Chereads / Air Mata Agnia / Chapter 21 - Bab 21

Chapter 21 - Bab 21

Ivan merasa sangat kesal hari ini. Bagaimana tidak? Orang suruhannya belum berhasil mengidentifikasi siapa dalang di balik pengirim paket tempo lalu.

Emosi membuat hawa di sekitar menjadi panas. Ia menepikan mobil miliknya di jalanan yang lumayan sepi. Pria tersebut keluar dan menelopon suruhannya kembali.

"Jangan bilang kalau belum bisa menemukan siapa pengirimnya."

"Maafkan saya Pak Ivan. Saya belum menemukan orangnya. Semua akses ditutp seolah-olah ada orang besar yang berada di balik ini semua."

Sejenak ivan berpikir siapa orang besar yang dimaksud itu? Apa itu adalah saingan bisnisnya atau Tiara?

"Aku tidak ingin tahu bagaimaa pun cari tau pelakunya atau sisa upahmu tidak akan aku bayarkan."

"Saya akan berusaha lebih keras lagi pak ivan. Mohon sabar menunggu."

"Sabar, sabar, enak saja kalau ngomong!" Ivan menutup teleponnya dengan perasaan yang sama kesalnya.

"IVAN!" Tak lama kemudian ia mendengar suara seorang wanita yang memanggilnya dengan nada keras serta lantang.

Baru saja ia menoleh tiba-tiba tamparan keras langsung mendarat sempurna di pipinya.

Terkejut da segera melihat siapa pelaku yang bearni-beraninya menampar seorang Ivan, calon pengusaha terkenal dunia---menurut pria itu tentunya. Terkejut kembali dengan wanita di depannya, pelaku penamparan barusan.

"Bu, Ratna." Terkejut. Ia bahkan lupa dengan kalimat kasar yang hendak diucakan. "Ibu, ada di sini?"

"Ya, memangnya kenapa? Kamu pikir hanya kamu saa yang bisa datang dan tinggal di kota besar ini?" Terlihat sekali kalau Ratna sangat menggebu-gebu dalam berbicara. "Kurang ajar ya kamu, seenaknya berperilaku kasar pada Agnia dan anak kalian. Memangnya kamu tidak kasihan apa? Oiya, kamu kan memang tidak punya hati."

Mulai mendidih. "Jaga omongan Ibu ya. Hanya karena Bu Ratna jauh lebih tua dari saya, bukan berati bisa seenaknya mencemooh orang!"

"Apa tidak kebalik ya Van? Jangan berusaha menjadi korban! Sudah jelas-jelas kamu penyebab semua penderitaan Agnia! Masih ngeles sana sini! Malu Van sama umur!"

"Bu Ratna. Sudah lah Bu. Sebaiknya kita pergi dari sini." Menatap Ivan sekilas, tak sudi berlama-lama menatap wajah menipulator di depannya. "Tidak ada gunanya berbicara pada pria ini." Membujuk Ratna.

"Oh, jadi kamu ngadu ke Bu Ratna tentang apa yang terjadi di antara kita dulu? Pantas saja banyak bumbu yang seharusnya tidak ditambahkan. Dasar mendramatisir!"

"Bu Ratna, sebaiknya kita pergi dari sini. Ayo." Agnia mengabaikan perkataan Ivan dan memegang lengan Ratna yang hendak dibawa pergi.

Ratna pun merasa muak nan jijik melihat Ivan terlalu lama. Ia setuju dengan usulan Agnia. Sebaiknya mereka pergi dari sini.

Sebelum terwujud, Ivan lebih duu memegang tangan Agnia hingga membuat wanita tadi berbalik dan mau tak mau menatapnya.

"Beraninya kamu mengabaikanku ya Agnia! Kamu pikir kamu siapa?" Cengkeraman di tangan Agnia menguat, mata Ivan juga melotot seperti hendak menyantap Agnia hidup-hidup.

"Lepas Van!"

"Kemarin sok-sok an manggil dengan saya-anda, sekarang memanggil namaku dengan menyebut nama langsung? Wah, dasar wanita rendahan!"

"Ivan! Apa-apaan kamu ini hah? Lepaskan tangan Agnia sekarang juga atau kami akan meneriakimu sebagai penjahat yang hendak menculik Agnia!" ancam Ratna.

Setelah mendengar ancaman tersebut, Ivan menoleh ke sekeliling. Ada beberapa pengendara---baik yang naik mobil atau motr---yang melintas, ada juga pejalan kaki. Sebagaian di antara mereka melihat pertengkaran yang terjadi.

