Pria dingin itu
Suatu pagi di hari minggu,
Aku berjalan ke arah dapur, mendapati bik Inah sedang sibuk mempersiapkan sarapan, padahal aku tau mamih dan papih sudah berangkat sejak tadi.
"Bik, sedang masak apa?" tanyaku lembut sembari menyentuh pundaknya.
"Eh non Raya, ini bibik lagi masak udang manis," ucap bik Inah yang sedikit kaget mendapati kehadiranku.
"Udang bik? Buat siapa bik? Raya?" tanyaku sedikit ragu.
"Bukan, non Raya kan alergi udang, bibik masih ingat itu. Kalau bibik lupa nanti papih bisa marah," ucapnya seraya tersenyum.
Bik Inah sudah berada di sini jauh sebelum aku lahir, membantu mengurus kebutuhan rumah ayahku sejak muda. Jadi dia sudah mengerti betul dengan seluk beluk rumah ini beserta penghuninya.
"Lalu untuk siapa bik?" tanyaku menelisik.
"Non Raya lupa ya, hari ini kan anniversary papih sama mamih, jadi papih minta tolong bibik untuk masak makanan kesukaan mamih," ucap bik Inah menjelaskan.
Mendengar itu, aku segera menarik ingatanku, oh iya, ini hari penting ayah dan ibuku, kenapa aku bisa melupakan hari sepenting ini. Aku benar benar kesal, biasanya aku akan menyiapkan buket bunga untuk ayah dan ibuku.
"Bodoh sekali aku," gumamku sembari memukul pelan kepalaku. Ketika tengah sibuk meratapi kebodohan ini, aku dikagetkan dengan suata ponsel yang berdering kencang.
"Kriiinnggggg."
"Kriiinnggggg."
Suara ponsel dengan nada bawaan yang khas.
Aku segera meraih ponselku yang tergeletak di meja dan melihat nama yang muncul dilayarnya.
Di layar itu tertulis nama "Qiora".
Perlu aku jelaskan di sini, Qiora adalah sahabat karibku, juga salah satu murid di Pandora International High School. Anaknya sangat ceria, baik dan cukup receh karena selera humornya yang tinggi.
Dia juga tukang gosip di sekolah, hampir setiap berita, dia mengetahuinya bahkan berita yang kurang penting sekalipun. Aku sering mendapat berita darinya, tetang siapapun yang ada di sekolah itu.
Aku segera mengangkat video call dari Qiora.
"Hay Qi," ucapku menyapa seseorang yang sudah muncul di layar ponselku. Gadis manis berkulit putih dengan tubuh sedikit gemuk. Rambutnya berwarna coklat tua, keriting dan cukup lebat. Ayahnya adalah pemilik perusahakaan farmasi di kota ini, cukup ternama dan tentunya kaya.
"Hay Raya, nanti siang kita jadi ke sekolah kan, kamu tidak lupa jadwal pertandingan basket hari ini kan," ucap Qiora yang aku rasa culup panjang itu.
"Iya Qi, aku ingat kok," ucapku.
"Nanti ada Mike yang main, siapa juga yang mau melewatkan pertandingannya si Mike. Duh Raya lihat badannya aja yang berotot itu sudah membuat dadaku sesak Ra, apalagi di peluk sama dia," ucapnya sembari menghayal yang memang sudah menjadi kebiasaanya.
"Ah kamu Qi, kalau suka langsung bilang,"
ucapku menggoda.
"Mana mau dia sama aku Ra, yang suka sama dia banyak," ucapnya terdengar putus asa.
"Oh iya Ra, udah tau belum?" lanjut Qiara.
"Apa Qi?" tanyaku dengan ekspresi penasaran.
"Itu Noah, kemarin dia kan ikut olimpiade fisika, tau tidak Ra, dia bawa semua piala yang disediakan panitia, tidak disisakan satupun untuk sekolah lain. Keren itu anak, makannya apa ya itu orang," ucap Qiora takjub. Aku tersenyum mendengar itu semua.
"Itu sudah biasa Qi, bukan kabar baru," ucapku menegaskan jika memang itu adalah hal biasa bagi Noah yang memang merupakan anak paling pintar di sekolah bahkan mungkin di seluruh kota atau bahkan negara.
"Iya sih, tapi terlalu dingin." ucapku terdengar menyayangkan sesuatu, sembari duduk di kursi ruang makan yang letaknya persis di sebelah dapur yang tadi aku kunjungi.
"Sepertinya kamu perlu menghangatkannya Ra," ucap Qiora sedikit terdengar meledek.
"Mungkin, hanya perlu menambahkan bara api yang panas, nanti deh aku ambil dari api abadi," ucapku menggoda.
"Ya udah ya Ra, aku siap siap dulu," ucap Qiora sebelum menutup telephon.
