Hari ini aku merasa tak enak badan, rasanya sakit semua. Apa mungkin aku masuk angin, karena tadi malam tidur di pos satpam. Padahal hari ini aku ada ujian untuk kenaikan kelas, jika tidak ikut, maka aku harus mengikuti ujian susulun beberapa minggu lagi setelah ujian selesai.
Ingin sekali aku masuk sekokah hari ini, tapi badanku rasanya nyeri semua. Tak bisa ku paksa, Bi Ningsih saja saat melihatku tadi, jadi tak tega membangunkanku, karena suhu tubuhku yang sedikit hangat.
Krak...
Terdengar suara pintu terbuka. Mungkinkah Mama atau Papa yang masuk ke kamarku, untuk melihat kondisiku hari ini. Aku memutar tubuhku menghadap kesamping kanan, ku lihat Bi Ningsih yang sedang membawa sarapan dan susu untukku.
Kenapa bukan Mama yang membawa sarapan untukku, biasanya jika Gavriel yang sakit pasti Mama sendiri yang akan merawatnya.
"Sarapan dulu ya, Den! Setelah itu minum obat, biar cepat sembuh." Ucap Bi Ningsing sembari memberikan nampan berisi roti dan susu.
Aku menerimanya, lalu memakannya tanpa perlu dibantu Bi Ningsih. Ku minum juga susu dan obat yang dibawa Bi Ningsih, karena aku tak mau sakit terlalu lama. Aku harus segera mengikuti ujian kenaikan kelas. Jika tidak, bisa-bisa aku jadi tak bisa naik kelas bersama dengan teman-teman lainnya.
"Bi, Mama mana? Kenapa tak melihatku yang sedang sakit? Apa, Mama belum tau kalau aku sakit."
"Nyonya sedang dimeja makan, Den. Sarapan sama Tuan dan den Gavriel. Katanya mau mengantar den Gavriel sekolah, karena hari ini, den Gavriel ujian kenaikan kelas. Mungkin nanti siang setelah mengantar den Gavriel, Nyonya akan menjenguk, Aden."
Aku menghela nafas panjang, aku sakit pun Mama tak mau melihatku, hanya Gavriel saja yang ia pedulikan. Tadi malam saja Mama seperti tak mengkhawatirkan keadaanku. Hanya Papa yang tampak mengkhawatirkan aku. Ingin sekali, aku dekat dengan Mama, seperti Gavriel. Apa mungkin aku harus lebih banyak berkomunikasi dengan Mama? Agar hubungan kami lebih baik. Dan aku bisa mendapatkan perhatian dan kepedulian Mama lagi.
Bi Ningsih sudah keluar dari kamarku. Setelah memastikan aku meminum obat yang telah dibawanya. Aku memilih untuk mengambil buku pelajaran yang akan diujikan besok, meski sakit. Aku harus tetap belajar, agar tetap bisa mendapatkan juara satu dikelas. Aku adalah anak yang suka belajar, hal ini ku lakukan untuk mendapatkan perhatian dan pujian dari Papa dan Mama. Agar mereka tak merasa malu saat berkumpul dengan para koleganya, dan bangga memiliki anak yang berprestasi. Meski, yang dibanggakan selalu Gavriel. Tapi aku yakin, suatu saat Papa dan Mama pasti membanggakan aku juga didepan teman-temannya. Bukan hanya Gavriel.
Selang beberapa waktu, setelah Bi Ningsih keluar dari kamarku, Papa tiba masuk untuk melihat kondisiku. Aku tersenyum kala melihat Papa, meski Mama sering kali tak memperdulikan aku. Setidaknya, aku masih punya Papa yang begitu peduli padaku.
"Jo, gimana keadaanmu? Bi Ningsing tadi bilang kalau kamu demam,"
"Iya, Pa. Badan Jo sakit semua, tapi tadi sudah minum obat kok. Papa gak perlu khawatir." Papa membelai rambutku, seperti ada tatapan rasa bersalah dari sorot matanya.
"Maafin Papa ya, Jo. Kemarin Papa lalai menjaga kamu, sampai kamu harus tertinggal sendirian di Mall."
Aku tersenyum mendengar ucapan Papa. Walau bagaimanapun ini bukan salah Papa, karena aku yang terlalu lama ke toilet. Hingga tertinggal di Mall, dan pada saat itu Papa juga tengah asik ngobrol dengan Om Pras. Maklumlah, dua teman lama yang sudah bertahun-tahun tak berjumpa.
