Dalam beberapa jam semenjak insiden di restoran, beberapa media telah memberitakanya. Bukan hanya itu, mereka juga menampilkan video Ivan saat marah-marah dan menunjukkan cicak pada pengunjung lain.
Agnia memijit keningnya yang terasa berdenyut. Sudah ia duga hal ini akan terjadi. "Kenapa semuanya menjadi semakin rumit begini?"
Banyak wartawan yang berdatangan baik ke restoran maupun ke apartemen Agnia. Untung saja Agnia sudah pergi dari apartemennya sebelum berita tersebut meledak. Sayangnya, ia tak bisa kembali ke tempat tinggalnya untuk sementara waktu.
"Ini kopimu." Dirga menyodorkan kopi yang baru saja dibuatnya.
Agnia mendongak dan menerima. "Terima kasih."
"Sama-sama." Pria tersebut duduk di sebelah Agnia. Tatapannya mengarah ke tv yang baru saja memberitakan insiden tersebut. Dengan cepat Dirga mengambil remot dan mmeatikan benda elekktronik itu. "Jangan ditonton terus."
Agnia menyeruput kopinya lalu menghela napas berat. "Aku harus bagaimana Dirga? Tidak mungkin aku kembali ke apartemen atau membuka restoran untuk saat ini."
"Kamu yakin ini ulah Ivan?"
"Memangnya aku punya musuh selain pria kurang ajar itu? Kalau karyawanku yang melakukannya ... motifnya apa? Kami semua baik-baik saja."
Mengangguk-anggukan kepala. "Kamu benar. KIta harus mencari tahu bagaimana Ivan melakukannya. Apa jangan-jangan dia masukkan hewan itu saat supnya sudah sampai?"
"Bisa jadi."
"Bagaimana dengan rekaman cctv?"
"Aku sudah memeriksanya sebelum kembali ke apartemen. Tidak terlihat kalau Ivan memasukkan cicaknya ke dalam sup. Mungkin memang benar kalau karyawanku kali ini lah yang teledor."
"Bisa jadi, tapi dari sekian banyak pengunjung, hewan itu harus jatuh ke makanan Ivan. Ivan kan membencimu. Tetap aneh saja di mataku."
"Hm. Aku harap beritanya segera reda."
"Aku yakin akan segera mereda dalam beberapa hari. Ada hewan asing di makanan kan bukn kaus pertama terjadi di sebuah tempat makan."
"Aku harap juga segera mereda." Agnia menaruh kembali minumannya. DIsandarkan punggungnya di sofa. "Apa yang harus kulakukan saat restoran tutup?"
"Istirahat. Hitung-hitung sedang berlibur"
"Aku tidak bisa. Aku tidak terbiasa berdiam diri di rumah."
"Begitu ya." Beberapa menit terjadi keheningan sampai akhirnya Dirga berdiri kemudian berkata, "Ayo kita pergi."
Agnia mendongak melihat Dirga. "Ke mana?"
*****
Mobil yang dikendarai Dirga berhenti di depan sebuah sekolah dasar. Agnia mengernyitkan kening dan menatap pria di sampingnya dengan pandangan bertanya-tenya. "Sekolah? Untuk apa kita ke sini?"
"Menjemput Maira. Sudah waktunya keponakan cantiku itu pulang. Sebentar lagi dia datang."
Agnia mengangguk kecil. Ia sama seali tak merasa keberatan di ajak ke sekolah Maira. Malahan, ada rasa sennag di hati kala melihat anak-anak yang mulai keluar dari bangunan sekolah.
Tampak Maira tersenyum dan melambai ke arah mobi Dirga. "Wah, ada BIbi Agnia juga." Maira terlihat antusias saat melihat Agnia.
"Ayo masuk. Hari ini kita akan jalan-jalan bertiga."
"Yeayyy." Maira dengan bersemangat langsung masuk ke dalam mobil. "KIta mau ke mana Paman?"
"Nanti Maira juga tahu."
Bukan hanya Maira yang merasa penasaran, Agnia pun sama. Ia mencoba menahan untuk tidak bertanya. Mobil pun melaju meninggalkan lingkungan sekolah.
Di sepanjang perjalanan Maira menyanyikan beberapa lagu saat Dirga memutarkan lagu anak-anak. Agnia tersenyum saat melihat raut wajah bahagia anak kecil tersebut.
"Maira suka bernyanyi?" tanya Agnia.
"Iya, Bi. Saat sudah dewasa nanti Maira pengen jadi penyanyi terkenal."
"Belajar yang benar dulu," sahut Dirga. Entah kenapa Dirga terlihat berbeda kali ini di mata Agnia. Seolah pria itu tidak begitu suka dengan perkataan Maira.
