Chereads / Demi Sebuah Cinta / Chapter 7 - Broken Dreams

Chapter 7 - Broken Dreams

Aku mengenalnya saat berlangsung sebuah event kesenian. Saat pertama kali jumpa, dia terlihat sebagai sosok gadis yang begitu ceria. Senyumnya yang manis selalu tersungging kepada semua orang yang berpapasan dengannya. Rambut pendek di atas bahu, memberi kesan tomboy dan enerjik pada dirinya. Saat dia bernyanyi, aku terkesima. Suaranya begitu merdu dan menggetarkan hati. Nada-nada yang dia lantunkan dengan vibrasi suara yang sempurna, membuatku terpesona. Mengagumkan.

"Ross. Panggil saja aku 'Ross' "

Begitu dia menyebut dan mengenalkan namanya, saat aku menjabat tangannya erat untuk kali pertama. Aku terpaku, saat dia tersenyum menatapku. Entah apa yang membuatku tak sedetik pun mau melepas pandang dari dirinya. Caranya berjalan, bagaimana dia berbicara dengan penuh kelembutan, semua hal tentangnya saat itu benar-benar mempesonakanku. Apakah aku jatuh cinta padanya? Aku tak tahu.

Sebelum mengenal Ross, aku telah menjalin hubungan dengan seorang wanita, Jesslyn Ong. Hubunganku dengan Jesslyn Ong yang merupakan seorang wanita berkewarganegaraan Tiongkok, berjalan hampir dua tahun lamanya. Semua baik-baik saja awalnya, yang aku tahu Jesslyn begitu mencintaiku. Dia pula yang membuatku dikenal oleh banyak buruh migran sebagai salah satu seniman yang cukup punya nama. Di mana ada Jesslyn, di situ pasti ada "Dewa Kusuma". Kami bagai dua orang yang tak bisa dipisahkan.

Jesslyn mengembalikan semangat hidupku yang terpuruk dan sempat memudar hilang. Dia mengenalkan dunia baru yang sebelumnya aku tak tahu. Kebersamaan yang terjalin sekian waktu, senyatanya tak mampu menguatkan ikatan cinta antara kami berdua. Tanpa aku ketahui, Jesslyn menyembunyikan satu rahasia besar dalam kehidupannya. Dia telah mempunyai anak dan suami yang dia tinggalkan di negara asalnya, Tiongkok.

Kenyataan pahit itu baru terungkap, saat sebuah panggilan telepon masuk ke ponselku. Saat aku mengangkat panggilan, terdengar suara wanita yang sangat aku kenal, Jesslyn, yang menangis histeris. Terdengar pula suara berat seorang lelaki yang berbicara dalam bahasa mandarin. Nada suaranya yang meninggi, menandakan emosinya yang memuncak. Beberapa kali terdengar suara barang yang dilempar. Seketika itu juga, aku menutup panggilan telepon.

Namun ternyata hal itu belum berakhir. Ponselku kembali berdering, kali ini bukan lagi panggilan telepon biasa tetapi panggilan video melalui aplikasi Whatsapp. Aku tak mengangkatnya. Ponselku terus saja berdering, entah berapa kali. Hatiku berkata untuk tidak menerima panggilan itu, tetapi rasa penasaran dan keingintahuanku yang besar membuatku nekat mengangkatnya.

Aku terkejut saat menatap layar ponsel. Jesslyn terlihat menelentang di atas ranjang dengan tubuh setengah telanjang. Pakaiannya terlihat awut-awutan dan terbuka. Seorang lelaki berpostur tinggi besar terlihat berdiri mengangkang di atas tubuhnya. Dengan teganya dia menendang dan menginjak-injak tubuh Jesslyn, sembari mengeluarkan kalimat-kalimat yang tak kuketahui artinya. Lelaki itu sepertinya begitu marah besar terhadap Jesslyn.

