Perkataan yang dilontarkan Agnia berhasil membuat amarah Ivan naik ke ubun-ubun. Tangan kanan pria itu terangkat ke udara, digerakkan guna menampar Agnia.
Namun, sebelum telapak tangannya mendarat, ada tangan yang menghentikan. Bukan, tangan itu bukan milik Agnia. Ivan menatap sengit pria asing di depannya.
"Lepas!" Ivan melepas secara kasar. "Siapa Anda? Berani-beraninya ikut campur urusan saya!"
"Siapa saya itu bukan urusan Anda. Yang jelas jangan pernah kasar pada siapa pun terutama pada wanita." Untung Dirga belum pulang.
Mobilnya masih terparkir tak jauh dari kedua orang tadi berdebat. Ia tadinya tak ingin ikut campur, tapi melihat si pria yang semakin terlihat marah Dirga menjadi khawatir sesuatu yang buruk akan terjadi. Benar saja, pria di hadapannya ini hendak menampar Agnia.
"Ada hak apa Anda melarang saya? Jangan ikut campur atau wajah anda akan saya buat babak belur!" Ancam Ivan dengan seringai sok sinisnya.
Sudut bibir Dirga tersungging. Hal yang tak terduga pun terjadi. Dirga memukul tepat di wajah Ivan hingga sudut bibir pria tersebut mengeluarkan darah.
Ivan menyeka darah tadi sambil mengumpat, "Brengsek!" Tak terima ia mencoba melakukan pembalasan. Namun, gagal karena kesigapan Dirga menghindar.
Ivan semakin emosi. Kini, ia menyerang secara membabi buta pada Dirga hingga pukulan Ivan mengenai wajah Dirga. Keduanya sama-sama terluka.
Sementara Agnia tak menyangka jika perdebatannya akan berakhir ricuh seperti ini. "Kalian berdua, hentikan!" Perkataan Agnia tak digubris.
Wanita tersebut meminta bantuan orang-orang sekitar untuk melerai. Tubuh Ivan dan Dirga berhasil ditahan dan dijauhkan satu sama lain.
"Lepaskan saya! Saya belum puas membuatnya babak belur! Lepas!" Ivan mencoba berontak.
"Sebaiknya Anda Tenangkan diri. Tak enak dilihat orang-orang," ujar pria yang menahan tubuh Ivan.
Ivan melihat ke sekeliling. Benar saja, beberapa orang memusatkan perhatian mereka padanya dan Dirga. Mereka berbisik bisik.
'Apa yang terjadi?'
'Kurasa mereka merebutkan wanita itu. Jaman sekarang memang sering terjadi perebutan cinta'.
'Dasar nggak tahu malu. Sudah dewasa masih bertengkar di jalan.'
Perkataan serta bisik-bisik itu di dengar oleh Ivan, Agnia, dan juga Dirga. Ivan mencoba melepaskan diri. "Lepas!"
"Jika saya lepas, Anda akan bertengkar lagi."
Ivan mendengkus kesal. "Siapa juga yang mau bertengkar. Sekarang lepas!"
Di lain sisi, Agnia menghampiri Dirga. "Sudah Pak. Anda jangan bertengkar lagi. Tidak enak dilihat sama orang-orang." Ia berbisik pada Dirga dan melihat sekitar. "Sebaiknya kita segera pergi dari sini atau pria tadi akan membuat masalah lebih runyam lagi."
Dirga melihat ke sekitar. Orang-orang yang melihat mereka bertengkar sudah pergi. Tatapannya beralih ke arah depan, tepatnya menatap Ivan. Netra kedua pria tersebut bertemu. Menatap nyalang satu sama lain.
"Baiklah. Ayo kita pergi. Aku tidak ingin berlama-lama dengan orang tidak waras seperti dia."
Ivan menatap kepergian Agnia dan Dirga. Dalam hatinya bertanya-tanya, siapa gerangan pria tersebut? Dan apa hubungannya dengan Agnia?
"Siapa pria itu? Dari penampilan dan kendaraan yang dipakai tentu bukan orang biasa. Apa dia kekasih baru Agnia? Cih! Rupanya wanita itu langsung mencari mangsa baru dan dia kali ini mendapat buruan menggiurkan. Lihat saja Agnia, kamu pikir bisa hidup dengan enak setelah merendahkanku seperti tadi? Kita lihat, bagaimana kedepannya nasibmu. Aku yakin kamu akan berakhir lebih buruk dari sebelumnya!" Ivan pun juga pergi dari sana.
