kesopanan yang berlaku.
mereka sangat bingung dan mereka juga tidak percaya kalau Naira dihamili dewa laut.
Bulan demi bulan berlalu, Naira sering menyelinap pergi kelaut seorang diri pada malam hari , berenang Berjam jam seorang diri. Sumi sangat khawatir pada janin yang dikandungnya. tetapi bayi dalam kandungan Naira tumbuh dengan kuat, terlihat dari perut Naira yang semakin membuncit. Semakin mendekati masa persalinan semakin Naira sering pergi ke laut. Tarno bingung, Sumi khawatir, kadang mereka bergantian menjaga Naira agar tidak kabur ke laut. Tetapi malam ini, Tarno dan Sumi kelelahan, keduanya sama sama tertidur lelap, mereka tidak mendengar jerit tertahan Naira ketika sedang bersalin, tak ada yang menolong Naira, Ia sendiri juga tidak meminta pertolongan, hanya berusaha mengejan untuk mendorong bayinya keluar dari rahimnya. Persalinanya terbilang cepat untuk seorang wanita yang baru pertama kali melahirkan, bayinya pun tidak menangis saat dilahirkan. Hanya menarik nafas pertamanya, tersedak dan terbatuk lalu tertidur kembali. Dan Naira langsung bangun dan membawa bayinya menuju laut, tidak peduli dengan kondisinya yang tidak lazim stelah melahirkan.
Sumi seketika terbangun, seperti ada tangan tak kasat mata yang menamparnya. "Naira!" jeritnya, Sumi langsung bangun dan berlari menuju kamar Naira, Ia menjerit ketika melihat darah dimana dimana saat di kamar Naira. Jeritan Sumi membangunkan Tarno yang tertidur lelap. Tarno langsung bangun dan mengikuti jejak darah keluar rumah. " Bu, panggil pak Kades dan dukun beranak, saya akan mencoba menyusul Naira, pasti anak itu menuju laut." dan Tarno langsung berlari mengikuti jejak darah di tanah, sementara Sumi langsung membangunkan tetangga tetangganya dengan jeritan minta tolong termasuk kepala desa dan dukun beranak, dengan singkat dan padat Sumi menjelaskan keadaan Naira, tak lama kemudian beberapa orang siap mencari Naira sambil membawa obor. Mereka cepat berlari menyusul Tarno.
Tarno sendiri yang sudah berlari duluan menuju pantai bersyukur saat ini bulan purnama, ia dapat melihat jelas jejak darah di tanah. Pantai sudah terlihat, dari kejauhan ia melihat Naira sudah berada di air, dan jantungnya serasa terhenti ketika dilihatnya Naira membawa bayinya, menjunjung dengan kedua tangannya seperti hendak dibuang kelaut. " Gustiiii... Nairaaaa.. berhenti nak.. berhenti!!!" jerit Tarno. Naira semakin jauh memasuki air, Tarno mendengar sayup sayup dibelakangnya masyarakat kampung berdatangan, " Ambil perahu!! Naira membawa bayinya ke laut!!!" teriak Tarno sambil sedikit berbelok menuju perahunya yang tertambat di pantai . Terdengar sayup sayup jerit dan tangis Sumi juga beberapa ibu ibu lain yang melihat adegan tersebut apalagi saat itu Naira tiba tiba hilang ditelan ombak bersama bayinya. Beberapa nelayan langsung menuju Tarno dan beberapa menuju perahu lain yang tertambat dipantau, ramai ramai mendorong perahu dan dengan cepat mereka melaju memecah ombak menuju Naira dan bayinya.
Tarno mencapai Naira terlebih dahulu, ditariknya Naira yang sudah kelelahan dan setengah sadar.
" Dimana bayimu Nak.. Naira.. mana bayimu" ucap Tarno dengan bergetar menahan emosi.
"Tidak ada, sudah tidak.. ada... kalau aku tidak dapat.. dia juga tidak.. hihihihi.. " kata Naira sambil terkikik dan tak lama kemudian Naira tak sadarkan diri. Beberapa Nelayan yang ikut perahu Tarno mendengar perkataan Naira langsung menceburkan diri kelaut berusaha mencari bayi yang tenggelam. Tarno sendiri masih tercekat. Tidak percaya Naira sanggup membunuh bayinya sendiri. Tangannya mengepal erat. " Gustiii.. apa salah hamba?? selamatkan bayi itu Gustii" teriak Tarno pada langit yang dihiasi indahnya bulan purnama.
