Chereads / Demi Sebuah Cinta / Chapter 5 - Ketegaran Berujung Dendam

Chapter 5 - Ketegaran Berujung Dendam

"Ross, hari sudah semakin siang. Aku harus menepati janjiku untuk mengajak Eizka ke pantai. Nanti kita lanjutkan pembicaraan kita. Demi Eizka, jangan sia-siakan waktu yang aku miliki saat ini dengannya, hanya karena satu hal yang tak patut kita kenang."

Tanganku bergerak, melepaskan belitan tangannya dari punggungku. Wanita itu tak kuasa menolak saat aku beranjak menjauh darinya. Tak kuhiraukan dirinya yang hanya tetap berdiri diam dan terisak. Aku menggendong Eizka dan mengecup pipinya.

"Eizka, kita jadi main ke pantai, Nak? Sampai sore?"

Anak kecil dalam gendonganku itu mengangguk dan tersenyum lebar, lalu mendaratkan kecupan di pipiku.

"Nanti Eizka mau bikin istana pasir, terus Om jadi monster jahat yang datang merusak istana Eizka, dan kita bertempur. Eizka jadi Ultraman, ya, Om? Boleh?"

Aku mengangguk dan tertawa kecil mendengar tutur katanya yang begitu polos. Anak ini tak seharusnya ditinggalkan begitu saja oleh orang yang telah menjadikan keberadaannya ada, dan harus merasakan kejamnya kehidupan dunia.

Aku kembali teringat, saat dengan berapi-api Rossy membeberkan puluhan alasan kenapa dia meninggalkan diriku dan memilih lelaki yang ternyata mencampakkan dirinya begitu saja setelah melampiaskan hasrat syahwatnya yang liar dengan berkedok ajaran dan tuntunan agama.

"Selama ini yang kita lakukan itu haram,Dewa! Selama ini kita hanya melakukan zina!" demikian alasan yang Rossy katakan padaku, saat kutanyakan perihal kehamilannya dan keputusannya menjadi istri siri dari pemilik yayasan pendidikan di mana dia bekerja.

"Jika pun aku meninggalkan dirimu, dan memilih menjadi istri siri Syarif, aku tidak bersalah, dan ikatan pernikahan kami ini sah secara agama. Kami seiman dan itu yang paling penting dalam satu ikatan perkawinan!"

Terbayang jelas di mataku, saat Rossy tanpa sedikit pun rasa penyesalan, mengatakan semua kalimat itu dengan emosi yang meluap-luap. Semua pengorbanan yang aku lakukan demi membuktikan cintaku kepadanya, seakan-akan hilang musnah begitu saja dan tak bersisa.

Segala canda, tawa, juga setiap kenangan perjalanan antara aku dan dirinya tiba-tiba saja menjelma menjadi sebuah lubang hitam yang menelan dan menenggelamkan diriku dalam kubangan kebencian. Hatiku hancur berkeping-keping. Tak bisa lagi kembali utuh sejak saat itu.

Saat aku memutuskan untuk menetap di Jakarta, aku memilih untuk tidak lagi hidup seatap dengan Rossy. Apalagi ketika aku mengetahui bahwa lelaki yang dipilihnya, memang jauh lebih mapan dan kaya dibandingkan diriku.

Namun, aku masih memaksakan diri untuk melihat kebahagiaan wanita yang pernah begitu aku cintai, dari kejauhan. Mengamatinya dari balik dinding-dinding kebencian yang sedikit demi sedikit aku bangun mengelilingi hatiku.

Sayang, aku gagal bertahan. Aku bukanlah monster yang tak mengenal belas kasihan. Ketika Rossy datang dengan berurai air mata, menceritakan semua kepedihan yang dia alami saat menjadi istri siri Syarif, hatiku pun luluh.

Usia kehamilannya yang semakin tua, perutnya yang semakin membesar, dan mendekati saat-saat persalinan, menjadi alasan terbesar bagi diriku untuk mau kembali bertemu dengannya.

Aku tak tega mendengarnya merintih kesakitan karena gerakan janin di dalam perutnya. Aku tak kuasa menolak, ketika dengan tangisannya yang menyayat hati, dia memintaku untuk tidak kembali pergi.

Aku yang membawanya ke rumah sakit, saat suami baru yang dibangga-banggakannya bahkan tak memperlihatkan batang hidungnya. Aku yang menunggunya di ruangan bersalin dan membersihkan darah yang terus saja mengalir, saat suami barunya tak sekali pun menanyakan kabar keberadaan istrinya yang mengerang kesakitan di depanku.

