Sebulan dua bulan awal sejak kepulangannya, aku masih bisa menyempatkan diri untuk pulang ke Indonesia menemuinya. Meski hanya sejenak waktu, sekedar melepas rindu. Wajar, seorang suami pastilah ingin dipenuhi hasratnya oleh sang istri.
Namun, ketika di satu waktu karena kesibukan yang menguras waktuku, selama hampir lima bulan lamanya aku tak dapat pulang. Komunikasi kami pun hanya terbatas melalui panggilan telepon dan video. Saat itulah, semua kekisruhan dan kekacauan berawal.
Beberapa kali, panggilan telepon juga video-ku tak dia respons. Aku hanya berpikir, mungkin Rossy terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tak sempat menerima panggilan teleponku. Hari-hari kulalui dengan tetap berpikiran positif terhadapnya.
Lima bulan sudah, aku tak bertemu dengannya. Akhirnya tiba waktunya semua pekerjaan yang menyita waktuku, selesai aku kerjakan. Aku pulang ke Indonesia dengan harapan dan kebahagiaan yang membuncah. Kerinduanku terhadap Rossy, akan segera tuntas dan terlunaskan saat bertemu dengannya nanti.
Saat aku menginjakkan kaki di Jakarta waktu itu, Rossy menjemputku. Tetapi aku melihat, ada perubahan dalam dirinya. Penampilannya yang dulu modis mengikuti perkembangan trend fashion, berganti dengan penampilan yang jauh lebih sopan.
Rok pendek selututnya berganti gamis panjang. Rambutnya yang dahulu hitam legam melewati bahu, kini tertutup kerudung. Satu hal yang tak berubah dari istriku, dia tetap saja cantik seperti saat aku terakhir bertemu dengannya.
Masih terngiang jelas di telinga, saat dia menjawab pertanyaanku, tentang perubahan yang ada padanya waktu itu. Rossy beralasan bahwa yayasan pendidikan di mana dia bekerja, mengharuskannya berpenampilan seperti itu. Aku percaya saja.
Aku tak ambil pusing dengan penampilannya. Bagiku, yang terpenting adalah aku bisa berkumpul lagi dengannya. Itulah satu-satunya kebahagiaan yang ada dalam hatiku waktu itu.
Tak terasa sudah satu minggu aku berada di Indonesia saat itu. Selama itu pula, sebagai seorang suami, aku menikmati malam-malam penuh kehangatan, cumbu rayu, juga kemesraan yang sekian bulan lamanya tak kurasakan.
Menginjak minggu kedua setelah kepulanganku. Beberapa kali Rossy mengeluh pusing dan mual. Aku tak berpikir apapun tentang kondisinya. Sesekali aku memintanya untuk meminum obat anti masuk angin.
Namun, ketika satu hari kondisinya drop dan dia tak bisa bekerja. Aku pun berinisiatif membawanya ke dokter. Awalnya dia menolak dengan berbagai alasan, tetapi karena aku terus saja memaksa akhirnya dia tak kuasa membantah.
Rossy terlihat ragu-ragu ketika melangkah masuk ke dalam ruang periksa. Entah, aku tak tahu apa yang ada di dalam pikirannya saat itu. Aku terus saja meyakinkan dirinya, bahwa dia hanya masuk angin, dan semua akan baik-baik saja. Aku pun masih bisa tersenyum dan menggodanya. Meski dia tak membalas candaanku waktu itu.
Aku yang semula ceria dan masih bisa tertawa ketika masuk ke ruang periksa, seketika terdiam tak bisa bicara. Dokter yang memeriksa kondisi kesehatan Rossy, berkata, "Kemungkinan istri Bapak sedang hamil, dan rasa pusing juga mualnya diakibatkan karena dia sedang berada dalam fase ngidam."
Dengan penuh ketidaktahuan, aku balik bertanya kepada dokter tersebut, "Bagaimana bisa seorang suami yang baru seminggu pulang dan tidur dengan istrinya, lalu istrinya tersebut bisa langsung hamil begitu saja?"
Sejenak dokter itu terdiam. Dia menatapku dengan tajam lalu berganti memandang ke arah Rossy, yang raut wajahnya terlihat pias. Dokter menyarankan agar aku memeriksakan kondisi Rossy ke dokter spesialis kandungan. Tanpa berpikir panjang, aku segera membawa Rossy ke dokter yang disarankan.
