Agnia tak sengaja melihat pakaian anaknya saat merapikan baju-baju. Tangan Agnia terulur untuk mengambil benda tersebut. Diusap-usap nama yang tertera di sana.
"Maafin ibu ya sayang. Ibu nggak bisa nyelamatin kamu. Maaf untuk ketidak becusan ibu, Adelia." Air mata tumpah.
Semua yang berkaitan dengan Adelia begitu menyakitkan. Seandainya waktu dapat di putar, Agnia tidak akan pergi pada malam itu. Ia hanya akan duduk sambil menunggu sang suami pulang. Namun, apalah daya, nasi sudah menjadi bubur.
Tok tok tok.
Sebuah ketukan langsung menyeret Agnia kembali ke realita. Segera mengusap air matanya dan bergegas membukakan pintu.
"Tunggu sebentar." Pintu terbuka menampilkan seorang wanita berusia hampir enam puluhan. Wanita tersebut tersenyum dan dibalas senyuman pula oleh Agnia. "Ada apa Bu Trisna datang ke sini?"
"Ini ada bakso buat Neng Agnia. Diterima ya."
"Wahh, kok Bu Trisna repot-repot begini." Agnia menerima pemberian Trisna. Menolak pun tiada guna sebab wanita di hadapannya ini akan terus memaksa. "Ayo Bu mampir. Kita ngeteh atau ngopi."
"Lain kali saja. Di rumah cucian pada numpuk. Ya sudah saya pergi dulu ya."
"Iya, Bu. Terima kasih atas makanannya."
Trisna merupakan salah-satu tetanganya yang paling ramah. Waktu Agnia baru saja pindah, wanita tersebut memberinya kue bolu sebagai bentuk ucapan selamat datang ke lingkungan baru.
Menurut kesaksian orang-orang, Trisna memang tipikal yang mudah akrab dengan orang lain.
*****
Agnia baru saja membersihkan rumah. Meregangkan otot-otot supaya tidak pegal dan kaku. Agnia duduk di tempat tidur dan menyandarkan punggung di kepala ranjang. Tangab lentiknya mengambil ponsel dan mulai menjelajahi sosial media.
Beberapa menit berlalu, Agnia masih asyik dengan kegiatannya sampai jarinya berhenti menggulirkan layar saat melihat foto sang suami ah ralat mantan suami.
Ivan memposting kebersamaannya dengan Rosa. dengan caption 'masa deanku'. Agnia ingin tertawa membaca caption tersebut. Masa depan apanya? Masa depan untuk Ivan dan masa kelam untuk Rosa.
"Kaihan sekali kamau Rosa, mau dinikahi oleh pria nggak bertanggung jawab nan manipulatif kayak Mas Ivan. Aku berdoa semoga nasibmu nggak seburuk nasibku. Tuhan, segera sadarkan lah wanita itu. Kasihan dia."
Agnia mmeatikan ponsel dan berencana untuk pergi dan berjalan-jalan mencari makanan.
Hanya membutuhkan waktu sekitar lima belas menit naik angkot untuk menuju sebuah jalan yang di mana terdapat para pedagang kaki berjejeran. Netranya melihat ke sekitar.
Tatapannya berhenti saat melihat seorang wanita sedang menggendong anak perempuan yang sedang memegangi gula kapas. Keduanya tertawa dan hal itu menular pada Agnia, tapi dengan cepat pula Agnia menjadi sedih.
Tangan kini berpindah memegang area perut sambil bergumam, "Andai kamu masih ada Nak." Agnia tersenyum kecut.
Segimana pun dirinya berandai-andai tetap saja sang anak tak akan pernah kembali. Agnia mulai berjalan dan membeli beberapa makanan kaki lima.
Sepertinya hari ini merupakan hari buruk, bagaimana tidak, tak jauh di depannya terlihat Ivan dan Rosa sedang bersama bergandengan tangan sambil terawa. Sesekali Ivan mengelus perut Rosa.
"Jadi, wanita yang bernama Rosa itu hamil?" Bukan, ia tidak cemburu melainkan semakin kasihan bagaimana nasib si jabang bayi kelak.
Seharusnya Agnia melewati jalan di mana kedua orang tadi berjalan, tapi karena merasa ogah ia memilih berbalik dan betapa terkejutnya Agnia saat melihat Dirga yang berada di belakangnya.
"Pak Dirga. Bapak di sini?"