******
Ivan dan Agnia berada di dalam mobil yang sama. Mereka, tepatnya Agnia baru saja dari apotek. Wanita itu merasa tak enak atas aoa yang baru saja terjadi. Ia menunduk dan melihat kotak obat di tangannya.
"Jangan hiraukan kejadian tadi dan jangan merasa bersalah. Pria kurang ajar itu berhak mendapat bogem mentah."
"Tetap saja saya merasa tidak enak pada Pak Dirga. Gara-gara saya, Bapak jadi bertengkar dan terluka. Di sana juga cukup banyak orang yang melihat. Reputasi Pak Dirga bisa terancam hancur."
"Pertengkaran sepele seperti tadi tidak akan membuat nama atau bisnisku hancur dalam sekejap. Lagi pula, pria tadi bukan lah siapa-siapa. Hanya pria kurang ajar yang mampunya menyakiti wanita."
Agnia menatap Dirga. Baru kali ini ia dibantu oleh orang asing lebih dari sekali. Meski sekarang tak orang asing lagi, tapi hubungan mereka belum cukup dekat untuk bisa dikatakan teman.
"Kalau begitu biarkan saya mengobati Pak Dirga."
"Tidak perlu. Saya bisa sendiri."
"Kali ini jangan menolak Pak. Saya akan makin merasa bersalah nanti."
Dirga menghela napas pelan. "Baiklah."
Mendapat persetujuan dari Dirga membuat Agnia segera mengobati lebam dan luka yang ada di sudut bibir Dirga. Pria itu sedikit meringis, menahan perih.
"Maaf Pak. Tahan ya." Dengan telaten Agnia mengobati Dirga hingga selesai.
"Kalau tidak keberatan, saya ingin bertanya sesuatu."
"Silakan Pak Dirga ingin bertanya. Bertanya mengenai apa ya?"
"Mantan suami Anda. Dia sepertinya sangat marah dan membenci Anda. Apa yang terjadi di antara kalian?" Dirga tahu kalau tak sopan mencampuri urusan orang lain. Namun, bibirnya tak tahan untuk tidak melontarkan pertanyaan tersebut.
"Ohh, orang itu ya." Agnia menatap lurus ke depan. Membayangkan masa-masa hidupnya sebelum peristiwa naas itu terjadi. "Sebelum kami berpisah, saya sempat keguguran. Mas ivan ... maksudku Ivan, dia menyalahkan saya. Menganggap teledor hingga menyebabkan calon anak kami tiada. Kami bertengkar hebat dan dia pergi dalam keadaan marah. Sisanya Anda tahu sendiri." Kini Agnia bahkan tak sudi untuk memanggil dengan embel-embel 'mas'.
"Maaf karena telah menanyakan hal yang sensitif dan menyesakkan."
"Tidak apa-apa. Pak Dirga tidak perlu minta maaf. Lagi pula, itu sudah berlalu. Meski masih membekas dan akan selalu, saya harus bangkit. Saya tidak ingin terpuruk sementara Ivan bersenang-senang atas penderitaan saya."
"Dilihat dari gerak-geriknya Ivan itu mudah sekali terpancing emosi dan tak memandang dengan siapa dia bicara."
"Ya. Ivan memang jenis pria tempramental. Untungnya saat kami menikah dia tak mengasari saya. Hanya saja, Ivan jarang memberi nafkah hingga saya turun tangan untuk bekerja." Agnia bukan bermaksud mengumbar kejelekan Ivan, hanya saja saat ini dirinya butuh seseorang untuk menjadi teman ceritanya. Mungkin dengan itu, rasa pedih dan sakit hati di hatinya bisa sedikit berkurang. "Ternyata dia hanya memanfaatkan saya. Selama ini Ivan hanya berpura-pura mencintai saya. Yah, bisa dikatakan pria itu sangat manipulatif." Agnia segera menghapus air matanya. Dia hanya ingin dihargai dan dicintai secara layak. Namun, realita berkata lain. Agnia hanya dipermainkan. Tidak adil memang.
Dirga mendengar dengan saksama setiap perkataan Agnia. Dari gestur tubuh, perkataan, serta raut wajah, jelas tergambar bagaimana rapuhnya Agnia.
Ia tak bisa membayangkan bagaimana ada orang yang bisa sejahat itu memainkan perasaan. Apa Ivan memang tak punya hati?
"Saya turut prihatin mendengarnya." Kini tatapannya tidak lagi menatap Agnia, ia menatap lurus ke depan. "Bagaimana jika saya membantu Anda untuk membalas dendam?"