Ellen tidak pernah mengalami perjalanan panjang yang melelahkan seperti ini seumur hidupnya, padahal ia hanya duduk saja hampir seharian ini, tapi rasanya tangan dan kakinya kaku dan pegal-pegal.
Ketika sore menjelang dan matahari mulai terbenam di antara pegunungan yang berwarna hijau, mereka akhirnya sampai, Ellen menyeret kopernya tanpa tenaga sama sekali.
Setelah turun dari bus, mereka harus berjalan kaki selama satu jam, melalui lembah dan bebatuan terjal.
Olive di belakang Ellen rasanya ingin menangis, tubuh rasanya sakit di mana-mana dan ia merasa kalau tujuan dari praktik mereka saat ini bukan untuk mengamalkan ilmu yang mereka miliki, tapi untuk menguji daya bertahan hidup mereka di tempat terpencil.
"Sepertinya kita telah sampai," kata seorang dosen yang berjalan paling depan.
Olive langsung sumringah menatap gerbang dari kayu yang sudah usang, papan namanya terbuat dari kayu yang lapuk dan mungkin kalau ditendang sedikit saja, pasti akan roboh, beberapa rumah dari semen terlihat, penuh dengan retakan dan sepertinya sudah lama tidak direnovasi.
Ini benar-benar desa terpencil yang tertinggal.
"Apakah ini desa yang benar?"
"Ya, ini desa yang kita tuju." Elmer yang ada di samping Ellen bergumam, ia tersenyum pada Ellen.
Dibandingkan dengan orang lain yang terlihat kelelahan, Elmer terlihat sangat berenergi, Ellen bahkan bisa mencium aroma yang menyegarkan dari tubuhnya, seolah-olah ia baru saja mandi.
"Ayo, kita harus menemui kepala desa." Hendrick masih terlihat seperti biasa, ia melambaikan tangan dan memastikan kalau semua orang mengikuti kedua dosen mereka.
Ellen menghela napas, setelah melewati berbagai penyambutan yang melelahkan dan makan malam di halaman terbuka, Ellen akhirnya mendapat kamar yang sama dengan Olive dan berbaring dengan lemah.
"Aku tidak bisa merasakan kakiku." Olive terisak, ia mengoleskan krim ke kakinya secara berlebihan, takut kalau kakinya tidak cantik lagi. "Kita tidak akan melalui hal seperti ini setiap hari, kan?"
"Entahlah, aku pasrahkan semuanya."
Ellen memejamkan mata, meski di dalam ruangan ini hanya ada dua ranjang kecil dan dua meja, tapi ia bersyukur.
Setidaknya ia tidur di dalam ruangan, bukan di bawah pohon.
"Ah, aku ingin ke toilet." Olive berdiri dan memasang sandal, kemudian matanya menatap Ellen dengan pandangan memelas. "Temani aku, ya?"
"Kau sudah dewasa, kenapa harus aku temani?" Ellen mengeluh, coba saja kalau Liu yang memintanya, ia pasti akan langsung bangkit dengan penuh semangat.
"Ah, aku takut." Olive menarik tangan Ellen agar ia segera bangkit. "Kita baru pertama kali di tempat ini, bagaimana kalau aku diculik? Wajahku yang cantik ini sangat mahal kalau dijual di luar negeri, tahu."
Ellen mendengkus, ia dengan enggan mengikuti Olive, toilet agak jauh dari rumah kepala desa, di belakang rumah dan satu-satunya penerangan hanya lampu lima watt yang bergoyang-goyang tergantung di atas pohon.
"Serius, aku pikir kita ada di tempat antah berantah." Olive mengeluh, ia masuk ke toilet dan memekik pelan, sinar ponselnya menyala dan bergerak kemana-mana. "Ini mengerikan, apakah aku akan baik-baik saja?"
"Cepatlah, aku mengantuk." Ellen memijit pelipisnya dengan kuat, ia berjongkok di bawah lampu dan memainkan ranting yang ada di depannya.
Ia jadi ingat pertama kali ia bertemu Liu, di hutan, ia yang hampir mati.
Ya ampun, sungguh pengalaman yang sangat berkesan.
SREK … SREK ….
