"Lihatlah Eizka. Dia begitu bahagia dengan kehadiranmu, Dewa. Selama ini tak ada yang memperhatikannya seperti kamu. Dia merindukan sosok ayah yang tak pernah dia lihat. Dewa, aku mohon tinggal dan menetaplah di-"
"Lalu aku harus merelakan hatiku untuk terluka lagi? Begitu maumu?"
Entah, tiba-tiba saja aku tak bisa mengendalikan emosiku. Beruntung deburan ombak yang menghantam karang, bunyi daun-daun pohon kelapa yang tertiup angin, mampu meredam suaraku yang sedikit keras sehingga tak terdengar oleh Eizka. Aku tak mau anak itu melihat kemarahanku pada ibunya.
Diam. Tak ada kata terucap dari bibir Ross untuk membalas kalimatku. Mungkin ucapanku terlalu menusuk hatinya. Aku tak perduli, sama seperti tak perdulinya dia saat menorehkan luka ke hatiku. Demi dirinya, aku harus terasing dari keluarga, tersingkir dari masyarakat adat dan tak dianggap sebagai seorang anggota keluarga saat aku kembali ke rumah. Lalu dengan santainya dia pergi begitu saja meninggalkanku demi orang lain karena alasan tuntunan agama. Sekarang dia mempertontonkan linangan air mata agar aku luluh dan menuruti kemauannya.
'Maaf, Ross. Aku belum bisa menerima kehadiranmu lagi dalam kehidupanku.'
Lirih aku berucap dalam hati, sebuah kejujuran yang tak mampu aku ucapkan kepadanya. Aku tak ingin terlalu banyak bicara, yang pada akhirnya hanya akan menimbulkan perdebatan panjang dan menyulut sisi emosionalku seperti biasanya. Entah, apakah aku yang tak bisa meredam emosi ataukah memang kalimat yang wanita ini ucapkan terlalu provokatif bagi telingaku. Ponselku tiba-tiba saja berdering. Dengan malas, aku merogohnya dari saku celanaku. Ross menatap dengan sorot mata penuh selidik.
"Dari siapa, Dewa?"
Aku tak menjawab pertanyaan Ross. Toh siapa saja yang meneleponku bukanlah urusannya. Tak ada hak bagi dirinya untuk bertanya tentang kehidupan pribadiku. Saat kunyalakan layar ponsel, tak ada nomor yang tertera di sana. Hanya ada tulisan 'Nomor Pribadi' di layar ponselku. Ross yang masih saja ingin tahu, mencoba melongokkan kepalanya agar bisa melihat layar ponselku.
"Nih, tak perlu longak-longok seperti itu. Aku sendiri tak tahu, siapa yang meneleponku."
Ponsel yang masih menyala, aku letakkan di atas pasir pantai agar Ross dapat melihatnya. Nampak keraguan di sorot mata wanita itu. Masih saja tak berubah sikapnya, posesif seperti dulu. Sikap yang dulu aku anggap sebagai bukti rasa sayang dan cintanya kepadaku. Sifat yang pada akhirnya menyadarkan aku bahwa dia sebenarnya tak mencintaiku, tetapi hanya menuruti ego dan kemauannya sendiri.
Aku mengambil kembali ponselku yang tergeletak. Mengusap pasir yang menempel dengan ujung kemejaku, dan memasukkannya kembali ke dalam saku. Eizka masih saja asyik bermain. Tak terlihat keletihan di wajahnya yang begitu ceria. Sepertinya anak itu begitu gembira dan bahagia, bisa bermain di luar rumah. Mungkin selama ini Ross tak memperbolehkannya bermain bersama anak-anak yang lain. Aku pun tak tahu.
"Eizka, pulang, yuk? Sudah sore. Besok kamu harus masuk sekolah, bukan?"
Sedikit berteriak, aku memanggil anak itu dan mengajaknya untuk pulang. Sudah cukup waktunya bermain. Sedari tadi dia pun belum makan. Saat aku hendak beranjak beranjak berdiri untuk menghampiri Eizka, Ross menahan lenganku.
"Dia tidak mau bersekolah. Aku tak pernah mengajaknya keluar rumah. Biarkan dia bermain selagi ada kesempatan."
Tentu saja jawaban Ross mengejutkanku. Aku heran, kenapa wanita secerdas dia membiarkan anaknya tak mau sekolah. Aku menatap Ross dengan belasan pertanyaan yang berkelindan di benakku. Apa yang selama ini dia ajarkan terhadap anaknya, adalah pertanyaan terbesar yang membuatku penasaran.
