Chereads / My Cool Boy / Chapter 6 - Bab 6

Chapter 6 - Bab 6

Harapan Palsu

Sejak mendengar cerita dari Tania, aku semakin tidak bisa menahan perasaanku. Aku jatuh cinta dengan laki laki dingin nan misterus itu.

Kebaikan hatinya sungguh membuatku terpesona.

Noah begitu peduli dengan Mike, lalu aku berpikir, jika bisa memperlakukan Mike dengan baik kenapa begitu dingin terbadapku. Ah memikirkan hal itu hanya akan membuat kepelaku berdenyut tidak karuan.

Aku harus membuat sebuah langkah perubahan, minimal dia harus tau perasaanku yang sebenarnya. Entah nanti dia akan membalas perasaan itu atau bahkan mencampakkannya, itu resiko yang harus aku terima.

Pasti akan malu bukan main mana kala Noah menolak perasaanku, secara aku adalah gadis paling populer di sekolah. Banyak anak perempuan yang ingin seperti aku. Cantik dan populer, walaupun mereka semua dari keluarga kaya, tidak semua dari mereka terlahir dengan paras menawan selayaknya aku.

***

Aku melangkahkan kaki menuju ke kelas dengan malas dan seolah penuh sesak, oh perasaan ini benar benar membuatku hampir gila.

"Ra, kamu kenapa?" tanya Qiora yang melihatku tidak memiliki semangat seperti biasanya.

"Oh iya, hari ini pak Dewa tidak masuk, katanya istrinya melahirkan. Ada tugas yang harus kita kerjakan, tugasmu sudah aku email ya. Oh iya satu lagi, Noah lagi mengerjakan tugas di perpustakaan, baru lima menit lalu," ucap Qiora memberi informasi. Mendengar itu seketika semangatku seolah kembali ke dalam tubuh ini, brutal dan meledak ledak. Aku segera meletakkan tasku di meja lalu segera pergi dengan cepat seperti kilat.

"Terimakasih Qi!" teriakku seraya berlari.

Di perpustakaan aku melihat Noah duduk di bagian paling ujung, telinganya masih berhiaskan aerphone putih. Di atas mejanya terdapat beberapa tumpukan buku yang sepertinya akan segera dilahapnya.

Aku mendekat dengan sangat hati hati, pelan seolah mengendap endap.

"Ssttt," isyaratku memanggilnya. Dia tidak menangkap isyarat itu. Aku mengulanginya beberapa kali hingga yang terakhir terlalu bervolume tinggi sehingga beberapa orang menoleh ke arahku. Aku tersenyum sungkan, mereka pasti sedikit terganggu dengan kegaduhanku.

Aku segera duduk di sebalah Noah, duduk dengan sangat hati hati. Aku sentuh lengannya dengan ujung telunjuk, dia masih juga tidak merepon.

Aku melihat ada kertas dan bolpoin di atas meja. Segera aku meraihnya dan menuliskan sebuah pesan.

"Lagi apa?" Tulisku diselembar kertas berwarna biru muda itu. Aku menyodorkannya kepada Noah. Melihat itu, dia mengalihkan pandangannya ke arahku, beberapa detik setelahnya memberi isyarat jika dia sedang membaca buku.

Ya iyalah, bodohnya aku yang bertanya, sudah tau dia sedang baca buku, kenapa juga harus memberikan pertanyaan konyol seperti itu.

Aku segera menunjukkan deretan gigi putihku.

Aku meraih satu kertas lagi, kertas memo warna warni yang cukup banyak tersedia di atas meja.

"Baca apa?" tulisku, lalu menyodorkannya kepada Noah. Melihat itu, beberapa detik setelahnya dia terlihat menunjukkan judul buku yang sedang dia baca ke arahku.

Hufh, aku benar benar terlihat bodoh di depannya.

Aku meraih kertas memo berwarna merah muda, lalu dengan berani menuliskan sebuah pesan pamungkas.

"Mau pulang bareng?" tulisku.

Aku menyodorkan kertas memo itu dengan sangat hati hati, diiringe deru pacu jantung yang mulai tidak beraturan, kencang dan seolah hendak meloncat keluar.

Noah terlihat membaca pesan itu, cukup lama, mungkin dia berpikir dulu harus membalasnya bagaimana.

Aku menunggu dengan setia, berpangku tangan sambil terus menatapnya. Beberapa detik setelahnya dia terlihat menoleh ke arahku, spontan aku menarik kepalaku karena jarak wajahku dengan wajahnya begitu dekat.

Coba aku tidak gugup dan spontan menarik kepalaku, pasti aku sudah bisa mengecup pipinya. Ah, jangankan melakukan itu, berdekatan dengannya saja sudah membuatku tidak berdaya.

Dia memberi isyarat kecil yang jika aku bisa menerjemahkan isyaratnya berupa anggukan, alis mata naik sedikit ke atas, beberapa mili meter senyum. Sepertinya dia setuju untuk pulang bersamaku.

Seketika aku berteriak "yes!" yang disusul dengan hampir semua sorot mata tertuju padaku, setelahnya terdengar suara "ssttt" semua orang di perpustakaan itu memberi isyarat supaya aku tidak berbuat kegaduhan.

Ah, bodoh amat, yang penting aku bahagia, karena akan menghabiskan waktu bersama dengan Noah.

