Agnia menatap ponsel yang tergeletak di atas meja. Jari-jarinya ingin sekali menekan nomor Dirga dan bertanya mengenai bantuannya tiga hari yang lalu.
"Hubungi tidak ya? Bagaimana kalau Dirga ternyata sibuk? Aku merasa tidak enak kalau menganggunya terus. Selama ini aku sudah cukup merepotkan pria itu." Berselang beberapa menit kemudian ponselnya bergetar. Agnia tersenyum melihat sang penelepon. "Halo, Dirga."
"Oh, hai. Maaf ya baru menghubungimu sekarang."
"Tidak masalah kok. Seharusnya aku yang merasa tak enak karena telah menganggu waktu berhargamu."
"Ah, jangan bilang begitu. Ingat yang kukatakan waktu itu? Aku lelah jika harus mengulanginya terus."
Agnia terkekeh pelan. "Baiklah. Jadi, bagaimana hasilnya?"
"Ya, detektifku sudah mencari tahu tentang keberadaan Rosa. Kamu akan terkejut jika mendengarnya." Dirga saat ini sedang membaca informasi tentang Rosa.
Agnia mengerutkan kening. "Terkejut bagaimana?"
*****
Taksi yang ditumpangi Agnia telah sampai di lokasi yang dikirimkan oleh Dirga. Agnia terpaksa harus jalan kaki dikarenakan gangnya terlalu sempit.
Wanita tersebut melihat ke sekeliling. Begitu banyak rumah yang berdempetan dan anak-anak yang sedang bermain di pinggir jalan sampai-sampai hampir saja Agnia terkena bola jika ia lengah tadi.
"Tidak bisa dipercaya Rosa sekarang tinggal di sini. Apa jangan-jangan Ivan yang membuat Rosa seperti ini?" Agnia tidak begitu kaget bila asumsinya ternyata benar.
Kini, sampaila Agnia di depan kontrakan kecil dan sederhana milik Rosa. Diketuknya pintu tadi. Beberapa kali mengetuk. Namun, belum ada jawaban dari dalam.
"Apa Rosa tidak di rumah ya?"
"Cari siapa Nak?" Seorang wanita berusia lanjut bertanya.
Agnia menoleh ke sumber suara. "Cari Rosa, Nek. Ini benar kan rumahnya Rosa?" Agnia yakin jika rumah tersebut milik Rosa. Mana mungkin Dirga salah memberinya informasi.
"Oh Nak Rosa. Kalau jam segini dia belum pulang."
"Belum pulang? Memangnya Rosa bekerja apa ya Nek?"
"Jual makanan di SD. Setelah selesai Rosa akan lanjut memulung. Kerjaan sampingan wanita itu menjadi pemulung," jelas si nenek.
Agnia menganggukkan kepala. Seingatnya di email yang dikirimkan Dirga, Rosa hanya berjualan di kantin sekolah. "Begitu ya. Terima kasih atas informasinya Nek."
"Sama-sama. Oiya, sebaiknya kamu kembali sebelum hari gelap karena di daerah sini rawan kejahatan terutama begal." Wanita tua tersebut pun pergi.
Agnia memandang rumah kontrakan tadi. "Sepertinya aku harus kembali besok."
"Maaf, cari siapa?"
Agnia terkejut mendengar pertanyaan yang terlontar begitu saja tepat saat dirinya berbalik ingin pergi. "Rosa," ujarnya spontan begitu melihat orang yang ingin ditemui.
"Maaf, siapa ya?"
"Aku Agnia. Kamu pasti lupa denganku. Masih ingat saat aku berbicara dengan Ivan dan kamu datang setelahnya?"
Mendengar nama Ivan, ekspresi Rosa langsung berubah datar dan dingin. "Aku tidak kenal yang namanya Ivan. Permisi."
Agnia mencekal lengan Rosa. "Tunggu. Ivan yang membuatmu seperti ini kan?" Tubuh Rosa menegang. "Aku tahu pasti Ivan telah menipumu."
Rosa menatap datar Agnia. Netranya melihat sekeliling. "Sebaiknya kita bicara di dalam saja. Tidak enak dilihat tetangga kalau ada tamu yang berbincang dengan tuan rumah di luar." Rosa berjalan diikuti Agnia di belakangnya. "Mau minum apa? Teh atau air putih?"
"Tidak perlu. Aku hanya ingin mengobrol sebentar."
"Kalau begitu duduk lah."
Rosa meletakkan karung di depan rumah sementara Agnia melihat-lihat kediaman Rosa. "Apa Rosa nyaman tinggal di tempat seperti ini? Secara kan dulunya orang berkecukupan?" batin Agnia.