Tak berhenti sampai di situ saja. Lelaki itu dengan kasar merenggut celana pendek yang dikenakan Jesslyn. Wanita itu berusaha mempertahankannya mati-matian, hingga celana itu robek hingga ke pangkal pahanya. Sambil tertawa-tawa penuh kepuasan, lelaki itu mendekatkan kamera ponsel ke arah paha Jesslyn yang terbuka.

"Look at her! Look at her!"

Teriakan lelaki itu bagaikan pisau yang menusuk ke dalam jantungku. Sakit sekali rasanya melihat wanita yang begitu kucintai diperlakukan seperti itu. Namun, tak ada yang bisa aku lakukan kecuali menahan amarah yang siap meledak keluar. Jesslyn terus saja menangis histeris. Beberapa kali dia memohon dan mengiba agar lelaki itu menghentikan perbuatannya, tetapi sia-sia. Lelaki itu semakin ganas dan brutal menganiaya Jesslyn.

"Hey, stop that, Bro!"

Aku berteriak, berharap lelaki itu mau menghentikan aksinya. Teriakanku rupanya berhasil memancingnya untuk sejenak berhenti menganiaya Jesslyn. Wajah lelaki itu begitu dekat dengan kamera ponsel, sehingga aku mampu mendengar dengus napasnya yang serupa dengus napas kerbau liar yang sedang mengamuk.

"She is my wife, and you slept with her. F*ck you!"

Aku terhenyak. Jelas-jelas lelaki itu menuduhkan sesuatu yang tak pernah aku lakukan bersama Jesslyn. Wajahku memerah saat mendengar dia berteriak seperti itu. Aku tak pernah sekali pun meniduri Jesslyn seperti apa yang dikatakannya. Amarahku membuncah saat melihat lelaki itu dengan kasar menarik tangan Jesslyn yang terkapar di ranjang dan tak berdaya. Wanita itu benar-benar terlihat kesakitan. Dia menjerit histeris tatkala telapak tangan lelaki itu melayang dan dengan telak mengenai pipi kanannya. Aku melihat darah menempel di sudut bibir Jesslyn.

"Hey, Bro, stop that! You can k*ll her!"

Teriakanku malah seakan-akan menjadi penyemangat bagi lelaki itu untuk semakin beringas mengahajr Jesslyn. Wanita yang begitu aku cintai itu kembali tersungkur saat lelaki itu mendorongnya dengan kasar. Sama sekali Jesslyn tak mampu lagi melawan dan menghindar. Tubuhnya menjadi bulan-bulanan pukulan, tendangan, juga tamparan lelaki yang mengaku sebagai suaminya itu. aku tak kuat lagi melihatnya. Aku matikan segera panggilan video itu.

Jesslyn, wanita yang begitu aku cintai, wanita yang begitu aku jaga kehormatannya selama ini, tak ubahnya sansak hidup di hadapan seorang petinju kelas berat. Aku membayangkan betapa sakitnya dera dan siksa yang dia terima saat ini. Aku yang bersalah dalam hal ini, bukan Jesslyn. Seharusnya akulah yang menerima semua pukulan dan tendangan itu.

Ponsel yang terus saja berdering tak kuhiraukan lagi. Aku tak sanggup melihat perlakuan lelaki itu terhadap Jesslyn. Bagaimanapun, aku telah membersamai Jesslyn selama hampir dua tahun lamanya. Selama itu pula, dia begitu menyayangiku. Wanita itu selalu menjadi penyemangat dalam kehidupanku. Jesslyn selalu bertindak sebagai seorang pelindung ketika aku berada dalam masalah pelik. Dia hadir sebagai sosok penasehat terbaik dalam setiap kesulitan yang menghadangku.

*****

"Dewa ...."

