Chereads / Dendam Anak Pungut / Chapter 15 - Bab 15 Orang Asing

Chapter 15 - Bab 15 Orang Asing

Aku berjalan menuju halaman rumah, menghilangkan rasa jenuh yang sedari tadi membuatku terus mengingat perbuatan kedua orang tuaku. Apa yang harus aku lakukan sekarang, mau bermain. Tapi dengan siapa? Gavriel saja tidak ada. Ku lihat rumah seberang yang merupakan rumah Viola, disana tampak sepi. Hanya ada sopir yang sedang melap mobil keluarga Viola.

Bermain ayunan sendirian sungguh sangat tidak menyenangkan, aku berhenti sejenak. Saat ada seorang wanita yang kelihatan lebih muda dari Mama, tapi mungkin hanya beda beberapa tahun saja. Penampilannya seperti bukan dari golongan elite, jika memang teman Mama. Aku yakin wanita itu pasti berpenampilan mewah, tapi tidak dengan wanita satu ini.

Dia melihat ke dalam rumahku, melalui pagar besi depan halaman rumah. Sebenarnya siapa dia? Mengapa dia tampak mencurigakan, aku takut kalau dia adalah seorang penculik anak. Aku turun dari ayunan dan berlari untuk masuk kedalam rumah. Namun, belum sempat aku membuka pintu, wanita tadi tiba-tiba memanggilku. Aku menoleh kearahnya, ada rasa kasihan dan rasa takut dalam pikiranku untuk menghampirinya.

"Nak, sini. Ibu gak punya niat jahat sama kamu. Ibu hanya ingin menanyakan sesuatu, kemarilah!" Dia memanggilku kembali, dari sorot matanya, sepertinya dia bukan orang jahat seperti dugaanku.

Dengan meyakinkan hati, aku melangkah menuju wanita itu. Lagi pula dia hanya ingin menanyakan sesuatu katanya, siapa tau dia mau menanyakan alamat saja.

"Mau nanya apa, Bu?" Tanyaku dari dalam pagar besi. Aku tak mau membuka gerbang rumah ini, aku harus waspada terhadap orang baru. Apalagi saat ini Papa dan Mama sedang tidak di rumah. Kalau aku hilang, siapa nanti yang akan mencariku.

"Kemarilah, Nak. Ibu janji tak akan berbuat jahat padamu. Kalau Ibu sampai berbuat jahat, kamu bisa berteriak sekerasmu. Agar orang-orang kompleks disini bisa menolongmu." Aku semakin tak tega pada wanita itu, apalagi Dia terlihat sangat tulus. Aku menelan saliva, sebelum benar-benar membuka pintu gerbang rumahku. Semoga saja ucapan wanita tadi benar, bahwa dia tak akan mencelakai ataupun menculikku.

Saat sudah berada diluar pagar wanita itu menyentuh pipiku lembut, aku semakin takut dengan tingkah wanita itu. Siapa sebenarnya dia, tadi berkata ingin menanyakan sesuatu. Tapi saat ditanya mau bertanya apa, malah menyuruhku keluar dan tak menanyakan apa-apa.

"Ibu mau nanya apa? Kalau tidak ada yang ingin ditanyakan, aku masuk, Bu. Papa melarangku untuk berbicara dengan orang tak dikenal." Wanita itu berhenti menyentuh pipiku. Dan kulihat, sepertinya dia menangis. Apa kata-kataku tadi menyakitinya?

"Ibu kenapa menangis? Apa kata-kataku menyakiti, Ibu?"

"Tidak, Nak. Ibu hanya teringat dengan anak Ibu, oh ya, umurmu berapa sekarang?"

"Aku 8 tahun, Bu. Apa anak Ibu seumuran denganku?" Wanita itu mengangguk, dan menghapus sisa air mata yang terjatuh tadi.

"Dia seumuran denganmu, tapi Ibu tak bisa bersamanya. Karena sebuah ambisi, Ibu mengirimnya ke suatu tempat, Nak."

"Ambisi itu apa, Bu?" Tanyaku yang tak mengerti dengan ucapan wanita itu. Dia tersenyum dan duduk jongkok untuk menyamai tinggiku, dia membelai rambutku pelan.

"Suatu saat, ketika kamu dewasa. Kamu akan tahu, apa ambisi itu. Kamu harus belajar dengan benar ya! Jadi anak yang pintar, dan cerdas."

Aku merasa aneh dengan perkataan wanita ini, mengapa dia berkata seperti itu padaku? Apa mungkin karena teringat dengan anaknya, makanya da berkata seperti itu.