"Mungkin hanya perasaanku saja," ujar Agnia dalam hati.
Mobil yang sedari tadi melaju akhirnya berhenti di sebuah taman yang baru saja selesai di bangun. "Ayo turun."
Ketiganya pun segera turun. Maira sangat antusias untuk melihat dan berkeliling taman baru tersebut. Beberapa waktu lalu ia pernah bilang jika ingin pergi ke taman ini kalau sudah jadi. "Paman masih ingat dengan perkataan Maira?"
Dirga mengangguk sambil tersenyum dan mencubit pelan pipi kanan Maira. "Iya dong. Paman selalu ingat apa yang Maira katakan."
Maira tersenyum lebar dan memeluk Dirga. "Terima kasih Paman. Maira sayang sekali dengan Paman Dirga."
Pria tersebut membalas pelukan sang keponakan. "Paman juga sangat menyayangi Maira."
"Paman, apa boleh Maira ke sana?" tunjuk Maira pada area di mana terdapat tempat bermain untuk anak-anak. Di sana juga ada beberapa anak yang sedang bermain dengan begitu riangnya.
"Boleh. Tapi jangan pergi tanpa seijin paman."
"Oke." Maira langsung berlari.
"Hati-hati. Jangan lari-lati nanti jatuh." Dirga menoleh pada Agnia yang menatapnya. "Kenapa?"
"Hah?" Agnia tersadar. Ia merasa malu saat tertangkap basah memperhatikan Dirga. "Tidak. Aku hanya senang melihat interaksi kalian. Kamu bagaikan orang tua bagi Maira."
Dirga menatap Maira yang sedanf bermain dengan anak-anak yang lain. "Aku berjanji untuk menjadi paman, ayah, dan ibu yang baik untuk Maira. Aku tahu meski Maira terlihat sangat senang, tapi anak itu diam-diam merindukan ibunya. Kadang saat Maira rewel, ia akan teruz memanggil nama ibunya. Ingin bertemu katanya."
"Aku yakin Maira anak yang kuat."
"Sama sepertimu. Aku ingin Maira kuat sepertimu, Agnia." Dirga kembali menatap Agnia begitu pun juga sebaliknya.
"Kenapa aku? Aku hanya berusaha menjalani hidupku. Itu saja."
"Tidak semua wanita bisa bangkit dan sukses sepertimu. Sebagian malah terpuruk dan mengalami gangguan mental. Aku pernah melihat beberapa kasus yang seperti itu."
"Itu juga semua berkat bantuanmu."
"Tidak juga. Kalau kamu tidak berusaha keras ya akan sia-sia saja bantuan yang kuberikan." Ia tersenyum kecil. "Ayo duduk. Kakiku mulai pegal berdiri sedari tadi."
*****
"Maira, ayo turun Sayang. Kita sudah sampai di rumah." Perkataan Dirga taj dijawab anak itu. Ia menoleg ke belakang dan mendapati keponakan cantiknya sudah tertidur. Dirga turun dari mobil hendak menggendong Maira.
"Maira belum turun?" tanya Agnia yang sudah keluar lebih dulu.
"Anak itu tertidur." Dirga membuka pintu mobil lalu menggendong Maira dengan hati-hati agar tidak terbangun. Sementara Agnia mengikuti keduanya dari belakang.
Dirga meletakkan Maira di tempat tidur dan menyelimutinya. Dira duduk di tepi ranjang sambil mengelus pelan rambut keponakannya. Bibirnya lantas mendarat di kening Maira.
"Mimpi indah keponakan paman yang cantik."
Agnia begitu tersentuh melihat sikap Dirga lada Maira. Andai Ivan bisa bersikap seperti itu, anaknya mungkin masih ada dan akaan bahagia.
Tunggu, kenapa Agnia malah membayanhkan Dirga menjadi anak dari anaknya? Agnia menggelengkan kepala dengan cepat.
"Kenapa aku ini?" tanyanya dalam hati.
"Kamu baik-baik saja Agnia?"
"Hah? Oh, iya, aku baik-baik saja. Memangnya kenapa?"
"Aku lihat kamu menggelengkan kepala cukup cepat."
"Ohh itu." Seketika otak Agnia memikirkan alibi yang masuk akal. "Kepala aku pusing." Memegangi bagian kepala sebelah kiri.
"Sebaiknya kamu istirahat."
"Iya. Kamu benar."
"Perlu kuantar?" Dirga menawarkan bantuan untuk berjaga-jaga jika Agnia pingsan atau tidak kuat untuk berjalan lebih jauh. "Kalau mau kamu bisa tidur dengan Maira."
"Tidak perlu. Aku akan beristirahat sekarang."