"Iya, kenapa? Memangnya saya tidak boleh berada di sini?"
"Bb-bukan begitu. Saya hanya kaget." Berbicara dengan Dirga, tapi pandanngannya mengarah pada Ivan dan Rosa yang berjalan ke arahnya.
Tanpa pikir panjang Agnia berlindung di balik punggung besar nan kokoh Dirga. Pria itu jelas merasa kebingungan. "Apa yang Anda lakukan?"
Agnia mencegah Dirga yang hendak berbalik. "Saya mohon tetap berada di posisi ini. Nanti saya akan jelaskan." Dirga tak menjawa, tapi menurut hingga Agnia kembali pada posisinya.
"Ada apa? Kenapa sikap Anda menjadi aneh. Anda tidak menghindari pedangang karena belum membayar, kan?"
"Tentu saja bukan!" Agnia menjawab dengan cepat. Enak saja dbilang tak membayar, meski uangnya sedikit, tapi Agnia bukan tipikal orang yang beli lima gorengan bayar dua gorengan.
"Lalu?"
"Saya menghindari mantan suami saya."
Dirga cukup terkejut dengan jawaban Agnia. "Artinya Anda sudah menikah?"
"Dulunya iya, sekarang tidak lagi." Agnia melihat Ivan dan Rosa berhenti di salah-satu pedagang. Kedua tangannya mengepal dan tak luput dari pandangan Dirga.
"Kenapa menghindar? Belum bisa move on?"
"Move on? Jangankan move on, saya sudah tidak cinta lagi dengan pria itu."
"Ohh." Dirga mengangguk mengerti. "Mau makan bersama?"
*****
"Soal yang waktu itu di restoran saya berterima kasih. Tanpa Anda entah bagaimana nasib saya."
"Sama-sama."
Agnia dan Dirga berada di sebuh tenda makan. Mereka sedang menunggu pesanan datang. Agnia menautkan jari-jarinya. Tak tahu harus membicaraka topik apa lagi agar suasana tidak canggung. "Saya kira orang semacam Anda tidak makan di tempat seperti ini."
"Kata siapa? Asal tempatnya nyaman, bersih dan makanannya enak, saya tidak keberatan untuk makan di situ. Tempat ini cukup menjadi langganan saya ketika berada di daerah sini. Anda sendiri bagaimana?"
"Saya belum tau banyak mengenai daerah sekitar sini. Saya orang desa yang mencoba merantau ke kota yang begitu besar ini."
Akhirnya makanan yang dipesan keduanya telah datang. Tidak ada lagi percakapan yang terjadi. Mereka makan dengan hikmad.
*****
Mereka pulang sendiri-sendiri. Agnia menolak diantar pulang oleh Dirga. Tidak ingin merepotkan pria itu dan tak ingin jadi ajang gosip tetangga sekitar.
Agnia mengeluarkan dompet. Tanpa sengaja pakaian Adelia terjatuh dari dalam tas dan terbang terbawa angin beberapa meter. Agnia segra mengejar.
Nmaun ia berhenti dan mematung di tempat. Ivan mengambil benda tadi. Lagi lagi bertemu dengan ivan. Memang takdir suka sekali mengujinya.
"Kembalikan! Itu milik saya."
"Adelia." Ivan membaca nama yang tertulis di benda tersebut. "Ternyata kamu menamainya dengan nama Adelia ya. Hm, tidak buruk juga, tapi sayang yang dinamai sudah tiada."
"Tolong kembalikan pakaian itu." Agnia mencoba meraih, tapi Ivan mengangkat tinggi-tinggi hingga membuat Agnia kesusahan mengambilnya.
"Gitu aja nggak bisa ambil."
"Tolong, kembalikan! Itu milik anak saya!"
Ivan menatap serius Agnia. "Anak kamu? Adelia juga anak aku. Kamu jangan lupa itu."
Agia berhenti meraih, percuma. Ivan tak akan memberikannya dengan semudah itu. "Anda memang ayah kandung Adelia, Ayah kandung yag tidak pernah peduli pada anaknya dan lebih memilih untu pergi bersenang-senang dengan wanita lain."
"Jangan kurang ajar Agnia!" Agnia mulai memantik amarah Ivan.
"Siapa yang kurang ajar di sini? Anda! Anda dengan kurang ajarnya menyalahkan saya atas semua yang terjadi. JIka Anda tidak pergi seperti pecundang, maka anakku masih hidup!"