Chereads / Kangen - Ku Akan Datang / Chapter 9 - Kangen - Ku Akan Datang (Bag. 9)

Chapter 9 - Kangen - Ku Akan Datang (Bag. 9)

"Ough ... apa itu ya?" tanya Rangga sambil meringis.

Satu kaki yang luka menyebabkan Rangga tidak dapat menekuk saat hendak berdiri. Ditinggalkan dulu Bisma dan ia kembali duduk beringsut di tanah, mendekati sesuatu yang tadi terlihat. Ia beringsut sambil tetap meluruskan satu kaki.

---

"Bang Yoga? Bang Yoga?"

Lamat mendengar suara yang berulang kali menyebut namanya, Prayoga perlahan bergerak. Tubuhnya menggeliat seperti menahan rasa sakit. Mata pun perlahan membuka. Namun, silau cahaya matahari membuatnya mengerjap-ngerjap melihat.

"Bang Yoga? Bang Yoga? Monitor, Bang Yoga?"

Begitu kembali berulang kali namanya disebut, Prayoga memaksa menegakkan tubuh. Ternyata usahanya tertahan oleh rasa sakit yang luar biasa di bagian kepala.

"Ough ... sa-sakit sekali!" rintih Prayoga.

Rasa sakit yang sangat menyengat dari kepala membuat tubuhnya hampir tergelimang. Cepat-cepat satu tangan menahan di permukaan puncak tebing itu agar tidak limbung. Sambil memegang kepala yang masih tertutup helm, Prayoga melihat ke sekeliling. Lalu, memeriksa tangan dan kaki dengan meraba-raba. Karamantel masih terpasang di pinggang dan helm masih melekat ke kepala.

"Bang Yoga? Monitor, Bang Yoga? Bang Yoga?"

Suara Rangga kembali terdengar memanggil. Prayoga seperti tersadar. Cepat-cepat ia menjawab.

"I-iya, Rangga. Mo-monitor, Rangga," katanya dengan suara serak.

"Oooh, syu-syukurlah Abang ba-baik-baik aja. A-abang bisa turun?"

Suara Rangga dari ujung sambungan suara terdengar gembira. Walau tersendat-sendat bicara tetapi Rangga kedengaran baik-baik saja.

"Bi-bisa, Rangga. Gimana ka-kalian di sana?" tanya Prayoga tergagap menahan nyeri.

Ia terus memegangi kepala yang terasa sangat nyeri. Suhu udara yang kembali panas, menyebabkan tubuhnya serasa terbakar. Punggung yang terpanggang sinar matahari, memaksa Prayoga meregangkan otot sambil menahan sakit.

Didongakkan kepala menatap langit. Namun cuaca yang sekarang kembali bersinar cerah, seakan menguatkan Prayoga. Ia mengembuskan napas dengan kencang.

"Kami selamat, Bang. Bisma dan aku terluka karena terlempar saat badai tornado datang tetapi kami selamat," jawab Rangga.

Sambil mendengarkan, Prayoga mencoba berdiri. Dengan bertopang pada kedua tangan, ia memaksakan diri untuk mengangkat badan. Namun, rasa nyeri di bagian punggung kelihatan sangat menyiksa saat berusaha berdiri. Prayoga memejamkan mata sambil mulut ternganga dan terus menegakkan tubuh.

"Abang bisa turun sendiri? Kalo turun mesti dibantu, aku yang naik untuk bantu Abang turun," kata Rangga lagi.

"Ough ... ng-gak usah, Rangga. A-aku u-usahain turun sendiri," jawab Prayoga sambil terus berusaha berdiri.

Karamantel yang masih terkait dengan piton di karang puncak tebing Shiprock itu, dipegang erat-erat. Dengan susah payah, akhirnya ia dapat berdiri.

Saat telah berdiri itulah, Prayoga baru menyadari ternyata ada luka-luka yang terbuka di punggung. Darah segar mengucur dari situ ke pinggang. Bahu dan kedua lengannya juga terluka. Saat memegang karamantel tadi, darah yang mengucur dari punggung ke pinggang membasahi telapak tangan.

"Aaargh!"

Tidak dapat menahan sakit lagi, Prayoga meraung melepaskan nyeri. Sambil menahan rasa sakit dengan mulut terganga, ia perlahan berjalan menuju tepi tebing untuk dapat turun. Namun karamantel yang terkait di webbing, tertahan saat berjalan.

Perlahan Prayoga duduk. Satu per satu deskender yang terkait di piton yang ia pakukan di karang puncak Shiprock saat topan tornado, dibuka dan dimasukkan ke dalam kantung di pinggangnya. Karamantel kini telah terlepas, ditarik dan dijulurkan kembali ke bawah tebing.