Aku bukanlah monster. Aku mungkin tak sealim Syarif, yang bisa berbicara berjam-jam lamanya tentang tuntunan dan ajaran kebaikan. Seolah-olah tak mengenal lelah di hadapan ratusan bahkan ribuan orang yang begitu mengelu-elukan dan menghormati dirinya, termasuk Rossy, wanita yang begitu kucintai yang akhirnya jatuh ke dalam pelukan lelaki itu.

Tetapi aku punya hati, aku punya ketulusan cinta yang tak mungkin dimiliki oleh Syarif. Akulah yang selama ini menjaga Rossy ketika semua orang menjauhinya. Akulah yang terus menguatkan wanita itu ketika terpaan badai datang, dan tak henti menghantamnya.

Aku. Akulah lelaki yang tetap berdiri tegak mempertahankan cintanya, ketika aturan-aturan adat dan jurang perbedaan berusaha mematahkan ribuan impian dan cita-cita kami untuk meraih kebahagiaan.

Aku. Akulah lelaki yang mencintai terlalu dalam dan akhirnya tak sadar telah ditinggalkan, dalam kubangan lumpur dendam.

Bahkan, tak setitik pun ada rasa benci bersemayam di hatiku, saat tangis bayi yang dilahirkan Rossy pertama kali terdengar dan menggema di dalam ruangan bersalin. Aku bahkan masih bisa tersenyum. Masih mau menghapus tetes peluh yang membasahi sekujur tubuh Rossy, setelah perjuangannya yang begitu berat melahirkan seorang bayi tak berdosa yang kini berada di dalam gendonganku. Eizka.

*****

"Batas antara cinta dan bodoh itu setipis kulit ari. Terkadang kita lupa, bahwa diri sendiri pun berhak bahagia."

Butir-butir pasir yang hanyut terbawa deburan ombak, menempel di sela-sela jariku. Aku memperhatikan Eizka yang tertawa riang, bermain istana pasir bersama seorang gadis kecil yang baru saja dia kenal. Anak itu tak sedikit pun mengerti apa yang terjadi. Dia sama sekali tak bersalah atas apa yang telah menimpa dirinya. Anak itu hanyalah korban dari sebuah nafsu dan egoisme yang salah dari dua orang dewasa yang keblinger.

"Dewa, menetaplah di sini bersama kami. Tolong."

Ucapan Ross yang tiba-tiba, membuyarkan keasyikanku yang sedang mengamati Eizka bermain. Aku menoleh, menatap ke dalam mata wanita yang pernah membutakan hatiku dengan cintanya. Dia menundukkan wajahnya, tak sedikit pun berani lagi menatap mataku.

"Hal apa yang bisa kujadikan alasan untuk menetap di sini? Tak ada lagi yang harus aku perjuangkan di sini. Duniaku bukan di tempat ini. Ada banyak hal yang harus kukerjakan di luar sana. Aku-"

"Aku masih mencintaimu, Dewa! Aku membutuhkanmu untuk menemaniku membesarkan Eizka."

Ross memotong ucapanku dengan tegas. Nampak jelas air mata yang menggantung di sudut pelupuk matanya. Wanita itu terlihat sangat menderita saat ini. Ah, tapi bukankah dulu dia melakukannya dengan senang hati? Bukankah dulu dia tak berpikir bahwa apa yang dia lakukan itu akan meninggalkan perih dalam hatiku? Lalu di mana dia saat aku terpuruk karena perbuatannya?

"Maafkan aku, Ross. Saat ini tak ada secuil pun keinginan dalam hatiku untuk kembali merajut hubungan denganmu. Setelah semua yang terjadi, aku butuh mengembalikan kewarasanku. Engkau pernah menghancurkan semua impianku tentang kebahagiaan. Engkau yang merusak semua angan dan cita-citaku. Aku memaafkanmu, tetapi bukan berarti kedatanganku ke sini demi dirimu."

Linangan air mata menderas turun, mengalir membasahi cadar yang dia kenakan saat mendengarku berkata seperti itu. Aku memang harus jujur. Tak ada lagi cinta di hatiku untuk dirinya, setidaknya untuk saat ini. Ross menggeser duduknya, mendekat ke arahku. Aku diam, saat dia memegang jemariku. Camar-camar yang terbang berputar sesekali menukik turun ke laut, menangkap ikan-ikan kecil yang tampak dalam pandangan mereka. Mentari perlahan-lahan bergeser ke arah barat, meninggalkan semburat jingga yang berseling awan hitam pekat.