"Maksudmu? Kau membiarkannya tidak mendapatkan pendidikan dan justru mengekangnya di dalam rumah? Kau ini bag-"
"Bukan begitu, Ay. Bukan aku bermaksud membiarkannya tidak bersekolah. Bukan maksudku pula melarangnya bermain di luar rumah. Kamu tak tahu apa yang aku rasakan selama ini, Ay-"
"Stop that! Jangan pernah panggil aku dengan sebutan itu lagi. Aku mual mendengarnya. Dari pada aku muntah-muntah di hadapanmu, lebih baik kamu hilangkan kosakata itu dari kamusmu. Okay?"
Kali ini aku tak berusaha menahan ledakan emosiku. Sembari berdiri aku menuding Ross dan mengucapkan sesuatu yang memang sejak kemarin berusaha aku tahan agar tak meluncur keluar dari bibirku. Aku tak suka jika dia masih saja memanggilku dengan sebutan itu. Tak ada lagi kata 'Sayang' setelah apa yang dia lakukan terhadapku. Cukup sudah semua gombalan kata-kata cinta dan kerinduan yang dia ucap untukku. Aku muak. Tanpa meminta persetujuannya, aku melangkah mendekati Eizka. Berjongkok di hadapan anak kecil yang polos itu.
"Kita pulang, Nak. Sudah hampir malam. Kamu juga belum makan sejak siang, kasihan perutnya nanti sakit. Yuk, mandi. Ganti baju lalu kita cari makan."
Aku mengelus rambutnya dan tersenyum. Sebesar apapun kemarahanku, aku tak pernah bisa menunjukkannya di depan anak kecil. Aku menyayangi mereka, tak ingin membuat mereka takut kepadaku. Eizka berdiri menyambut uluran tanganku. Senyumnya tersungging, saat aku menanyakan kepadanya apakah dia ingin kugendong. Tanpa menjawab, segera saja dia melompat ke atas punggungku. Beberapa kali dia berteriak memanggil ibunya, untuk menunjukkan kegembiraannya saat berada di gendonganku. Ross masih saja bergeming, duduk di hamparan pasir pantai. Senja semakin menua, celoteh camar yang kembali pulang ke sarang seolah-olah menjadi pertanda bahwa kami harus segera pulang.
*****
Hujan turun dengan derasnya ketika kami bertiga masih berada di dalam restoran. Eizka terlihat begitu lahap menikmati makanan yang tersaji di depannya, berbeda dengan Ross. Wanita itu terlihat enggan menyantap sajian di meja yang dia pesan sendiri. Aku memandangnya dengan sedikit kesal. Selera makanku pun hilang karena sikapnya.
"Ross ...."
Aku mencoba memecah kekakuan suasana. Kupegang jemari tangannya dengan lembut, tetapi ditariknya jemarinya menjauh dari genggamanku. Eizka seolah-olah tak perduli dengan hal itu. mulutnya sibuk mengunyah ayam goreng yang menjadi kesukaannya. Setidaknya hal itu sedikit melegakanku, setelah seharian perutnya tak terisi asupan makanan sedikit pun.
"Ross ...."
Sekali lagi aku berusaha mengajak wanita itu untuk berbicara, tetapi kali ini dia memalingkan muka dan memilih memandang ke arah lain. Ingin rasanya aku mengajak wanita itu keluar dan menumpahkan segala rasa kesalku. Aku tahu, semua ini pasti karena permintaannya aku tolak. Selalu saja seperti itu. Dia tak ubahnya seorang balita yang terjebak di tubuh wanita dewasa. Seorang balita yang begitu mudah marah dan menangis histeris setiap kali permintaannya tak dituruti.
Aku mengenang kembali saat-saat pertama kali mengenal dirinya dahulu. Begitu polosnya dirinya saat bercerita tentang semua yang terjadi dengan kehidupannya. Tentang bagaimana dia menyembuhkan diri dari peristiwa kelam yang menimpa dirinya. Tentang bagaimana dia bertahan ketika semua orang yang disayanginya menghujat dan menghakimi dirinya. Bagiku, saat itu, dia adalah wanita kuat yang sanggup menahan semua badai yang menghantam dan meluluhlantakkan dirinya.
Aku begitu terkesima waktu itu. aku tak segan-segan memuja dirinya sebagai seorang wanita yang kuat dan tabah serta sosok perempuan yang sempurna. Entah, mataku mungkin dibutakan oleh kekagumanku hingga aku tak mau menilainya dari sisi yang berseberangan, bahwa setiap manusia yang dibekali kelebihan pastilah dibekali juga dengan kekurangan dan keburukan. Aku dibutakan oleh harapan dan impian.