"Gak papa, Pa. Ini semua bukan salah Papa, aku saja yang ceroboh. Karena, tak minta ditemani oleh Papa dan Mama kemarin." Papa tersenyum mendengar tanggapanku. Dia mencium dan memelukku, aku bersyukur meski Mama sering kali tak peduli padaku. Tapi, tidak dengan Papa.
"Papa berangkat ke kantor dulu ya, Jo! Kalau sampai nanti siang panasmu tak kunjung turun, minta antar Mama kedokter ya!."
Aku mengangguk menyetujui ucapan Papa. Semoga saja tak perlu kedokter, cukup istirahat saja dan aku akan segera pulih. Papa pun pergi meninggalkan ku seorang diri dikamar, setelah selesai membaca pelajaran yang akan diujikan besok, aku akan tidur, untuk memulihkan keadaan. Supaya besok bisa masuk sekolah seperti biasa, dan mengikuti ujian kenaikan kelas.
***
Keesokan harinya, tubuhku sudah tak merasa nyeri lagi. Dan badanku sudah tak panas lagi, akhirnya aku bisa sekolah seperti biasa. Aku turun menuju lantai bawah untuk sarapan bersama Papa, Mama dan juga Gavriel.
Dimeja makan, belum terlihat Papa, Mama dan juga Gavriel. Mungkin mereka masih diatas, aku membuat roti kesukaanku sendiri, tanpa perlu bantuan dari Bi Maria. Dia hanya menyiapkan susu untukku. Beberapa saat kemudian, setelah aku sudah selesai membuat roti selai, akhirnya Papa dan Mama juga turun, diikuti Gavriel yang dituntun oleh Bi Ningsih.
Hari ini, aku akan meminta maaf pada Mama, karena kejadian kemarin lusa. Aku sudah menyusahkan Mama untuk mencariku.
"Jo minta maaf ya, Ma! Gara-gara Jo, Mama harus mencari kesana-kemari di Mall." Mama melihat kearahku, dia seperti kesal karena masalah yang kemarin. Bukankah harusnya dia khawatir jika aku hilang seperti kemarin.
"Makanya, kalau ke toilet itu jangan lama-lama. Kalau sudah hilang kayak kemarin, Mama juga yang susah. Muter-muter seisi Mall, hanya untuk mencari kamu. Capek tau gak! Tau-taunya kamu ada di pos satpam enak-enakan tidur. Lah, Mama sama Papamu yang ruet nyariin."
Aku menunduk mendengar ucapan Mama. Dia begitu terpaksanya mencariku, hingga berkata demikian. Aku mana tau akan tertinggal dari mereka, andai aku tau. Aku tak kan ke toilet. Biar saja aku manahan pipis hingga sampai rumah.
"Ma, harusnya kamu yang minta maaf sama Jo. Dia tertinggal di Mall karena ulahmu, jika saja kamu mau menemani dia ke toilet. Sudah pasti dia tak akan tertinggal seperti kemarin."
"Kok aku sih, Pa. Dia kan sudah paham sama tempat itu, jadi tak perlu ditemani segala. Biar saja dia sendiri, setidaknya belajar berani ditempat umum."
Papa menggelengkan kepala, seolah heran dengan tanggapan Mama yang masih saja menyalahkan aku. Andai Gavriel yang ada diposisiku waktu itu, aku yakin Mama akan sangat khawatir. Dan tak akan menyalahkan Gavriel. Bahkan jika Gavriel hilang karena keteledoranku, Mama pasti akan sangat murka.
"Mas Jo hilang kemana, Ma? Kenapa Gavriel gak diajak nyari juga, Gavriel kan khawatir juga kalau mas Jo hilang." Anak itu terlihat tulus dengan ucapannya.
"Gavriel kan masih kecil, Sayang! Gak boleh ikut nyari, nanti yang ada Gavriel hilang juga lagi, sama seperti mas Jo kemarin."
"Oh begitu ya! Tapi, mas Jo baik-baik saja kan, Ma. Gavriel gak mau mas Jo kenapa-napa. Karena Gavriel sayang sama mas Jo."
Mama mengangguk, merespon ucapan Gavriel. Gavriel memang anak yang tulus menyanyangiku, meski sering kali dia usil terhadapku. Aku sebagai saudaranya, hanya bisa maklum. Karena dia masih anak-anak.