Tiba-tiba lamunanku buyar, panggilan Ross mengejutkanku. Ternyata hujan sudah berhenti. Terlihat Eizka bermain-main di playground yang berada di sudut restoran, ada seorang anak sebayanya yang juga ikut bermain di sana. Ross berpindah duduk di sampingku. Aku hanya diam saja tatkala wanita itu meremas jemariku dengan lembut.

"Malam ini, bolehkah aku tidur di hotel bersamamu?"

Tentu saja aku terkejut mendengar permintaannya yang di luar nalar. Meski dulu kami terikat satu hubungan, sekarang kami sudah berbeda jalan. Aku tak menjawab permintaannya. Memilih diam sembari mataku tak lepas dari Eizka yang asyik bermain. Sentuhan jemari Ross di pipiku, membuatku menoleh dan memandang ke dalam bola matanya yang kini berkaca-kaca.

"Ada Eizka, Ross. Aku tak mau anak itu berpikir yang tidak-tidak tentang aku dan kamu. Aku-"

"Dia belum mengerti, Dewa. Aku selalu menceritakan hal-hal yang indah tentang kamu. Kamu pasti ingat bagaimana sukacitanya dia setiap video call kamu. Kamu juga pasti belum lupa, rengekan dia yang meminta bertemu kamu."

Aku termangu. Eizka memang selalu seperti itu setiap saat aku dan Ross berkomunikasi lewat panggilan video. Anak itu selalu meminta bertemu dan mengajakku bermain. Terkadang bahkan dia mendominasi pembicaraan, mengambil ponsel dari genggaman tangan ibunya dan mengajakku bercakap-cakap. Bermacam-macam pertanyaan dia ajukan. Tak jarang aku kebingungan menjawabnya.

"Aku belum bisa meluluskan permintaanmu, Ross. Malam ini kamu harus tetap pulang. Esok hari ada pertemuan penting yang harus aku hadiri bersama kolegaku. Aku harus bangun pagi-pagi sekali dan tidak boleh terlambat menghadiri pertemuan itu."

"Dewa, aku mohon. Sekali ini saj-"

"Ross, jangan memaksaku. Kamu tahu bahwa aku tak pernah mau dipaksa melakukan sesuatu. Kedatanganku ke Jakarta demi pekerjaan. Jika pada akhirnya aku memenuhi permintaanmu untuk bertemu, bukan berarti semua permintaanmu yang lain bisa aku turuti. Pahamilah itu."

Hening. Tak ada jawaban yang keluar dari bibir wanita itu. Namun aku tahu, reaksinya jelas sekali menunjukkan kekecewaan hatinya. Aku harus tegas kali ini. Kedatanganku yang utama memang bukan untuk bertemu dengannya, tetapi memang karena alasan pekerjaan yang teramat penting. Aku tak mau kolegaku membatalkan perjanjian kerja yang sudah kami bicarakan jauh-jauh hari.

Bab 8 : Rasa Itu Tak Akan Pernah Bisa Sama Seperti Dahulu

Eizka berlari-lari kecil menghampiri kami berdua, dan langsung menghambur ke dalam pelukan ibunya saat Ross merentangkan tangannya menyambut kedatangan Eizka. Anak itu tertawa riang. Tak ada beban yang menggelayuti pikirannya. Keinginannya untuk bertemu dan bermain bersamaku sudah aku turuti. Seandainya saja Ross bisa seperti Eizka yang begitu patuh dan konsekuen pada pilihannya, mungkin aku tak akan sebingung ini. Sayangnya, Ross adalah wanita dewasa yang dikepalanya bercokol banyak sekali keinginan yang dilandasi oleh ego yang sering kali melangkahi batas nalar.

"Om, Eizka capek, Eizka ngantuk. Kita pulang, yuk."

Aku melirik jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Memang sudah beranjak malam. Aku mengelus lembut kepala anak itu. Tanpa sengaja, tanganku mengenai bagian dada Ross. Wanita itu menatapku tajam. Aku segera saja menarik tanganku dari kepala Eizka. Wajahku memerah malu.