"Da Qi, sampai ketemu di sana ya," ucapku seraya menggoyangkan tangan di depan kamera.
Hufhh, aku menghela nafas panjang.
Noah, kamu benar benar membuatku penasaran dan mulai frustasi.
"Noah yang fotonya ada di kamar non Raya itu ya," tiba tiba bik Inah memudarkan lamunanku. Nada bicaraku dan Qiora memang cukup keras, jadi wajar jika bik Inah mendengar semua pembicaraan kami berdua.
Aku tersenyum, ternyata bik Inah cukup detail mengawasi isi kamarku. Aku memang sedikit terobsesi dengan Noah, sampai sampai aku memotretnya diam diam, mencetaknya lalu memajang fotonya di dinding kamar dengan namanya tertulis jelas.
"I - iya bik, Noah itu tidak seperti yang lain, dia itu pendiam, misterius, dingin, dan membuat Raya penasaran bik," ucapku pada wanita paruh baya yang sudah merawatku sejak lahir.
"Ah, siapa sih yang tidak suka sama non Raya," ucapnya lembut.
"Serius bik, ini beda," ucapku dengan penuh keyakinan.
"Non Raya cantik, populer di sekolah, kaya, kurang apa lagi non," ucapnya seraya menata makanan yang dari tadi dia masak.
Dia terlihat menatanya di sebuah wadah persegi dengan hiasan cantik. Ada satu buket bunga kecil dengan kartu ucapan di sebelah kotak makan itu.
"Itu buat mamih ya bik?" tanyaku penasaran.
"Iya, mau bibik kasih ke pak Salim, terus diantar sama pak Salim ke kantor papih," ucapnya menjelaskan.
"Kok kantor papih, bukannya untuk mamih ya bik?" tanyaku menelisik.
"Iya non, tadi papih pesannya begitu, mingkin mau diantar papih sendiri, kan kantor papih sama mamih sebelahan," penjelasan bik Inah yang lagi lagi membuatku terlihat bodoh.
Kantor ayah dan ibuku hanya berbatas dinding, dua gedung yang saling menempel. Ayah sengaja membangun dua gedung yang sama persis di lokasi yang sama. Satu gedung untuk ayah dan satu gedung untuk kantor firma hukum ibuku.
Mungkin ini juga yang membuat Noah kurang tertarik kepadaku, karna aku tidak memiliki otak sebening dirinya, kurang pintar, tapi jangan katakan bodoh, aku tidak suka kata itu, kecuali aku sendiri yang mengucapkannya.
Semua orang mengatakan aku cantik, sempurna bahkan paripurna, tapi aku sadar diri, aku lemah untuk menghadapi pelajaran bahkan ujian. Hufhh, Tuhan memang tidak menciptakan kesempurnaan yang haqiqi di dalam diriku, Tuhan memberikan celah yang mungkin harus dilengkapi oleh orang lain.
"Bik, biar Raya yang antar ke kantor papih ya, sama pak Salim," ucapku memberikan penawaran.
"Ja - jangan Non, nanti non Raya repot," ucap bik Inah sedikit menolak.
"Tidak repot bik, kan ke kantor papih, Raya sudah biasa ke sana bik. Boleh ya?"
ucapku meminta, seraya menyuguhkan senyum lebar dengan deretan gigi putih berbaris rapi layaknya biji mentimun.
"Ya sudah jika non Raya tidak repot," ucapnya sambil menyodorkan kotak makan cantik dan buket bunga mawar berukuran kecil itu.
***
Aku segera berlari ke kamarku yang berada di lantai atas, saatnya siap siap. Aku akan mempersiapkan diri, sekalian nanti berangkat ke sekolah untuk menyaksikan pertandingan basket.
Aku tidak mungkin mengecewakan Qiora, dia adalah sahabat yang sangat menyayangiku. Aku cukup bersyukur memiliki sahabat seperti dia di dalam hidupku.
Dia memang tukang gosip yang retingnya cukup tinggi di sekolah. Pengikutnya banyak, yang menanti bahan gosip darinya cukup banyak, semua orang memang menyukai gosip, apalagi yang ditambah bumbu penyedap karangan cerita, digoreng dengan minyak panas yang meletup letup, pedas.
Untungnya dia paling anti menjadikan sahabatnya bahan gosip, tidak pernah sekalipun dia menggosipkan aku dan Tania, sahabatku yang lain selain Qiora. Nanti aku akan menceritakan tentang Tania yang istimewa ini.
Beberapa menit setelahnya aku sudah siap dengan penampilan sempurna. Kaos warna pastel lembut dengan celana jins yang sengaja dibuat sobek dibeberapa sisinya.
Aku segera berlari menghampiri pak Salim, supir setiaku. Aku siap menuju ke kantor papih dengan membawa hadiah istimewa untuk kekasih hatinya.