"Ibu pergi dulu ya, Nak! Jaga diri kamu baik-baik, suatu saat Ibu akan kembali melihatmu,"

"Sebenarnya, Ibu ini siapa? Mengapa berkata demikian padaku. Aku juga tak kenal Ibu," wanita itu hanya tersenyum dan berlalu begitu saja, tanpa menjawab pertanyaanku.

Lama ku pandangi wanita itu, hingga ia tak terlihat lagi. Kasian wanita itu, saking rindunya pada anaknya. Dia seperti sangat sedih saat berbicara denganku, kata-katanya tadi seperti pesan yang tersirat untuk anaknya. Lama aku termenung di depan gerbang, hingga terdengar suara klakson dari mobil yang hendak masuk ke dalam rumah. Dan mobil itu milik Kakek dan Nenek.

***

Aku senang Nenek dan Kakek mengunjungiku, apalagi saat ini sedang tak ada Papa dan Mama di rumah. Atau mungkin Papa dan Mama ya! yang menyuruh mereka untuk mengunjungiku. Kakek dan Nenek membawa banyak oleh-oleh untukku, karena hanya ada aku sendiri di rumah, jadi semua ini untukku.

"Jo, kamu buat salah apa sama adik kamu, sehingga Papa dan Mamamu menghukum kamu untuk tidak ikut berlibur bersama mereka?"

"Jadi, aku tidak diajak liburan karena mereka menghukumku, Nek? Jadi benar, apa yang dikatakan Om Pras dan Tante Ningrum kemarin, kalau aku dihukum dengan tidak ikut liburan oleh Papa dan Mama?"

"Nenek juga tidak tau pasti, Jo. Mereka hanya bilang, kalau kamu dihukum karena teledor menjaga Vio. Memangnya apa yang terjadi, hingga kamu dihukum seperti ini?" Nenek mungkin sudah mengenal keluarga Om Pras, hingga tak menanyakan siapa Vio dan siapa Om Pras padaku. Toh, Papa dan Mama sepertinya sudah lama mengenal mereka, jadi Nenek dan Kakek pasti juga mengenal mereka.

Aku benar-benar tak habis pikir pada kedua orang tuaku, mereka tega meninggalkan aku sendiri di rumah hanya karena ingin menghukumku. Apa mereka sama sekali tak mengkhawatirkan aku? Kapan aku bisa dimanjakan oleh mereka, sama halnya dengan Gavriel.

"Kemarin Jo bermain sama Vio dan Gavriel, Nek. Dekat kolam renang, terus Gavriel tak sengaja menyenggol bahu Vio, hingga Vio jatuh ke kolam. Jo berusaha nyelametin Vio, tapi yang ada, Mama malah menyalahkan aku, karena tak bisa menjaga Vio dengan benar. Itu kan bukan salah Jo, Nek. Hu... hu...hu..." Aku pun tak bisa untuk tidak menangis didepan Kakek dan Nenek, karena aku benar-benar sedih.

"Jangan sedih ya, Jo. Kan ada Kakek sama Nenek yang nemenin kamu disini. Nanti, Jo bisa main sama Kakek. Atau kita pergi jalan-jalan, ya!" Aku terdiam mendengar kata-kata Kakek, bukannya aku tak suka. Bila ditemani mereka, tapi aku merasa menjadi orang paling menyedihkan. Sebab, tak mendapatkan kasih sayang dari orang tuaku.

"Papa sama Mama gak sayang sama Jo ya, Kek! Kenapa mereka lebih sayang sama Gavriel. Aku kan, juga anak mereka, Kek," aku menatap Kakek yang terlihat sedih mendengar pertanyaanku.

"Mereka sayang sama Jo, sama halnya dengan Nenek dan Kakek yang juga sayang sama Jo. Mereka menghukum Jo, biar Jo jadi anak yang baik, dan gak nakal, selalu nurut sama kata Papa dan Mama."

"Jo selalu berusaha untuk tidak menjadi anak yang nakal, Nek. Jo juga nurut sama Papa dan Mama.Tapi, kenapa selalu Jo yang disalahkan sama Mama, Nek. Meski itu semua salah Gavriel, aku tau Gavriel masih anak-anak. Tapi aku juga masih anak-anak, Nek. Umurku saja masih 8 tahun. Kenapa mereka tega ninggalin Jo di rumah sendirian, sedangkan mereka pergi liburan. Jo kan juga pengen liburan, Nek."

Nenek memelukku, aku menangis sejadi-jadinya dipelukan Nenek. Menumpahkan semua rasa sedih karena ditinggal oleh Papa dan Mama. Saat ini, hanya Kakek dan Nenek yang dapat membuatku tenang, setidaknya ada mereka yang menemaniku disini. Meski aku tak merasakan indahnya liburan bersama Papa dan Mama dan juga adikku, Gavriel.