Rosa telah kembali dan kini duduk di hadapan Agnia. "Ingin bicara apa?"
"Bagaimana kalau aku membantu mendapatkan hakmu kembali. Kita sama-sama melawan Ivan."
"Kenapa kamu begitu baik bagiku? Jangan-jangan kamu komplotannya lagi." Jelas Rosa meragukan kedatangan Agnia. Memang siapa yang akan percaya pada orang asing yang tiba-tiba saja menawarkan bantuan?
"Aku bukan penipu. Aku juga korban dari kejahatan Ivan. Mungkin kamu tdak ingat tentang pertemuan kita, tapi aku tahu kamu dulu menjalin hubungan spesial dengan Ivan."
"Jangan sebut pria kurang ajar itu! Aku sama sekali tidak sudi menyebut namanya!" Ia mengepalkan kedua tangan yang ada di atas paha. "Bagiku, dia adalah kesalahan dan kebodohan tersebesarku! Harusnya aku tidak terbuai dengan bujuk rayunya."
"Aku tahu apa yang kamu rasakan. Aku mengerti bagaimana rasanya ditipu dan dibodohi. Lalu, apa kamu mau menerima bantuanku? Kita harus sama-sama membuat pelajaran untuk Ivan."
"Kamu tidak lihat bagaimana keadaanku sekarang? Aku lemah dan tak berdaya."
"Makanya aku menawarkan bantuan Rosa."
"Percuma!" Rosa menatap serius. "Aku dengan suka rela menyerahkan semua bisnisku pada pria itu. Aku kira dia akan membantuku mengembangkan bisnis, taunya malah kena tipu!"
"Tapi ...."
"Sudah lah sebaiknya kamu pergi dari sini."
"Dengar dulu."
"Aku tidak ingin mendengar apa pun. Tolong biarkan aku hidup tenang. Aku tidak ingin berurusan lagi dengan pria itu."
Agnia kecewa dengan penolakan Rosa. Ia kira Rosa akan berapi api menerima tawarannya, secara wanita itu menjadi korban kejahatan Ivan.
Agnia memegang tubuh Rosa saat wanita tadi hampir jatuh. "Kamu tidak apa-apa? Wajahamu pucat."
"Aku baik-baik saja. Hanya kelelahan." Tak berselang lama Rosa pingsan
Agnia terkejut dan panik. Ia menepuk-nepuk pipi Rosa. "Rosa, bangun. Rosa."
*****
Agnia segera duduk di samping Rosa saat melihat wanita itu bangun. "Hati-hati. Jangan bangun dulu. Kamu masih sangat lemah."
Rosa memegangi kepala dan mulai melihat ke sekitar. "ini di mana? Yang jelas bukan di rumahku."
"Memang bukan. Kita sedang berada di rumah sakit."
"Rumah sakit? Untuk apa membawaku ke sini? Aku mau pulang saja."
"Jangan. Dokter bilang kondisimu lemah dan butuh pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan apa yang terjadi."
Senyum getir terbit di bibir. "Untuk apa?" Menoleh pada lawan bicara. "Aku sudah tahu tentang kondisiku yang terkena leukimia. Tidak usah ada tes tes segala."
Agnia terkejut. Tak tahu harus berkata apa. "Leukimia?'
"Iya. Makanya tawaranmu kutolak tadi. Selain aku miskin, umurku juga tidak akan lama lagi."
"Kita bisa mengobatinya."
"Memangnya pengobatan kanker murah? Aku tidak memiliki apa-apa lagi. Lagipula pasti aku akan meninggal. Jadi, buang-buang uang saja."
"Kita bisa mencari donasi. Aku juga akan membantu." Perkataan barusan keluar begitu saja dari mulut Agnia.
Ia merasa prihatin dengan kondisi Rosa. Jelas terlihat kalau wanita tersebut sudah pasrah akan nasibnya.
"Meskipun kamu memang benar orang baik, aku tetap tidak akan menerima. Jangan memberi harapan kalau akhirnya harapan itu hilang." Rosa menghapus air matanya. "Aku mau pulang. Minggir."
"Kondisimu masih lemah."
"Aku bisa berstirahat di rumah."
"Baiklah kalau tetap keras kepala. Tunggu di sini, aku akan memanggil dokter untuk memeriksamu lagi."
"Terserah."
*****
Mulai bab tiga belas dan seterunya penggunaan kata 'nggak' diganti dengan 'tidak' baik itu untuk agak formal atau informal.