Rumahku dan rumah Noah searah, aku sering melewati pemukimannya. Rumah di pemukiman padat penduduk, jaraknya sekitar satu setengah kilo meter dari sekolah. Rumahku masih sekitar 500 meter dari rumahnya. Berada di perumahan elit yang lingkungannya berbanding terbalik dengan lingkungan tempat tinggalnya.

Sepanjang langkah kaki dari perpustakaan ke ruang kelas, aku terus mengulaskan senyum. Aku tidak pernah sebahagia ini selama masa perjuanganku mempertaruhkan hati. Ini pertama kalinya Noah mengiyakan ajakanku.

Ya, aku sering mengajaknya untuk sekedar mengobrol, atau pulang sekolah bersama, atau sekedar sengaja untuk menyapanya, tersenyum terus menerus didepannya, memamerkan gigi rapi dan putih ini, seperti orang kurang waras.

"Ra, kenapa kamu? Happy banget," tanya Qiora menelisik.

"Qi, kamu tau tidak, aku akan kencan dengan Noah," ucapku membagi cerita dan perasaan bahagia ini.

"Serius kamu, kencan sama gunung es?" tanyanya memastikan. Aku mengangguk cepat dan sering.

"Ya bukan kencan yang sebagaimana semestinya, hanya pulang bersama, paling tidak aku bisa menghabiskan waktu bersamanya," ucapku menjelaskan.

Aku terus memamerkan senyum, ini begitu membuat hatiku bahagia. Setelah lebih dari satu tahun berjuang untuk mendekati gunung es itu, akhirnya aku memiliki kesempatan untuk lebih dekat dengannya.

***

Jam dua siang, bel sekolah berbunyi.

Aku segera merapikan tasku.

Aku berbeda kelas dengan Noah, namun kelasnya berada tepat di sebelah kelasku. Aku sering mencuri pandang, mengintipnya dari balik jendela. Begitu saja aku sudah sangat bahagia.

Tidak ada yang istimewa, dia hanya duduk sembari membaca buku, tetap dengan aerphone putih yang selalu dia kenakan.

Hampir setiap hari hanya pemandangan itu yang aku saksikan, tapi aku tetap suka berlama lama manatapnya, walau hanya bagian samping yang mampu mataku tangkap karna posisi jendela dan kursi duduknya tidak saling berhadapan.

Aku segera berlari menemui Noah, dengan senyum sumringah. Beberapa kali Tania dan Qiora meledekku, aku hanya membalas mereka dengan senyum.

Jantungku berdegup kencang, aku melihat Noah berdiri di depan kelas seolah tengah menunggu sesuatu, aku tau, dia pasti menungguku. Betapa besar kepalanya aku ini, tapi ini adalah kesempatan yang memang aku impikan.

Aku berdiri tepat disebelah Noah. Beberapa pasang mata terlihat menyorotku, mengamatiku dan ada beberapa ekspresi tidak percaya yang mereka tunjukkan.

Noah menggoyangkan kepalanya, sebagai isyarat untuk mengajakku jalan.

Duh, betapa bahagianya.

Aku berjalan bersama Noah, laki laki tampan impianku. Kami berdua berjalan beriringan hingga parkiran.

Noah menuju ke arah di mana sepedanya terparkir.

Aku sempat mengernyitkan dahi, berusaha memahami situasi apa yang sebenarnya terjadi.

Noah menghampiriku dengan sepedanya, beberapa saat menatapku. Itu adalah sepeda single speed, aku harus naik di mana? aku menatap Noah dan sepedanya dengan bingung. Apa mungkin Noah akan memintaku duduk di depan? Oh pasti akan sangat romantis sekali. Khayalanku mulai kemana mana, aku membayangkan situasi yang romantis seperti halnya adegan yang ada di film korea atau film romantis lain.

Duh senangnya, sungguh sangat indah.

Noah balas memandangku, lalu menurunkan aerphonenya.

"Di mana sepedamu?" tanyanya pelan, seketika lamunanku menguap.

"A - apa Noah?" tanyaku menyakinkan.

Apa yang aku dengar tadi, Noah menangakan sepedaku?

"Sepeda, pulang bersama kan?" tanyanya meyakinkan yang justru membuatku semakin kebingungan.

Noah menanyakan sepeda? Sedangkan aku sama sekali tidak punya sepeda. Aku terbiasa naik mobil dan diantar supir.

Aku berlajan kesal menuju ke arah pak Salim, membuka pintu dengan sedikit emosi, duduk dan merenungi segala hal yang telah terjadi.

"Pak Salim, pokoknya nanti pak salim cari sepeda buat aku, cari sepeda paling bagus yang muat masuk mobil. Pokoknya besok pagi sepeda itu harus ada," ucapku meminta pada pak Salim yang selama ini selain menjadi supir juga menjadi orang kepercayaan ayahku untuk mengurus semua kebutuhan rumah.

Biasanya setelah menerima permintaan dariku, pak Salim akan segera mencari apa yang aku butuhkan dan melapor kepada ayah. Semudah itu, aku bisa membeli apapun selama semuanya bisa dibeli.

***

Sepanjang jalan aku hanya meratapi tentang apa yang aku alami, hatiku sedih dan kecewa. Kenapa Noah memperlakukanku seperti ini.

Harapan palsu, kebahagiaan semu.

Tanpa terasa lelehan cairan bening mulai menetes dari mataku. Semakin lama semakin membanjir. Aku sedih, dan betapa bodohnya aku, memiliki pengharapan yang tinggi pada laki laki sedingin es.