Bagai tersambar petir di siang hari bolong. Seluruh tubuhku bak dialiri ribuan volt arus listrik. Aku hanya mampu mengatupkan rahang. Gerahamku bergemelutukan. Tanganku mengepal. Ingin rasanya aku mengamuk dan mengobrak-abrik tempat praktek dokter kandungan, saat dokter itu menjelaskan hasil USG yang tertera di layar.
"Selamat, Pak. Kandungan istri Bapak, sudah menginjak usia dua bulan. Semoga, ibu dan bayinya sehat sampai nanti di hari persalinan."
*****
"Batas antara cinta dan bodoh itu setipis kulit ari. Terkadang kita lupa, bahwa diri sendiri pun berhak bahagia."
*****
Rossy menatapku dengan tajam saat aku melangkah keluar dari kamar mandi. Rossy menggenggam sebuah paspor di tangan kanannya. Wanita itu berdiri dan mengacungkan paspor itu tepat di depan hidungku.
"Kamu mau pergi ke mana, Dewa? Kembali ke Singapura? Atau mau melanglang buana lagi, dari satu tempat ke tempat lain, sehingga harus membawa paspor saat ke Jakarta?"
Tanganku terangkat, hendak mengambil paspor yang dia acungkan, tetapi dengan cepat tangan kirinya bergerak menepis. Segera saja dia menyembunyikan paspor itu di balik punggungnya.
"Jawab, Dewa! Kamu mau ke mana?"
Aku tak menggubrisnya, lalu melenggang melewati wanita yang masih saja memandangku dengan tatap mata penuh kecurigaan. Tak kusangka, Rossy malah bergeser dan menghadang langkahku. Dia berdiri begitu dekat, hampir tak berjarak denganku.
Aku mengalihkan pandangan, memalingkan wajahku ke samping. Tetapi, wanita itu terus saja memaksaku agar mau menatap ke arah matanya. Tangan kirinya yang bertutupkan sarung tangan berwarna hitam itu, memegang daguku. Menahanku untuk tidak memalingkan muka dari wajahnya.
"Ros, jangan kekanak-kanakan seperti ini, tolong. Ada Eizka di belakangmu. Jangan sampai dia melihat apa yang kamu lakukan. Tolong, Ros."
Aku berkata dengan pelan, agar Eizka tak mendengar. Namun, Rossy masih saja kukuh dengan sikapnya. Malahan tekanan jemarinya begitu terasa di kulitku. Aku mendekatkan wajahku.
"Apa yang kamu inginkan sebenarnya, Rossalina Ayuningtyas? Belum cukupkah kau menggoreskan luka di hatiku selama ini? Lalu kini kau datang dan ingin mengoreknya kembali, begitu?"
Pelan saja bicaraku. Namun, aku yakin wanita itu mendengar nada kemarahan di setiap kalimat yang aku ucapkan. Perlahan-lahan dia menurunkan tangannya. Wajahnya tertunduk. Tanpa malu-malu, dia melingkarkan tangannya memelukku. Aku hanya diam, saat dia merebahkan kepalanya di dadaku.
Jika dahulu, saat dia menangis terisak di dadaku seperti sekarang ini, aku pasti akan membelai punggungnya dan mendaratkan kecupan lembut di dahinya. Memintanya untuk tenang dan menghentikan tangisnya. Tetapi kini, tidak.
Bagaikan patung, aku diam membatu tanpa ada sedikit pun keinginan untuk menenangkannya. Tubuhnya berguncang. Eizka yang melihat adegan itu, seketika berhenti melompat-lompat dan turun dari ranjang. Anak kecil itu mendekat ke arah kami, dan langsung menarik-narik gamis ibunya.
"Mami, Mami kenapa? Kok nangis? Om, Mami kenapa, Om?"
Aku mengelus kepala Eizka dengan lembut. Rossy masih saja tak berhenti menangis. Kaos yang kukenakan basah di bagian dada karena air matanya yang tak berhenti mengalir. Aku benci situasi seperti ini.
"Eizka sayang sama Mami, tidak? Kalau Eizka sayang sama Mami, Om minta sama Eizka agar tidak meninggalkan Mami sendirian. Mau?"
Anak kecil itu mengangguk dan memeluk ibunya. Aku menghela napas dengan berat. Ada satu rasa sakit yang kurasakan, ada pula rasa iba saat aku menatap bening mata Eizka. Tak seharusnya semua menjadi seperti ini.