"Karena Salsa, adikku yang malang." Dirga menutup mata sejenak. Butuh keberanian untuk menceritakannya. "Adikku menjadi alasannya. Kamu mengingatkanku pada Salsa." Dirga tersenyum getir.
Flashback
Dirga berencana ingin ke rumah adiknya, Salsa. Sebelum ke sana, ia sempat membeli martabak telur kesukaan sang adik. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai ke tujuan.
Senyuman pria tadi berubah penuh amarah tatkala ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sang adik dibentak dan dipukul beberapa kali oleh suami sang adik.
Segera Dirga menghampiri mereka dan menghajar dengan keras ke arah suami Salsa. "Pria kurang ajar! Berani-beraninya kamu memukul dan membentak adikku!"
Bima menyeka setitik darah yang ada di sudut bibirnya. Memandang nyalang ke arah kaka ipar. "Sebaiknya kakak ipar jangan ikut campur masalahku dengan Salsa!"
Dirga langsung mencengkeram kerah baju Bima. "Apa kamu bilang tadi? Jangan mencampuri? Dasar pria bejat!" Lagi lagi Dirga memukul Bima.
Bukan satu kali, tapi berkali-kali. Bima yang tidak siap dengan serangan Dirga pun hanya bisa meneima pukulan demi pukulan yang dilayangkan padanya.
"Kak Dirga, sudah. Hentikan. Jangan pukuli Bima." Salsa mencoba menghentikan dengan memegang lengan Dirga. Pria tadi berhenti lalu melepaskan BIma.
Ia berkata. "Pergi dari hadapanku atau keadaanmu akan lebih mengenaskan dari ini!"
Bima merapihkan bajunya dan memadang dengan penuh permusuhan. Ia sejenak melihat kae arah Salsa yag hanya berani menunduk. Ia pergi dengan mengendarai motor dengan kecepatan di atas rata-rata.
Dirga yang melihatnya pun berceletuk, "Semoga dia mengalami kecelakaan."
"Kak Dirga nggak boleh bicara seperti itu! Bagaima pun Bima adalah suamiku, adik ipar kakak."
Dirga membawa masuk Salsa dengan paksa. Ia melepaskan tangan adikknya. "Apa kamu sudah gila Salsa? Untuk apa mempertahankan pria gila itu? Yang ada malah derita dan rasa pedih yang kamu dapat."
"Tapi aku cinta sama Bima, Kak."
"Buka mata kamu!" Dirga menaikkan volume suaranya. "LIhat." Ia memegang lengan Salsa. "Di sekujur tubuh penuh dengan luka lebam dan beberapa luka gores dan cakar. "Sangat menyedihkan."
"Suatu saat Bima pasti akan berubah kok. Kakak tenang saja."
"Kamu pikir sedang berada di negeri dongeng? Dengerin kakak Salsa, Bima bukan pria yang tepat. Tinggalkan dia. Masih banyak pria di luar sana yang mau denganmu, sikapnya pun jauh lebih baik."
"Aku haya ingin Bima Kak." Salsa memberanikan diri mentap ke dalam manik mata Dirga yang penuh kekecewaan sekarang. "Tolong mengertilah."
Dirga mendengkus. Tak mengerti jalan pikiran adiknya. Sempat terbesit di pikiran apakah Salsa memiliki kelainan hingga tetap mau bersama meski disakiti berkali-kali.
"Baik. Terserah kamu, tapi ingat kata-kata kakak, suatu saat kamu akan menyesal." Dirga pergi dengan rsa kecewa. Sedangkan Salsa kini terduduk sambil mennagis.
****
Hari demi hari silih berganti. Tidak sekali pun Durga menemui Salsa semenjak pertengkaran mereka terakhir kali. Di siis lain, Salsa terus menerima perlakun kasar Bima.
Plak
Terdengar satu tamparan keras mendarat di pipi Salsa. "Aku kan sudah bilang, minta uang sama Kak Dirga. Ini malah jual mahal."
Slsa mmegangi pipinya yang terasa berdenyut nyeri. "Aku nggak enak kalau terus minta sama Kak Dirga."
"Alah alasan! Bilang saja kamu sudah nggak cinta lagi sama aku."
Dengan cepat wanita tersebut menggelengkan kepala. "Aku masih cinta sama kamu. Jangan tinggalin aku sendiri di sini, Bim."
