Seperti Es
Aku melihat Noah duduk di kursi kayu, di pojokan ruang bagian belakang kantor ayahku. Bersandar dengan kaki menyila. Telinganya berhiaskan airphone warna putih yang terlihat indah menutup sebagian kepala kanan dan kirinya. Sepertinya dia sedang mendengarkan sesuatu, mungkin musik atau sejenisnya.
Aku memberanikan diri untuk mendekat, jantungku begitu berdegup tidak karuan, ada rasa aneh mulai menyerang. Tiba tiba keringat semakin deras membanjir.
Kakiku bergetar, tidak setegar tadi.
Apa ini adalah getaran wajar yang dialami setiap orang jatuh cinta. Perasaan gugup ketika hendak berjumpa.
Aku harus menegurnya, jika tidak, dia bisa semena mena terhadapku. Iya dia menolongku, tapi setelahnya malah membuatku jatuh.
Aku melangkahkan kaki dengan yakin, semakin lama semakin mendekat ke arahnya.
"Hei," ucapku lirih
"Noah!" ucapku kesal
Aku menyentuh pundaknya dengan jari telunjukku, sangat hati hati.
Dia tetap diam, tanpa pergerakan. Aku mengamati matanya masih terbuka, lalu kenapa tidak meresponku? aku mulai kesal lalu,
"Noah!" teriakku mulai menggelegar. Mendengar itu dia terlihat kaget, melihatku dengan heran dan segera melepas airphonenya.
"Iya," ucapnya santai seolah tidak terjadi apa apa.
Mendengar itu tiba tiba aku mematung, keberanian yang tadi begitu menggebu, ditambah dengan sedikit amarah, tiba tiba lenyap entah ke mana. Aku hanya mematung memandang wajahnya, tubuhku seolah leleh, terpikat dengan kharisma wajahnya yang terpancar nyata.
"Ada Apa?" tanyanya pelan. Suaranya begitu merdu menyapa telingaku, lembut dan menenangkan.
"Ti - tidak, aku hanya ingin berterimakasih," ucapku lembut. Tanpa merespon apa yang aku ucapkan, dia segera memasang airphonenya dan kembali ke posisi semula.
Yang benar saja, aku berterimakasih untuk hal menyebalkan seperti itu. Ada apa denganku? Sepertinya aku sudah tidak waras.
Aku hanya bisa memandangnya dengan kesal, ingin rasanya mencengkram bahunya lalu menggigitnya kuat kuat, sebagai pelampiasan amarah yang begitu menjadi jadi pada diriku.
Dia terlihat menoleh, aku kembali luluh, berusaha terlihat manis di hadapannya.
"Sudah?" ucapnya pelan.
Aku menghela nafas panjang.
"I - iya sudah," ucapku sembari tersenyum, berusaha terlihat manis dan tulus.
Aku segera membalikkan tubuhku, lalu berjalan dengan menggerutu. Aku lebih kepada menyalahkan diriku sendiri, kenapa begitu rapuh di hadapannya, kenapa seolah aku menjadi patung ketika ada di dekatnya. Aku tidak mengerti, ini sungguh gila.
Noah benar benar menghipnotisku. Aku dibuatnya tergila gila dalam rasa penasaran. Tidak pernah ada anak laki laki yang menolakku, tapi ini? Aku diacuhkan oleh seorang laki laki kaku dan sedingin es.
Aku anak paling populer di sekolah? Apa dia tidak melihat itu. Kecantikan yang paripurna ini. Datang dari keluarga kaya dan terhormat. Oh Noah, begitu sulitkah mendapat sedikit perhatianmu.
Aku benar benar menggerutu, berjalan dengan hentakan kaki keras. Kesal dan kecewa, namun aku yakin jika berdiri di hadapannya semua rasa ini akan menguap entah ke mana.
Bodohnya aku...