"Maaf, tak sengaja."

Aku mencoba menutupi rasa malu dan gugupku dengan meminta maaf. Wanita itu tak bereaksi. Entah apa yang dia pikirkan saat ini. Aku tak mau larut dalam bayangan-bayangan aneh yang bisa saja tmbul di otakku, hanya karena hal yang tak sengaja terjadi seperti tadi.

"Eizka, kita pulang, yuk. Sudah malam. Sudah waktunya Eizka tidur."

Anak itu mengangguk. Ross ikut berdiri saat aku menggendong Eizka sembari berjalan keluar meninggalkan restoran. Belum sampai di tempat parkir mobil, Eizka sudah tertidur dalam gendonganku. Nyenyak sekali tidurnya. Hangat napasnya menerpa bahuku. Kasihan sekali anak ini. Tak ada sosok lelaki yang selama ini melindungi dan menjaganya. Selama ini dia berkutat dengan dunianya yang begitu sempit. Wajar jika dia terlihat begitu bahagia saat bermain di pantai.

Ross yang berjalan di sampingku, memeluk pinggangku dengan erat. Aku tak mungkin melepaskan pelukannya karena kedua tanganku sibuk memeluk Eizka. Momen ini benar-benar dimanfaatkan oleh Ross untuk mendekatkan dirinya padaku. Aku tak bisa menghindar. Dia baru melepaskan pegangannya di pinggangku ketika sudah berada di depan mobil. Aku membuka pintu belakang mobil, dengan sedikit kerepotan membawa dan merebahkan Eizka di jok belakang. Setelah memastikan pintu mobil tertutup rapat, aku berjalan mendekat ke arah Ross.

"Pulanglah. Kau tak perlu mengantarku ke hotel. Aku bisa naik ojek dari sini, toh jaraknya tidak terlalu jauh. Kasihan Eizka."

Namun, wanita itu tak menjawab. Dia malah menggenggam tanganku dengan erat, seakan-akan tak ingin melepaskan. Aku menunduk, tak membalas tatapan matanya. Aku benci saat-saat seperti ini. Bagaimana pun, aku pernah bersamanya sekian waktu. Setiap apa yang dia lakukan, aku mampu menangkap maknanya. Tangan kirinya terangkat, jemarinya membelai daguku lembut. Aku mencoba palingkan wajah tapi tak sanggup. Perlahan-lahan dia lepaskan genggaman tangan kanannya dari jemariku. Disingkapkannya cadar yang menutupi sebagian wajahnya. Bibirnya dengan lembut mengecup bibirku.

"Aku rindu ...."

Aku tak mampu berkelit saat bibirnya menempel di bibirku. Ada debar tak biasa yang bergemuruh di dadaku. Saat tangan kirinya berusaha memeluk pinggangku, aku buru-buru menjauh. Aku memegang lengannya dan melepaskan pelukannya.

"No. Not like this, Ross. Aku tidak siap untuk semua ini. Pulanglah. Kasihan Eizka."

Ross memukul dadaku. Isak tangisnya pecah. Aku mendengus kesal. Tetapi entah mengapa, aku malah memeluknya erat-erat. Membiarkannya menumpahkan tangis di dadaku. Beberapa pasang mata yang melihat adegan kami, menatap dengan pandangan heran. Sambil memeluknya, aku membuka pintu mobil. Aku berharap Ross dapat menguasai emosinya dan segera pulang.

"Pulanglah. Mungkin saat ini aku belum mengijinkanmu menemaniku. Entah esok hari, atau kapan pun itu. Semoga saja aku bisa menuruti permintaanmu. Pulanglah, Ross."

Tanpa menjawab pertanyaanku, wanita itu berbalik dan segera masuk ke dalam mobil. Mesin mobil mulai menyala. Aku masih berdiri diam saat kaca jendela di hadapanku bergerak turun. Ross sudah melepas cadarnya. Terlihat air mata yang mengalir turun membasahi pipinya. Aku mendekatkan wajah ke arahnya, mendaratkan satu kecupan di kening wanita itu.