Akhirnya mau tak mua Ivan melepaskan cengkeramannya. Menatap nyalang pada Agnia dan Ratna. "Awas ya kalian berua! Tunggu saja balasan dariku!" Ivan terlihat sangat serius dan niat mengatakannya. Pria itu kemudian pergi.

Agnia melihat kesungguhan yang nyata di kedua netra Ivan. Jujur saja, ada perasaan cemas dan takut yang hinggap. Bagaimana pun juga Ivan adalah pria kurang ajar yang nekat dan sangat manipulatif.

"Sudah Agnia, jangan didengar lagi perkataan Ivan. Ibu yakin tadi hanya gertakan saja. Sebaiknya kita pergi atau orang-orang akan menonton kita lebih lama lagi."

*****

Persiapan ulang tahun Maira sudah selesai tepat waktu. Hampir saja Agnia lupa karena keberadaan Ratna, untung ia pandai memberi alasan hingga Ratna mau menemuinya di lain waktu.

"Apa sudah selesai?" tanya Dirga yang baru saja membersihkan diri selepas dari kantor.

"Semua persiapan sudah selesai. Tinggal menunggu Maira datang."

"Bagus." Dirga melihat ke sekeliling. "Ngomong-ngomong, di mana semua orang? Maksudku orang-orang yang akan hadir di pesta Maira."

"Mereka sudah ada di sini dari tadi."

Lagi-lagi Dirga menoleh ke sekitar. "Mana?"

"Itu, apa kamu tidak melihat orang-orang yang sibuk bekerja sedari tadi?"

Dirga mengernyitkan kening. "Maksudkmu para pekerja? Mereka yang kamu maksud kan?"

Agnia mengangguk. "Iya. Memangnya siapa lagi harusnya?"

"Ohh. Aku tidak pernah mengundang secara langsung para pekerja untuk ikut hadir dalam ulang tahun Maira."

"Itu bagus. Pengalaman baru yang berbeda berarti kan?"

"Ya. Tapi apa Maira akan suka? Kita dan mereka semua adalah orang dewasa."

"Tidak masalah. Aku melakukan ide ini agar Maira bisa lebih menghargai para pekerja di rumah ini. Mereka selalu bekerja dan melakukan tugas dengan baik. Aku tau kalau mereka digaji dan sudah sepantasnya bekerja dengan baik, tapi tidak ada salahnya kan melakukan semua ini?"

"Tidak, sama sekali tidak ada salahnya." Dirga menatap Agnia yang sibuk melihat-lihat dekorasi.

"Sebaiknya kita jemput Maira sekarang."

"Ayo."

Untuk memberi kejutan, Maira berada di rumah temannya guna bermain sekaligus mengerjakan tugas kelompok.

*****

Dari pagi mood Maira tak baik, ia merasa sedih saat Dirga tak mengucapkan selamat ulang tahu. "Mungkin paman saking sibuknya jadi lupa." Begitu lah kira-kira apa yang ada di hati Miara.

"Maira, ayo masuk sayang," panggil Dirga.

"Iya Paman." Maira melangkah dengan tidak begitu semangat. Suasana di rumah begitu gelap dan sunyi. "Paman, apa listriknya sedang mati lampu?" Tidak ada sahutan. "Paman, Paman Dirga di mana? Maira takut kegelapan." Mulai resah serta khawatir.

Sedetik kemudian rasa khawatir berubah menjadi bahagia saat lampu dinyalakan dan ia melihat dekorasi pesta ulang tahunnya. "Selamat ulang tahun Maira," ujar mereka semua.

Maira berjalan menghampiir Dirga. "Paman tidak lupa dengan ulang tahun Maira?"

Dirga berjongkok untuk mensejajarkan tingginya. Ia menarik pelan pipi keponakannya. "Tentu tidak dong keponakan Paman yang cantik. Mana mungkin lupa."

Maira mengalihkan tatapannya pada Agnia. "Bibi Agnia."

"Bagaimana? Maira suka kejutan dari kami?"

Dengan semnagat Agnia mengangguk. "Sangat senang, Bi"

Salah-satu pekerja di rumah Dirga maju untuk lebih dekat dengan Maira. "Selamat ulang tahun Non Maira."

"Terima kasih Bibi."

"Maira Sayang, yang menjadi tamu kali ini adalah para pekerja di rumah. Maira tidak keberatan kan?"

"Tidak Paman. Maira suka kok. Kata guru Maira, kita tidak boleh membeda-bedakan orang walaupun hanya pekerja."

Dirga tersenyum senang. "Wah, sekarang keponakan Paman semakin bijak dan pintar saja." Ia senang dengan respon Maira. Ia berharap Salsa ada di sini untuk melihat seberapa bijaknya Maira.

"Kalau begitu, ayo kita mulai pestanya," ujar Agnia.