Untuk kedua kalinya Ivan menerima foto-foto serupa. Jumlahnya dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya.
Wajahnya memerah disertai otot-ptot leher yng terlihat, menahan gejolak amarah yang semakin tak terbendung.
"Sialan! Berani-beraninya ini orang mengancamku, dua kali lagi! Awas saja kalau aku tau siapa pengirimnya, akan kuhabisi dia di tempat!" Sebelum Tiara tau, Ivan segera ke kamar mandi, menyobek foto-foto tersebut menjadi serpihan kecil kemudian membuangnya ke closet.
"Sayang, kamu di mana?" Tiara memanggil.
"Aku sedang berada di toilet."
"Kamu tidak lupa kan kalau hari ini kita kencan?"
"Tentu tidak dong. Aku ingat kok. Tunggu di mobil, aku akan segera menyusulmu."
"Baiklah kalau begitu, tapi jangan lama-lama ya."
"Siap Sayang."
Ivan melihat ke cermin kamar mandi. Membasuh wajah agar sedikit fresh lalu segera menyusul Tiara. Jujur saja, ia ogah berkencan dengan Tiara hari ini. Mau bagaimana lagi? Kalau tidak dituruti nanti marah. Ivan akan kerepotan sendiri membujuknya.
Berkencan dengan satu wanita dalam waktu yang relatif cukup lama, membuat rasa jenuh di relung hatinya. Ia ingin berganti kekasih yang lebih jauh levelnya di atas Tiara, tapi belum saatnya.
"Sabar Van, belum waktunya." Berbicara untuk meyakinkan diri sendiri.
Meski hati merasa bosan, tapi pria itu tetap berakting seolah sangat mengagumi dan mencintai Tiara. Dalam diam, ia tertawa bisa berhasil lagi dan lagi dalam membodohi para wanita.
"Wanita memang bodoh! Sangat bodoh."
*****
"Van."
"Ah, ya, kenapa?"
"Dari tadi aku ngomong loh. Kok kamu kacangin? Ngelamun pakai senyum-senyum segala lagi." Wajah Tiara masam diabaikan sang kekasih tercinta.
"Maaf Ra, aku tadi melamun tentang masa depan kita. Aku sudah tidak sabar untuk menikamu dan membangun keluarga kecil nan bahagia bersama."
Hati Tiara seketika meleleh. "Aku juga tidak sabar menunggu waktu itu tiba."
Mereka berandengan tangan menuju salah-satu butik langgaan wanita tadi. Saat di dalam perjalanan, Ivan merasa ada yang mengikuti. Namun, tidak ada hal aneh yang ada di belakang mereka.
"Mungkin hanya perasaanku saja kali ya," ujarnya dalam hati. Sebelum masuk ke dalam butik Ivan berkata, "Sayang, cuaca hari ini panas ya."
"Iya. Makanya kita segera masuk ke dalam." Ia melihat tangannya. "Rasanya seperti di depan api unggun, panas."
"Bagaimana kalau aku membeliknmu es krim di sana," tunjuk Ivan pada kedai es krim di seberang jalan. "Hawanya panas. makan es krim sepertinya pilihan yang tepat. Perpaduan manis dan dingin."
Tiara diam, menimbang-nimbang ide Ivan. "Ide bagus, tapi ...."
"Tapi apa?"
"Kalau aku gendut bagaimana? Kamu tau kan bagaimana kerasnya usahaku dalam membentuk tubuh ideal."
Ivan mengangguk. "Hm, aku tau kok, tapi makan satu es krim tidak akan membuatmu gendut. Makannya juga jarang-jarang."
"Benar juga sih. Aku es krim rasa cokelat satu. Aku masuk dulu ya, panas ini."
"Iya, masuk gih."
Ivan bersorak dalam hati begitu melihat Tiara masuk k e butik. "Setidaknya aku terhindar dari wanita bodoh itu untuk sementara." Ivan mulai berjalan menuju keda es krim.
Namun, saat hendak membuka pintu ia terkejut denga suara familier yang menyapa pendengarannya.
"Ivan," panggil sang wanita.
Pria tersebut menoleh. "Rosa."
Keduanya sama-sama terkejut. Sudah lama tidak bertemu apa lagi bertegur sapa. Rosa merasa hari ini merupakan hari tersialnya, bertemu dengan Ivan.
"Apa yang kamu lakukan di sini Sa?"
"Kenapa? Apa pedulimu? Ternyata kamu tipe orang yang tak tau malu ya. Setelah semua tindak kejahatan yang kamu lakukan padaku, masih bisa bertanya seperti tadi?"
