Chereads / Air Mata Agnia / Chapter 12 - Bab 12

Chapter 12 - Bab 12

Sejak pertemuan pertama mereka setelah tiga tahun, keduanya kerap kali berbalas pesan. Terutama jika perusahaan Dirga membutuhkan jasa dibidang kuliner.

Drrt drrt .

Ponsel Agnia bergetar. Ia yang sedang memeriksa laporan terhenti dan langsung mengangkat. "Halo."

"Apa kabarmu Nak Agnia?"

Agnia melihat layar ponsel, baru menyadari jika yang menelepon ialah Ratna. "Bu, Ratna, kabar saya baik. Bagaimana dengan Ibu?"

Sebelum sempat menjawab, terdengar suara batuk dari seberang telepon. "Ibu ... baik-baik saja."

"Jangan bohong Bu. Jelas-jelas tadi saya dengar suara batuk. Bu Ratna sedang sakit ya? Sakit apa?" Cukup lama mereka tidak berkirim kabar. Mendengar suara batuk membuat Agnia khawatir. Bagaimana pun juga Ratna merupakan orang yang penting dalam hidupnya.

"Saya nggak bohong kok. Cuma batuk biasa. Jangan cemas begitu."

"Syukurlah kalau hanya batuk biasa."

"Sebenarnya ada hal yang ingin saya katakan padamu Nak."

"Katakan saja."

"Apa kamu tidak berniat untuk pulang menemui kedua orang tuamu? Mereka sangat merindukanmu Agnia. Sejak mereka tahu kamu dan ivan berpisah ... kedua orang tuamu ingin tahu bagaimana kondisi putri mereka."

Ya, semenjak Agna pindah ke kota, ia belum pernah berkunjung ke kediaman orang tuanya. Ia hanya mengabari kalau dirinya dan Ivan telah resmi berpisah serta mengirimkan uang bulanan.

"Bu Ratna tahu sendiri kan bagaimana situasinya? Saya nggak mau mereka bersedih."

"Tidak akan. Mereka kan tahu kalau kamu sudah jadi orang sukses, pasti juga ikut bahagia."

"Nasib karirku berbanding terbalik dengn kisah cintaku Bu. Bagaimana pun aku sekarang, pasti mereka akan sedih."

"Lalu sampai kapan kamu akan menghindar?"

Tok tok tok

"Maaf Bu Ratna, saya tutup teleponnya ya. Ada yang mengetuk pintu. Sepertinya penting. "Agnia mematikan sambungan telepon. "Ya, masuk." Seorang pegawai pria masuk. Ia tampak pucat sehingga Agnia bertanya, "Ada apa? Kamu sakit?"

"Saya sehati Bu," jawabnya sembari menggeleng.

"Lalu, kenapa terlihat pucat begitu?"

"Ada pelanggan yang komplain mengenai masakan kita yang telat datang."

"Apa pelanggan itu masih berada di restoran?"

"Masih Bu. Justru Beliau ingin bertemu pengelola restoran ini."

"Baiklah, antarkan aku di mana pelangan itu berada."

"Baik, Bu. Mari."

Agnia mengikuti pegawai pria tadi. Ternyata pelanggan yang komplain berada di ruangan vip. Agnia memerintahkan pria tadi untuk pergi dan kembali bekerja.

Agnia masuk ke dalam sambil berkata, "Maaf atas ketidak nyamanannya. Kami minta maaf untuk itu Pak, Bu."

Ada dua orang di depannya. Satu wanita dan satu lagi pria. Sang wanita hanya menatap dengan wajah malas.

"Lain kali jangan telat begini. Kami sampai kelaparan menunggu makanannya datang."

"Sekali lagi saya minta maaf atas ketidak nyamanannya."

Pria yang memunggunginya sekarang berdiri dan membalikkan badan. Agnia terkejut melihat Ivan berada di sini. Sedangkan pria tersebut tersenyum mengejek. Firasatnya tidak enak untuk ini.

"Saya tidak menyangka jika Anda lah pemilik restoran yang kami datangi sekarang ini." Bukan hanya Agnia yang berbicara formal, melainkan Ivan juga.

"Maaf atas kesalahan karyawan saya." Agnia harus bersikap biasa dan profesional. Ia tak ingin ribut seperti terakhir kali. Akan buruk baginya dan restoran.

Sang wanita yang sedari duduk memerhatikan kini berdiri di samping Ivan. "Siapa dia Honey? Apa kamu mengenalnya?"

Agnia ingat betul jika dulu Ivan menikah dengan Rosa, tapi wanita yang ada di hadapannya siapa? Tidak mungkin kan Rosa operasi plastik? Oh, atau, wanita itu merupakan gandengan baru? Tidak heran kalau memang Ivan. Ivan memang tipe yang tidak akan puas hanya dengan satu orang saja.