"Kamu memang wanita tidak berguna." Bima mengambil dahan pohon yang agak besar lalu menghantamkannya ke tubuh ringkih Salsa. Wanita itu terjatuh sambil mengaduh kesakitan. "Itu akibatnya jika berani melawan perkataan suami!" Dengan raut angkuh Bima meninggalkan Salsa yang bercucuran air mata.
Perlakuan BIma tak sampai di situ saja, setiap hari akan ada pemukulan dan teriakan caci maki dari pria tersebut. Suatu malam Bima membawa seorang wanita ke dalam rumah. Dengan terang-terangan BIma berselingkuh di depan Salsa.
Bukan hanya sekali, tapi setiap malam bima akan mmebawa wanita berbeda ke dalam rumah. Salsa semakin merana. Ia tak berhenti menangis.
BIma telah pergi entah ke mana sementara dirinya di sini terperangkap oleh rasa sakit yang teru menggerogoti hati dan pikiran. Salsa menelepon Dirga. Namun, tak kunjung mendapat balasan.
Ia mengiirm pesan yang berbunyi: Aku sangat menyayangimu Kak Dirga.
Salsa mematikan ponsel dan menatap kolam renang di depannya dengan senyum simpul.
Beberapa jam kemudian Dirga baru membaca pesan Salsa. Perasaan tak enak langsung menghantam. Tidak biasanya sang adik berikirim pesan seperti ini.
"Jangan-jangan ..." Dirga datang ke rumah Salsa secepat mungkin. Saat sampai suasa tampak hening. "Sa, di mana kamu? Tidak ada sahutan. Ia menelusuri ke dalam kamar.
Namun sang adik tak ada. Berkekeliling rumah sampai akhirnya pemandangan tak terduga dilihatnya. Di sana, di kolam renang terbaring sang adik. Saat diperiksa nyawanya sudah tak bisa diselamatkan.
Flashback off.
"Salsa mendapatkan perlakuan kasar, baik fiisk maupun psikis. Pada akhirnya, adikku ... mengakhiir hidupnya sendiri."
Agnia terkejut dengan fakta kali ini. Ternyata nasib adik Dirga lebih malang. "Aku minta maaf telah membuatmu menceritakannya."
"Aku hanya nggak ingin kamu salah paham atas bantuanku. Kamu mengingatkanku pada Salsa. Hanya saja, kamu lebih berani dan sadar ketimbang adik malangku."
"Adikmu pasti bangga memiliki kakak sebaik dirimu."
Dirga tersenyu getir. "Sayangnya dia sudah tiada."
*****
"Sa, ini Kak Dirga. Maaf jarang datang ke sini. Akhir-akhir ini aku cukup sibuk. Oiya kenalkan ini Agnia, dia ... wanita hebat yang bisa berjuang dan terbebas dari masa lalu."
Setelah makan, Dirga memang berencana mengunjungi makam Salsa. Tanpa disangka Agnia ingin ikut. Entah lah, Agnia sendiri tidak tahu jawaban pasti. Yang jelas hanya ingin melihat adik yang begitu disayang oleh Dirga.
"Hai, aku Agnia."
Dirga meletakan setangkai mawar di atas makam Salsa. "Aku bawakan bunga mawar untukmu.,"
"Salsa pasti juga bahagia jika melihat kakaknya tersenyum bahagia."
"Akan aku coba." Dirga tersenyum ke arah Agnia. Sementara wanita itu segera memalingkan muka karena merasa akward.
"Sebaiknya kita segera pulang. Sebentar lagi mungkin akan hujan." Dirga melihat ke atas. Awan-awan mulai menggelep.
*****
Setelah mengunjungi makam Salsa kemarin lusa, Agnia malah ingin berkunjung ke makam Adelia. Di sini lah ia berada sekarang. Ia mencabuti beberapa rumput yang ada di sekitar makam.
"Maaf ibu jarang mengunjungimu Sayang." Agnia mengelus makam anaknya. "Bagaimana kabarmu di sana? Andai kamu masih hidup sampai sekarang. Ibu pasti akan sangat bahagia. KIta bisa berman dan membelikan banyak mainan." Agnia meneteskan air matanya, segera ia hapus. "Ibu pergi dulu ya Sayang."
Tanpa diketahui ada sepasang mata yang memperhatikannya dari kejauhan.
"Agnia," ujar Ivan pelan kemudian pergi dari sana.