Beberapa jam sebelum malam pergantian tahun, ponselku tak berhenti berdering. Aku sedang sibuk menulis dan memperbaiki beberapa naskah cerita, sehingga mengabaikan banyak pesan juga panggilan telepon yang masuk.
Namun, belasan panggilan dari satu nomor yang tak kukenal, mau tak mau membuatku melirik dan akhirnya memegang ponselku. Aku mengernyitkan dahi. Antara iya dan tidak, aku pun menerima panggilan itu.
Suara anak kecil terdengar nyaring, saat pertama kali aku mengangkat panggilan. Sepertinya dia sedang merebut ponsel yang digunakan untuk meneleponku.
[Mami, aku duluan yang bicara. Mami nanti saja ngobrolnya.]
Siapa ini yang meneleponku? Aku tak mengenal nomornya, aku pun juga tak hapal siapa pemilik suaranya.
"Halo, ini siapa, ya? Ada yang bisa saya bantu?"
Terdengar di seberang telepon, anak kecil itu mulai menangis. Mungkin karena tak terturuti keinginannya. Namun, masih saja belum ada suara seseorang yang menjawab pertanyaanku.
"Halo, maaf saya sedang sibuk sekarang. Jika tak ada kepentingan mendesak, saya tutup telep-"
[Ini aku. Rossy.]
Seketika aku terdiam mendengar jawaban itu. Jantungku tiba-tiba saja berdetak kencang. Aku berdiri dan melangkah menjauh dari depan laptop. Pintu kamarku terbuka, seorang gadis menjulurkan kepalanya.
"Kak, aku lapar. Masak dong, Kak ... please!"
Aku melotot dan memberi kode bahwa aku sedang menerima telepon. Gadis itu terlihat kecewa, dan menutup kembali pintu kamarku.
[Dewa, ini aku. Dewa ....]
"Iya, ada apa, Ros?"
Aku menjawab dengan ragu-ragu. Perasaanku tak tenang. Selalu saja aku merasa seperti itu ketika dia meneleponku. Bukan apa-apa, hanya saja aku memang tak ingin moodku terganggu dan hancur. Banyak pekerjaan juga janji yang harus aku selesaikan.
[Maaf, aku sengaja menelepon kamu memakai nomor baru. Kamu tak pernah mau menerima, jika aku meneleponmu dengan nomorku yang lama.]
Aku menghela napas. Wanita itu benar. Aku memang tak pernah mau menerima panggilan telepon darinya, baik itu lewat aplikasi perpesanan atau panggilan telepon biasa. Bahkan aksesnya ke semua media sosialku pun aku blokir. Aku sengaja melakukan hal itu. Aku tak ingin lagi terganggu dengan suara tangisan ataupun kemarahannya, setiap kali dia berbicara di telepon.
[Dewa, datanglah ke Jakarta. Aku ingin ketemu kamu. Beberapa hari ini, Eizka menanyakan kabarmu. Dia-]
"Ros, jangan selalu memanfaatkan Eizka sebagai senjatamu untuk bertemu denganku. Kalau memang kamu yang menginginkan bertemu, ya, sudah. Lebih baik jujur, toh aku juga tidak mempermasalahkan jika ternyata yang ingin bertemu itu kamu, bukan Eizka."
Tak ada jawaban. Helaan napas berat terdengar dari seberang. Aku yakin, semua yang dikatakannya hanyalah akal-akalan saja. Sejak aku memutuskan meninggalkannya, hanya beberapa kali saja Eizka melihatku. Itu pun melalui video call yang terkadang terputus sinyalnya.
[Iya, Dewa. Aku yang ingin bertemu denganmu. Apa kau tak merindukanku sedikit pun? Berapa kali aku harus memohon kepadamu, agar kau mau bertemu denganku? Tolong, Dewa. Sekali ini saja, izinkan aku bertemu denganmu.]
"Ros, untuk apa? Untuk bertengkar? Untuk mendengar semua tangismu? Untuk mendengar kau membodoh-bodohkan dan menyalahkan dirimu sendiri? Atau untuk mendengarmu mengungkit-ungkit semua yang sudah terjadi, begitu?"
Hening. Tak ada sahutan. Ingin sekali rasanya aku memutus pembicaraan ini. Bagiku, sikapnya yang posesif dan arogan sudah cukup untuk menjadi alasanku meninggalkannya. Belum termasuk kebodohan dan kesalahan lain yang telah dia lakukan. Selingkuh.