"Kenal dekat sih nggak ya Honey. Cuma dulu aku pernah lihat dia. Wanita di depan kita dulu miskin, nggak punya keterampilan apa-apa. Makanya aku kaget melihat dia ada di sini dan menjadi pengelolanya. Pantas saja pelayanannya buruk. Pemiliknya saja nggak jelas skillnya apa."

Seperti yang sudah-sudah, Ivan akan terus menerus mengejek jika ada kesempatan. Agnia harus banyak bersabar.

"Ohh gitu ya." Si wanita melihat penampilan Agnia dari atas hingga bawah. "Lain kali tingkatkan lagi kinerja pegawai Anda. Kalau tidak, bisa-bisa bangkrut restoran mahal Anda."

"Iya, saya mengerti. Oleh karena itu saya minta maaf. Kami akan memberikan potongan harga karena keterlambatan kami. Bagaimana?"

Ivan mengibas-ngibaskan tangannya ke udara. "Ah, tidak perlu. Kami tidak butuh yang namanya diskon-diskonan, memang kami ini rakyat jeata apa yang kalau diberi diskon langsung kegirangan? Kalau begitu, Anda salah mengira."

Tangan Ivan ditarik pelan Tiara. Wanita itu berbisik. "Sebaiknya kita terima saja tawarannya."

"Kamu gila ya Ra? Nanti dia makin besar kepala."

"Aku sangat ingin makan di sini. Kata orang-orang makanannya sangat lezat dan memang benar kan saat kita cicipi memang lezat. Kata papa, kita nggak boleh buang-buang makanan."

Ivan terdiam sejenak. "Baiklah. Apa pun untuk wanita nomor satuku ini." Ivan menyolek dagu Tiara hingga wajah wanita tersebut memerah menahan malu. Ivan menatap datar Agnia. "Saya akna tetap di sini. Kami tidak sekejam yang Anda kira."

"Jadi, semua masalah sudah selesai, kalau begitu, saya permisi."

"Ya, ya, ya pergilah. Muak lihat wajah Anda yang kampungan."

Meski dihina, AGnia tetap tersenyum simpul. Ia segera pergi dari ruangan itu. "Kurang ajar si Ivan. Seenaknya menghina orang sesuka hati. Sifatnya nggak pernah berubah." Agnia mengembuskan napas lelah.

*****

Agnia masih memikirkan kejadian sore tadi. Tentang bagaimana Ivan menghina dan datang dengan wanita berbeda.

"Jika Rosa dan Ivan pisah, itu artinya wanita malang itu yang akan menjadi target berikutnya? Malang sekali wanita itu." Agnia melihat daftar pengunjung vip, diketahui nama wanita itu ialah Tiara. "Ivan memakai jas. Itu artunya Tiara jauh lebih kaya dari pada Rosa."

Agnia mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Sebenarnya tidak enak meminta bantuan, tapi mau bagaiman lagi? Ia memang butuh.

"Halo, Dirga."

"Ya, ada apa Agnia, semua baik-baik saja?"

"Ya, hanya saja aku butuh bantuan darimu."

"Bantuan? Bantuan apa?"

"Tadi Ivan datang ke restoran."

"Apa? Dirga cukup terkejut rupanya. "Kenapa dia datang ke sana? Apa pria itu membuat ulah lagi?"

"Hanya komplain tentang pelayanan yang terlambat. Setelah tahu kalau aku pemiliknya, dia ... ya kamu tahu sendiri lah bagaimana sikapnya padaku."

"Setelah tiga tahun lebih, pria itu masih saja bersikap kasar."

"Ya, begitulah sikap Ivan. Oiya, aku hanya ingin kamu cari tahu tentang kehidupan percintaan ivan. Maksudku, dia sudah menikah, tapi malah membawa wanita lain. Aku hanya ingin tau bagaimana nasib wanita sebelunya.'

"Kamu ada fotonya."

"Tunggu sebentar." Agnia membuka galerinya dan berhasil menemukan apa yang dicari. "Untung aku sempat menyimpan foto Ivan dengan Rosa. Bagaimana, apa kamu bisa mencari tahu?"

"Tentu. Aku punya detektif handal yang bisa mencari tahu.

"Terima kasih banyak atas bantuanmu Dirga. Maaf membuat repot."

"Hei, jangan merasa sungkan begitu, aku kan sudah berjanji akan membantumu membalaskan dendam. Lagi pula kita ini kan resmi teman. Sesama teman harus saling membantu."

"Hm."

"Setelah aku mendapat kabar, akan kuhubungi."