Suara Rosa yang cukup keras berhasil menarik perhatian beberapa orang. Ivan menarik Rosa agar menjauhi toko dan masuk ke dalam gang kecil.
"Siapa yang melakukan kejahatan di sini? Aku tidak pernah memaksa kamu untuk memindahkan bisnis dan harta atas namaku. Kamu sendiri yang melakukannya dengan suka rela."
"Karena aku pikir kamu adaah pria yang baik dan tepat untukku, tapi nyatanya ...." Rosa memandang jijik. "Kamu hanya seonggok parasit yang merugikan!"
Ivan hendak menampar Rosa, tapi segera diurungkannya. "Salah siapa kamu terlalu memujaku? Jika kita tidak bisa bersama, itu artinya karena takdir."
Rosa tersenyum getir. "Takdir? Kamu bilang takdir? Kamu yang sengaja memanfaatkanku."
"Siapa suruh jadi wanita boodohnya kok keterlaluan!"
PLAK
Tamparan keras mendarat di pipi kiri Ivan. Rosa menatap dengan kobaran api amarah di matanya. "Suatu saat kamu aan mendapt karma dan saat itu terjadi, tidak ada satu orang pun yang akan menolongmu. Ingat perkataanku baik-baik Van!" Rosa pun pergi.
"Beraninya dia menampar dan menghinakau. Awas saja nnati!" Pria itu juga segera pergi.
Tak jauh dari tempat Rosa dan Ivan berdebat, ada Agnia yang mengamati keduanya. Meski tak tau apa yang dibicarakan, apa pun itu pasti bukan lah sesuatu yang menyennagkan.
Ting
Ponsel Agnia berbunyi. Ada satu pesan masuk dari Rosa: maaf Agnia, aku merasa tidak enak badan. Lain waktu saja kita bertemu. Maaf ya.
Hari ini ia dan Rosa berencana untuk bertemu mengenai pekerjaan yang akan diberikan pada Rosa. Agnia yang menentukan kapan dan di mana mereka bertemu.
Sebuah kebetulan bertemu dengan Ivan bukan? Tapi sayangnya bukan kebetulan. Agnia memang sengaja ingin mempertemukan Rosa dan Ivan. Ia meminta seseorang untuk mengawasi gerak-gerik Ivan hari ini dan saat pria itu akan pergi, Agnia tinggal mengikutinya saja.
Awalnya Agnia ingin mempertemukan keduanya di tepat lain. Tak diduga Ivan justru mempermudah rencananya.
"Maaf Rosa, aku tidak bermaksud menyeretmu dalam aksiku, tapi kamu harus tau bagaimana hidup orang yang telah menghancurkanmu justru baik-baik saja dan jauh dari kata terpuruk."
*****
Butuh waktu tiga hari baru Rosa bisa bertemu dengan Agnia. Selama tiga hari itu ia terus memikirkan pertemuan 'tak sengajanya' dengan Ivan.
Jelas terekam di benaknya bagaimana kondisi Ivan yang sanat baik, melebihi ekspektasinya. Ia juga melihat aksesoris mahal yang dikenakan ivan. Darahnya mendiidh. Tak terima.
"Pria itu hidup dengan kemewahan. Sementara aku terperosok ke dalam lembah kemiskinan!" Tanpa sadar kedua tangan Rosa terkepal erat hingga membuat telapak tangan menjadi memerah.
"Maaf lama." Agnia datang kemudian duudk di depan Rosa. Saat ini mereka tengah berada di ruang kerja Agnia.
"Tidak kok. Hanya menunggu beberapa menit, bukan masalah bagiku."
"Mengenai pekerjaan, minggu depan aku akan membuka toko roti tidak jauh dari sini. Kebetulan aku masih kekurangan karyawan. Apa kamu mau bekerja di sana?"
"Ya, kenapa tidak? Aku sedang membutuhkan pekerjaan."
"Kalau begitu kamu bisa datang ke toko besok. Manager di sana akan menjelaskan apa-apa yang harus kamu lakukan."
"Baik Ag---maksudku, Bu Agnia."
"Panggil saaj Agnia."
"Tapi aku merasa tidak enak kalau memanggil dengan nama langsung. Kamu kan sekarang atasan aku."
Agnia berpikir sejenak. "Begini saja, kamu panggil aku Bu Agnia saat kerja. Di luar itu, panggil Agnia saja."
"Iya."