Rumput yang tak jauh di depan Ellen bergerak, melambai-lambai seakan ada yang akan melangkah mendekat.
Ellen langsung mengangkat wajahnya, melihat ke sekitar. Malam telah larut dan rata-rata orang telah tidur karena kelelahan, siapa yang akan berjalan di rerumputan, gelap pula.
"Siapa itu?" tanya Ellen sambil berdiri.
Olive masih ada di dalam toilet dan cahaya yang tidak berhenti bergerak, Ellen tidak peduli, ia menyalakan senter di ponselnya dan menyorot ke arah rumput.
SREK ….
Rumput kembali bergoyang dan memunculkan ekor tebal berwarna jingga, mata yang bulat itu berkedip pada Ellen.
"Oh, apa ini?" Ellen bergumam pada dirinya sendiri, ia tadi melihat rubah dan sekarang ia melihatnya lagi. "Apa di daerah sini banyak rubah? Aku melihatnya sejak tadi."
Olive masih di toilet, sepertinya ia masih membutuhkan waktu beberapa saat lagi di dalam sana.
Ellen memperhatikan rubah cantik yang ada di depan matanya, mata bulat itu menatapnya tanpa kedip, seakan memanggilnya untuk menyentuh cakarnya.
"Apakah tidak apa-apa menyentuh rubah?" Ellen bergumam pada dirinya sendiri, rubah itu terlihat jinak dan lembut, seperti boneka yang tidak sabar untuk dipeluk.
Ellen berjongkok, menatap rubah yang menggerakkan ekor tebal di depannya, rubah itu bersuara dengan suaranya yang lucu.
"Manis sekali." Ellen terpesona, seandainya saja ia bisa membawa rubah kecil ini pulang dan memeliharanya di rumah.
Tunggu, ia tidak bisa membawa rubah kecil ini pulang, ada bayi Istvan di rumah dan sangat berbahaya.
"Ah, aku bawa kau ke klinik saja!" Ellen berseru, rubah lucu itu semakin mendekati Ellen dan memamerkan perutnya. "Tunggu, di klinik kau akan dihajar para Nenek. Aku tidak bisa membawamu."
Rubah itu seakan mengerti perkataannya, ia mengeluarkan suara rendah dan ingin menyentuh tangan Ellen, wanita itu tanpa sadar mundur.
"Maaf, temanku alergi bulu. Aku tidak bisa menyentuhmu!"
Mata rubah itu berlinang, bagaimana bisa ada manusia yang menolak kecantikan yang dimiliki dirinya?
"Ellen, apa yang kau laku … astaga, menjauh dari rubah itu!" Olive yang baru saja keluar dari toilet langsung berseru. "Hewan liar, hewan liar!"
Rubah itu terkejut, ekornya terangkat dan ia langsung melompat ke semak-semak. Ellen menoleh ke arah Olive dengan tatapan keluhan.
"Apa?"
"Jangan menyentuh hewan liar, kau tidak tahu penyakit apa yang dibawanya." Olive melambaikan tangannya dengan wajah jijik, ia lalu menarik Ellen untuk berdiri. "Sudahlah, ayo ke kamar, aku kedinginan."
Olive menggigil, lalu melangkah dengan terburu-buru. Ellen menghela napas panjang, tapi setelah dipikir-pikir, apa yang dikatakan oleh Olive memang ada benarnya juga.
Sementara itu di semak-semak, Yena meneteskan air mata dengan deras, sudah dua kali, dua kali ia mencoba mempengaruhi Ellen dan hasilnya sia-sia.
SREK!
"Aku sepertinya tidak bisa lagi menggunakan cara halus, aku harus menggunakan cara kasar!" Yena mengepalkan kedua tangannya dan menarik napas dalam-dalam.
In adalah kesempatan yang langka bisa melihat Liu dan Ellen berada dalam jarak yang berjauhan, ia harus memanfaatkan ini untuk menyingkirkan wanita itu.
Wanita rubah itu menarik napas, lalu berdiri dengan kedua alis yang bertaut, matanya menatap satu-satunya jendela yang masih terbuka.
"Manusia itu, aku akan memanfaatkannya di waktu yang berguna. Tunggu saja permainanku Ellen, semua ini baru saja dimulai!"