[Dewa, tolong. Sekali ini saja, izinkan aku melihatmu. Aku tahu, aku bersalah padamu. Tetapi sekian tahun lamanya, aku telah mengemis padamu untuk memaafkan kesalahanku. Sedang Tuhan saja-]
"Cukup, Ros! Jangan bawa-bawa nama Tuhan di dalam pembicaraan kita. Apa kau mengingat Tuhan saat melakukan semua kesalahanmu dahulu? Apa kau mengingat Tuhan saat menuduhku, lalu menjelek-jelekkan namaku di depan banyak orang? Untuk apa sekarang kau menyebut nama Tuhan!"
Aku menendang kursi plastik di depanku. Suara benturan yang cukup keras, terdengar ketika kursi itu menghantam dinding kamar. Di speaker ponsel aku mendengar wanita itu mulai terisak. Suara tangisnya berlomba dengan detak jantungku yang kian cepat. Emosi telah menguasai hatiku.
[Dewa ... sekali ini saja, tolong! Setelah ini aku tak akan mengganggu kehidupanmu lagi. Aku akan pergi dan menghapus semua kenangan tentang kita. Aku janji, aku tak akan mengusik kedamaian dirimu. Tolong ....]
Braaak!
Kembali, kursi plastik yang tak bersalah itu menjadi sasaran luapan kemarahanku. Kali ini bukan saja aku tendang, tetapi aku angkat dan aku pukulkan ke dinding. Salah satu kakinya pun patah.
"Baik! Kamu beruntung kali ini, Ros! Besok aku terbang ke Jakarta. Jam delapan malam lebih aku berangkat. Kamu tahu jam berapa harus menjemputku di bandara. Tetapi ingat, kedatanganku kali ini bukan dalam rangka menemuimu. Ada pekerjaan penting yang harus aku selesaikan di Jakarta. Selesai urusanmu denganku, kamu harus pulang! Aku tak mau diganggu ketika bekerja. Ingat itu!"
Aku langsung menutup panggilan telepon. Tak mau lagi berlama-lama mendengar suara isak tangis wanita yang telah memberiku luka dalam, yang tak kunjung hilang perihnya. Aku hanya bisa terduduk, bersandar pada dinding kamar. Menyesali keputusan yang pernah aku buat dahulu saat bersamanya.
Seharusnya dahulu, aku tak secepat itu mengambil keputusan untuk hidup bersamanya dalam satu ikatan pernikahan. Perbedaan kultur juga keyakinan, semestinya bisa aku jadikan alasan untuk menolaknya.
Namun, cinta memang membutakan hati, logika, juga kewarasan manusia, dan aku dibutakan oleh cintaku padanya saat itu. Perjumpaan yang tak sengaja, berujung pada kisah cinta yang awalnya bahagia.
Meski waktu itu semua pihak menentang, aku dan dirinya tetap saja nekat meneruskan hubungan. Aku tak menyesal ketika harus mengeluarkan banyak biaya, yang seharusnya aku gunakan sebagai modal untuk membuka sebuah sanggar tari tradisional.
Kami pun melangsungkan pernikahan di luar Indonesia. Tanpa restu orangtua, dan hidup jauh dari keluarga. Kami jalani semua dengan senyum dan tawa. Seolah-olah apa yang kami lakukan adalah satu kebenaran dan pembuktian kepada semua orang, bahwa kekuatan cinta mampu mengguncangkan dunia.
Semua berjalan baik-baik saja, di tahun-tahun awal pernikahan kami. Hingga akhirnya, tiba pada saat aku harus melanglang buana dari satu panggung seni ke panggung seni lainnya. Lambat laun, kebahagiaan itu akhirnya tergerus juga.
Aku tak menyangka, kepulangannya ke Indonesia adalah awal dari semua bencana yang terjadi. Aku pikir, jarak yang memisahkan tak akan menggerus kesetiaan. Ternyata aku salah besar. Setianya tak cukup kuat untuk melawan kesepian yang dia rasakan, saat aku tak ada bersamanya.
Aku masih ingat, ketika dia dengan raut wajah penuh kebahagiaan menceritakan kabar, bahwa lamaran pekerjaannya di salah satu yayasan pendidikan di Jakarta diterima. Lewat video call dia mengabarkan berita itu kepadaku.
Kebetulan juga, kontraknya sebagai seorang pekerja migran di Singapura sudah hampir selesai dan tidak lagi dia perpanjang. Aku pun mengiyakan saja ketika dia memutuskan untuk pulang ke Indonesia, sedangkan aku masih harus menyelesaikan pekerjaanku di Singapura.