Dilongokkan kepala untuk melihat ke bawah. Timbul rasa gentar di dalam hati yang selama ini belum pernah dirasakan. Prayoga terdiam sesaat. Kedua tangan ditadahkan di depan dada dan matanya memejam.

"Amin," bisik Prayoga kemudian sambil membuka mata.

Lalu kedua tangannya yang gemetar itu, diusapkan ke wajah. Napas diembuskan panjang sambil mengumpulkan segenap keberanian, Prayoga perlahan duduk di tepi tebing puncak Shiprock.

"A-aku turun, Rangga," kata Prayoga.

---

Seharian tidak dapat menghubungi atau mendapat sambungan telepon dari Prayoga, Paramitha tidak terlalu memikirkan. Ia yang menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas seperti tidak ingin memaksa harus dikabari atau dihubungi. Beruntung pula, kegiatan di lokasi latihan pemanjatan tebing menyita tenaga dan perhatian sang perempuan pendaki. Selain itu, Paramitha juga menghabiskan waktu di rumah dengan membuat tulisan. Setelah selesai kegiatan di luar rumah, ia akan menghabiskan waktu untuk mengetik.

Pengalaman memanjat Paramitha dan Prayoga memang sudah diakui berbagai pihak. Bahkan lembaga nasional yang mewadahi pelaku dan penggiat pendakian, meminta mereka berdua untuk melatih dan menyusun buku teknik mendaki tebing. Khusus untuk Paramitha, Persatuan Olahraga Panjat Tebing Seluruh Indonesia meminta sang pemanjat tebing untuk memasyarakatkan kegiatan itu ke kaum hawa. Dengan pengalaman memanjatnya, tentu Paramitha dapat memberi pengarahan pada perempuan yang berminat mendaki tebing untuk mempersiapkan diri sesuai dengan kondisi fisik. Selain memberi pelatihan pemanjatan di area gedung organisasi itu.

Seperti di malam hari setelah siangnya menghabiskan waktu bersama para pemanjat tebing, Paramitha melanjutkan pengetikan. Namun di saat sedang duduk asyik mengerjakan ketikan, tiba-tiba ia seperti teringat sesuatu. Kedua tangannya memeragakan memegang dinding tebing saat memanjat. Wajah yang seperti sedang kebingungan itu, berdiri dan berjalan mendekati dinding ruangan.

Di situ ia kembali memeragakan posisi kedua tangan yang seolah-olah sedang memegang dinding tebing. Lalu, Paramitha berhenti bergerak.

"Prayoga yang tahu teknik ini sebenarnya," kata Paramitha pada diri sendiri.

Mendadak ia berbalik dan berjalan kembali ke arah meja. Diambilnya telepon dan membuka layar tampilan. Setelah dipencet nomor-nomor, alat komunikasi itu didekatkan ke telinga. Menunggu sambungan.

"Sekalian aja telepon untuk tanya kabar. Seharian ini gak ada berita dari Prayoga di Amerika."

Paramitha tersenyum dan terus mendekatkan telepon ke telinga untuk menunggu sambungan. Setelah beberapa saat menunggu tetapi tidak tersambung, ia kembali memencet nomor-nomor tadi sambil berjalan mendekati jendela. Di situ Paramitha berdiri memandang ke luar.

Namun, heningnya malam dan kegelapan di luar membuat Paramitha menjadi gelisah saat sambungan telepon yang dilakukannya kemudian pun tidak tersambung. Sambil berdecak karena risau, ia kembali memencet nomor-nomor tadi untuk meyembungkan telepon ke alat penerima sambungan komunikasi yang dioperasikan Rangga dan Bisma.

"Ck, kog gak bisa tersambung juga ya?" tanya Paramtha lagi pada diri sendiri.

Ia terdiam sambil berdiri menyandarkan punggung di dinding dekat jendela. Mengernyit, Paramitha membalikkan badan menerawang ke kegelapan malam. Telepon dipegang dengan satu tangan yang dilipat di perut, jemari satu tangan yang lain mengetuk-ngetuk pipi.

"Besok ajalah aku tanya. Mungkin sedang ada gangguan cuaca makanya gak bisa tersambung."

Tersenyum, Paramitha berjalan ke arah meja. Diletakkannya telepon genggam di situ dan ia bersiap kembali melanjutkan pengetikan. Melihat gelas minuman yang tadi dibuat masih penuh, Paramitha mengangkat dan meneguk isinya. Lalu, jemarinya dengan lincah menaik-turunkan layar komputer untuk membaca apa yang telah diketikkan sebelumnya. Tampak Paramitha tidak berfirasat apa-apa tentang keadaan yang sedang dihadapi oleh Prayoga dan kedua orang tim ofisialnya di New Mexico.

---

Bersambung