Di ruang makan.
Sofia tampak lahap dengan menu makanan pagi ini. Ada roti tawar, selai, serta keju dan mentega. Banyak sekali pilihan nya. Juga tak lupa ada susu formula untuk Ibu hamil. Di tambah dengan sepiring nasi goreng. Yang di masak langsung oleh koki tangan Pak Muh.
"Menantuku makannya mulai lahap ya, sekarang. Ayo dimakan lagi, Nak. Cucu ku pasti sudah tidak sabar menunggu masa pertumbuhannya." Ujar Ayah mertua pada Sofia. Membuat Sofia tersentuh.
"I-iya, Ayah." Jawab Sofia gugup.
Ibu mertuanya justru menatap sinis ke arah Sofia. Sambil mengunyah roti tawar yang diberi selai blueberry tadi olehnya. Entah mengapa, sedari awal, wanita paruh baya itu begitu membenci Sofia.
"Hari ini kamu mau melakukan apa, Nak? Apa ada hobi baru? Atau kegiatan apa?" Tanya Ayah Mertua lagi. Sofia ragu-ragu menjawab.
Masalahnya, ia sendiri pun bingung. Pasalnya, belum lama ini ia baru saja di pecat. Terlebih lagi, dari perusahaan milik Ayah mertuanya sendiri. Yang dikelola langsung oleh tangan putranya, Aaron. Tak lain ialah Suami Sofia juga.
Ya—Suami kontrak, mungkin.
"Hm, aku belum tahu Ayah." Ucap Sofia menjawab.
"Punya menantu tidak bisa dibanggakan sama sekali." Sarkas Ibu mertua. Hal itu membuat Sofia meremas baju yang ia kenakan. Merasa tersindir dengan perkataan dari sang Ibu mertuanya sendiri.
"Itu kan, kata kau sendiri. Menurutku, menantuku sangat baik dan pintar." Sambung Ayah mertua membela Sofia.
"Baik saja tidak cukup. Pintar? Memangnya dia bisa apa, hah?!" sepertinya perdebatan ini tak akan berakhir begitu saja.
Sofia tertunduk dan diam tak ikut dalam obrolan kedua mertuanya. Karena hanya mereka bertiga saja yang ikut sarapan. Sementara Aaron sudah lebih dulu pergi ke kantor. Sedangkan Gerald, ia sejak semalam belum pulang hingga pagi ini.
Sangat kebetulan sekali, Gerald pulang dengan wajah kusut. Penampilan yang terlihat berantakan. Kakinya berjalan mendekati meja makan. Tempat dimana kedua orang tua beserta Kakak iparnya makan.
"Astaga, Gerald! Kemana kamu semalam? Ada apa denganmu? Kau mabuk lagi? Oh Tuhan, ampuni aku!" tutur Ibu mertua memarahi putra nya.
"Kau semakin dewasa bukannya tambah berubah. Malah jadi hancur begini! Mulai detik ini, semua fasilitasmu akan Ayah sita! Kartu ATM, mobil, serta barang-barang mewah lainnya! Terkecuali motor kuno itu." Celoteh Ayah mertua mengancam Gerald. Sontak wajah Gerald berubah memerah. Merasa geram dan kesal. Gerald sontak menggebrak meja dengan keras. Membuat Sofia terkaget.
"GERALD!!!" umpat Ayah mertua memanggil Gerald dengan lantang.
"Apa? Bukankah itu maumu? Kau hanya membela Aaron! Bahkan perusahaan pun diwariskan padanya juga." Gerald membalas perkataan Ayahnya.
"Dasar bedebah! Beraninya kamu melawanku! Kau pikir dirimu cukup pantas? Bila disandingkan dengan Kakak-Mu? Tentu saja tidak! Aaron lebih bisa diandalkan. Ia bahkan menguasai semuanya. Bila kau ingin menjadi pewaris Mahesa Group, kau harus belajar banyak dari Kakak-Mu, Aaron." Jelas Ayah mertua pada Gerald. Terlihat, Gerald mengepalkan kedua tangannya cukup kuat.
"YA! AARON DAN AARON LAGI! TERUS SAJA AARON! LAMA-LAMA AKU MUAK TINGGAL DIRUMAH INI!" ujar Gerald dengan suara keras sambil pergi dari ruang makan itu. Sofia yang melihat kejadian itu merasa tidak enak.
'Pasti Gerald begitu sedih. Hm, aku jadi kasihan padanya' gumam Sofia dalam hati.
"Bedebah sialan! Anak itu benar-benar semakin kurang ajar sekarang. Aih, aku hampir melupakan menantuku disini." Ucap Ayah mertua pada Sofia.