Malam itu tak banyak yang bisa dilakukan, walaupun bulan purnama menerangi tetap jarak pandang manusia di dalam air tidak bisa menembus kedalaman lautan. Akhirnya diputuskan pencarian akan diteruskan besok pagi setelah matahari terbit.
Di rumah Tarno, Sumi hanya bisa menangis disamping Naira yang tiba tiba demam tinggi sekali. Beberapa para istri nelayan yang juga tetangga ikut menemani dan membersihkan Naira. sementara para bapak bapak diluar termenung, memikirkan nasib Naira. Apalagi pak Kepala desa, pembunuhan apalagi secara sengaja adalah tindakan kriminal. Dia bingung bagaimana menjelaskannya pada Tarno bahwa anaknya harus diserahkan pada polisi di kota. Semua orang tau Naira sebenarnya gadis yang baik, tapi kalau perbuatan Naira dengan bayinya dibiarkan nanti akan menjadi contoh yang tidak baik, dan amit amit malah menjadi pintu bagi kejahatan di kampung ini. Hal yang sama juga terbersit dalam benak Tarno. Tarno pun bingung bagaimana menyikapinya. Tarno malah berharap seandainya yang meninggal adalah Naira maka ia tidak perlu menderita mendekam di penjara, "ini semua adalah ulah pria keparat yang menghamili Naira.. siapapun dia!" cetus Tarno emosi yang dibalas anggukan pak kepala desa.
Tak lama kemudian Fajar menyingsing, Naira masih demam tinggi dan meracau memanggil manggil kekasihnya, memintanya membawa bayinya, beberapa tetangga yang percaya takhayul mulai bergosip bahwa Naira dihamili oleh makhluk halus. beberapa lagi mulai pamit hendak mencari bayi Naira, walaupun mereka dalam hati pesimis bisa menemukan bayi Naira. Baru saja mereka hendak melaut mencari bayi Naira, semua orang nelayan datang berlari lari ke rumah Tarno, " kami menemukan bayinya.. kami menemukan bayinya!!" seru nelayan tersebut. semua orang bergegas menyongsong keduanya. " Minggir.. minggir..beri jalan, berikan bayi itu padaku" seru si dukun beranak. saat itu, tidak ada dokter, perawat atau bidan di kampung mereka, hanya ada dukun beranak, seorang nenek yang berpengalaman dalam membantu persalinan, dan mengobati orang sakit dengan ramuan ramuan dari alam. Nenek itu memeriksa dengan teliti si bayi, terlihat ada 3 gores luka sayat disamping kanan dan kiri leher si bayi. " Bayinya masih hidup" seru sang dukun diiringi suara terkesiap orang orang disekitarnya. "Tapi tidak menangis, .. sepertinya akan jadi anak yang bisu"katanya lagi. " Terimakasih Gusti, terimakasih Mbah Dukun, yang penting bayinya masih hidup. Dimana kalian menemukannya?" tanya Tarno
"di Laguna, kami sedang menjaring ikan disana dan bayi ini ikut terjaring.. hebatnya bayi ini masih hidup, Sembah Syukur Gusti" kata si nelayan yang menemukan. " Kalau begitu anak ini harus Laguna namanya, karena ditemukan di Laguna" ujar pak Tarno yang disambut dengan anggukan dan senyum riang rekan rekannya.
Bayi Laguna langsung dibawa menemui Naira dan Sumi. Sumi menjerit senang, sedangkan Naira masih belum sadar. " Letakan Laguna pada puting ibunya, cepat.. walupun ibunya sedang tidak sadar, dipegangi saja supaya Naira tidak menindih anaknya." sang Nenek dukun beranak memberikan perintah yang segera dipatuhi Sumi dibantu dengan ibu ibu lain di sekitarnya.
Setelah menyusu Laguna tertidur kembali, rautnya terlihat puas dan nyaman dalam pelukan Sumi. Sumi hanya memberikan Laguna pada Naira bila sudah waktunya menyusu, Sumi takut Naira mencelakai Laguna bila Naira sadar. Naira memang belum sadar dan demamnya belum turun.dukun susah berkali kali memberi ramuan tetapi tetap tidak ada perbaikan, hingga akhirnya kondisi Naira semakin menurun. dari tubuhnya tercium bau tidak sedap, seperti ada yg busuk. 3 hari kemudian Naira menghembuskan nafas terakhir. Tarno dan Sumi sangat bersedih kehilangan Naira, Pak Kepala Desa lega dilemanya terpecahkan dengan sendirinya. Sementara Laguna, tertidur dalam pelukan Sumi, tidak tahu dan tidak mengerti apa apa.