"Pulang ...."

Pintaku dengan lirih kepadanya. Wanita itu mencium telapak tanganku, saat aku mengulurkannya. Jendela mobil kembali tertutup. Mataku menatap laju mobil yang perlahan-lahan meninggalkan tempat parkir dan menghilang dari pandangan mataku.

Aku mendongakkan wajah menatap langit yang muram tanpa bintang, mengembuskan napas berat untuk melepas semua beban yang terasa menghimpit dadaku saat ini. Semuanya memang tak harus berjalan seperti ini. Seharusnya aku tak menuruti permintaan Ross untuk bertemu. Kenangan tentang dirinya belum sempurna sirna. Luka yang dia torehkan juga belumlah kering. Kini perihnya kembali menyiksa.

My shadow's the only one that walks beside me

My shallow heart's the only thing that's beating

Sometimes, I wish someone out there will find me

'Til then, I walk alone

Sayup-sayup terdengar alunan lagu dari band punk yang selama ini sering kunyanyikan. Mungkin memang benar. Semenjak kepergian Ross dahulu, hanya bayanganku sendiri yang selalu setia menemani langkahku kemana pun aku pergi. Tak ada lagi seorang pun yang aku ijinkan untuk mengisi kekosongan hati. Meski sering kali aku berharap akan hadirnya seseorang yang mau memeluk dan mengusir kesepianku. Rasa itu tak akan pernah bisa sama seperti dahulu.

*****

Ponselku terus saja berdering. Dengan malas aku menggerakkan badan di pembaringan. Mataku menyapu meja kecil yang berada tepat di samping ranjang. Tak terlihat ponselku berada di sana. Aku bangkit dan berjalan ke arah sofa yang berada di dekat jendela kamar. Di sana ponselku berada, di atas tumpukan file yang semalam aku baca. Pagi ini memang aku harus menghadiri pertemuan penting dengan klien.

Tak ada nama pemanggil, hanya deretan nomor asing yang tak kukenal. Biasanya aku malas mengangkat panggilan yang tak jelas, tetapi entah mengapa kali ini instingku menyuruh agar aku mengangkatnya.

"Selamat pagi. Dengan Dewa di sini, ada yang bisa saya bantu?"

Suara seorang lelaki terdengar dari seberang, aku mengenalnya. Dia adalah klien yang akan aku temui pagi ini. Dia mengabarkan bahwa hari ini tidak dapat melakukan pertemuan karena satu urusan tertentu. Sebagai permintaan maaf karena mengundurkan jadwal dan telah membuang banyak waktuku, dia mentransfer sejumlah uang sebagai biaya akomodasi selama aku memperpanjang masa tinggal di Jakarta. Tentu saja aku kecewa, karena aku sangat berharap pertemuan ini bisa segera terealisasi dan menghasilkan satu hal yang bermanfaat.

Aku merebahkan diri di sofa. Jauh-jauh datang ke Jakarta, tetapi harus menunggu lagi demi sebuah pembicaraan tentang pekerjaan adalah satu hal yang membuatku kecewa. Ditambah lagi, aku harus kembali bertemu dengan Ross yang membuatku pusing, karena tingkahnya yang kekanak-kanakan.

Memandang langit-langit kamar yang bernuansa biru langit, tak membuatku tenang. Aku bingung harus menghabiskan waktuku ke mana sampai hari yang ditentukan klien-ku. Bila aku pulang, aku harus kembali lagi nanti. Tiket kepulanganku pun juga belum aku pesan. Jika aku menghubungi Ross, sama saja membuka pintu dan memberi peluang bagi dirinya untuk kembali memasuki kehidupanku. Kepalaku mendadak pusing. Tiba-tiba saja pikiranku kacau balau seperti ini.