"Eh, tidak apa-apa Ayah. Aku izin kembali ke kamar." Balas Sofia seraya pamit.
"Ya, ya, pergilah. Kau pasti lelah, istirahat yang cukup."
Sofia berjalan menaiki tangga. Menuju ke lantai dua. Kamar utama milik Aaron, yang juga sekarang di tempati olehnya. Namun, kamar itu rupanya bersebelahan dengan kamar Gerald. Sofia merasa tidak enak, karena sejak awal mendengar pembicaraan keluarga ini. Yang mengumpat Gerald begitu keras.
Dalam hati, Sofia berpikir.
'Apa dia baik-baik saja? Bagaimana bila Gerald melakukan tindakan bodoh? Oh astaga, aku harus menyelamatkan Adik iparku' gumam Sofia.
Kedua kakinya berjalan dan berhenti di depan kamar milik Gerald. Ragu-ragu, Sofia mengetuk pintu itu sedikit pelan. Tak ada jawaban dari dalam. Kali ini, Sofia mencoba untuk membuka knop pintu itu. Meskipun tidak sopan, tapi mau bagaimana lagi?
Kriek!
Sofia memutar knop pintu itu. Untung saja pintunya tidak dikunci dari dalam. Pelan-pelan Sofia memasuki ke dalam kamar Gerald.
Mata Sofia tercengang kaget. Saat hendak melihat ke dalam isi kamar Gerald. Yang ternyata, lelaki itu sudah ada di depannya.
"Kakak mau apa kesini? Mau ikut memakiku juga?" tutur Gerald menginterogasi Sofia.
"Eh, a-aku.. h-hanya ingin m-melihat k-kondisimu." Balas Sofia gugup. Gerald mengernyitkan dahi.
"Aku tidak butuh! Sebaiknya Kakak kembali saja ke kamar." Gerald terang-terangan langsung mengusir Sofia.
"Gerald.. k-kamu tidak akan m-melakukan tindakan bodoh, kan? K-kalau kamu ingin cerita, bisa ceritakan saja padaku." Lanjut Sofia menjawab, berusaha untuk tetap tenang serta menahan emosinya.
"Apa hubungannya denganmu? Kau pun juga hanya menantu sementara dirumah ini. Jadi, jangan sok peduli padaku! Tidak lama lagi Kak Sarah akan datang. Dan kau juga akan di lupakan oleh Aaron. Jadi.. urus saja masalahmu sendiri!" tak menyangka, Gerald justru membalas dengan kata-kata seperti itu. Sofia merasakan hatinya yang berubah sesak seketika.
Seperti menahan napas, sungguh menyesakkan.
Sofia tertunduk sedu, mencerna perkataan dari Adik ipar lelakinya barusan. Kakinya perlahan mundur dan pergi meninggalkan kamar Gerald. Tangannya gemetar meremas baju yang ia kenakan.
'Ya.. harusnya aku tidak boleh berlebihan pada Aaron. Dia tidak mungkin luluh dan berubah mencintaiku. Apa yang kau harapkan darinya, Sofia? Dia tidak cinta, mungkin saja kasihan. Pada wanita sebatang kara dan menyedihkan seperti diriku' gumam Sofia dalam hati meringis.
Di cintai oleh seseorang dengan hati yang tulus, rasanya mungkin akan sangat bahagia. Namun bagaimana bila dicintai karena rasa kasihan? Apa yang lebih besar dari perasaan Aaron. Yang harus mendominasi antara cinta dan iba.
Air mata itu luruh dari kedua sudut mata Sofia. Seharusnya ia tidak boleh salah mengartikan sikap Aaron akhir-akhir ini. Yang tiba-tiba berubah manis dan lembut.
'Aku harusnya tahu diri, siapa aku ini. Benar yang dikatakan Gerald tadi, aku hanya-lah menantu sementara. Setelah kepulangan Sarah dari luar negeri. Aku akan di buang dan di acuhkan oleh Aaron, juga dari keluarga ini' tutur Sofia dalam hati.
"Ah, Sarah? Dia pasti wanita yang cantik dan elegan. Aku yang bukan apa-apa harusnya cukup sadar diri." Gumam Sofia seraya mengusap air matanya. Dan berusaha untuk tersenyum, meskipun berat.
Tidak seharusnya pula, ia menangisi keadaan ini. Karena memang takdirnya yang hidup penuh air mata serta rintangan yang bertubi-tubi. Namun apalah daya, hati Sofia begitu lemah. Apalagi bila hatinya sedih, keinginannya untuk mati semakin besar.
"Seandainya aku dan Ibu mati bersama saat itu. Mungkin aku tak akan mengalami penderitaan ini." Ujar Sofia sedu disertai tangis.