Sudah dua hari Kakek dan Nenek menginap di rumahku. Dan semenjak itu, aku tak merasa kesepian lagi. Meski Papa dan Mama sedang liburan bersama Gavriel dan keluarga Viola. Apalagi, selama Kakek dan Nenek ada disini, mereka selalu membawaku bermain. Kadang pergi jalan-jalan saja, tapi hal itu membuatku cukup senang dan tak lagi memikirkan mereka yang sedang berlibur.
Selama Papa dan Mama pergi liburan, mereka tak pernah sekalipun mengabari atau menanyakan keadaanku. Namun, beberapa kali aku melihat Kakek ataupun Nenek dihubungi oleh Papa dan Mama. Sayangnya, mereka tak pernah menanyakan aku. Aku seperti tak pernah ada dalam hidup mereka, hingga tak pernah ingin tau kabarku. Meski aku disini baik-baik saja.
Ku lirik handphone Kakek yang sedari tadi melihat status WhatsApp diponselnya, hingga tepat pada story Mama yang sedang bermain banana boat dipantai, disitu juga terlihat Viola dan Gavriel bermain menggunakan banana boat khusus anak-anak. Seru sekali sepertinya disana, Gavriel dan Viola tampak sangat ceria.
"Enak ya mereka, bisa main kayak gitu, Kek. Jo juga mau main seperti Gavriel dan Viola, Kek." Kakek menoleh kearahku yang sedari tadi fokus pada ponselnya.
Mungkin kakek merasa bersalah, karena melihat status Mama diponselnya. Hingga ia meletakkannya di atas meja, tanpa melanjutkan melihat status WhatsApp lagi.
"Nanti Jo main sama Kakek ya! Tapi di kolam saja, gimana?"
"Ah, Kakek. Kalau hanya main di kolam aja mah, gak seru. Gak luas kayak pantai."
Kakek tertawa mendengar ucapanku, kami pun bercanda bersama. Aku tak mau terus-terusan memikirkan Papa dan Mama, karena hanya akan membuatku kecewa dan sedih lagi. Sedang asik bermain dan bercanda gurau dengan Kakek, tiba-tiba dering suara ponsel terdengar dari ponsel Kakek.
"Hai, Pa. Apakah Papa masih di rumahku?" Tanya seseorang diseberang sana. Aku melihat layar ponsel Kakek, ternyata Papa sedang melakukan video call. Aku mundur saat tau kalau itu Papa, karena aku masih merasa sangat kecewa padanya.
"Iya, Yasa. Ada apa? Tumben sekali kamu menanyakan itu, memangnya ada apa?"
Ya, ada apa? Sehingga Papa menanyakan hal itu pada Kakek, apa mereka berencana untuk lebih lama disana. Menunggu hingga liburan usai, baru setelah itu mereka akan pulang.
"Tidak apa-apa, Pa. Yasa hanya bertanya saja, Yasa pikir Papa sudah pulang dari rumah. Oh ya, Pa. Dimana Jo, sepertinya tadi dia ada didekat Papa?" Kakek menyodorkan ponselnya padaku, namun aku merasa ragu untuk menerimanya. Antara rasa marah dan takut, Jika Papa masih marah padaku.
"Ini papamu nanyain, Jo."
Aku menerima ponsel Kakek yang ia berikan padaku, meski harus menahan rasa takut dan marah yang ku alami. Aku tak langsung berbicara dengan Papa, karena dari kejauhan, dia tampak sedang asik mengobrol dengan seseorang yang aku tak tau siapa.
"Hai, Jo. Bagaimana keadaanmu disitu? Kamu gak nakal kan, selama gak ada Papa dan Mama."
Lagi-lagi itu yang dikatakan oleh Papa, mengapa dia selalu menganggapku nakal. Padahal selama ini aku selalu patuh terhadap semua ucapan Papa, Gavriel saja yang nakal tak pernah diungkit kelakuannya, mengapa denganku seolah selalu berbuat yang salah.
"Baik, Pa. Kenapa sih, Papa selalu menganggap aku nakal, memang selama ini, aku selalu berbuat salah ya!"
Ku tanyakan sekalian pada Papa, tingkah apa yang membuatku dicap nakal olehnya. Bahkan jika Gavriel yang nakal, pasti aku yang selalu kena imbasnya, bukan dia.
"Nggak, kamu gak nakal kok. Hanya saja, Papa takut kamu malah merepotkan Kakek dan nenekmu selama kami pergi."
"Kalau memang Papa takut merepotkan Kakek dan Nenek, kenapa aku gak diajak, Pa? Malah ditinggal sendirian di rumah. Sedangkan kalian asik menikmati liburan bersama, kenapa Papa tega sama Jo, Pa." Papa terdiam sejenak mendengar perkataanku.
Sebelum Papa melanjutkan ucapannya, terdengar suara Gavriel yang berteriak memanggil Papa. Perhatian Papa teralihkan pada Gavriel. Terlihat Gavriel dari seberang sana, Papa menunjukkan ponselnya pada Gavriel. Hingga dia pun tau kalau Papa sedang melakukan video call denganku.
"Hallo, Mas Jo. Gavriel seneng loh liburan disini, seru! Tadi aku habis main sama Vio, sama Mama, sama mommynya Vio juga. Pokoknya seru banget, sayangnya mas Jo gak ikut. Jadi gak bisa main bareng, deh!"
Entah kenapa, aku merasa kesal dengan cerita Gavriel tadi. Meski dia memang tak bermaksud untuk memamerkan keseruannya bermain, karena dia masih anak-anak yang suka menceritakan aktivitas yamg membuat dia senang pada semua orang, tapi aku merasa sedih. Karena penyebab aku tak ikut liburan adalah dia. Andai dia tau, dan mengerti itu. Sayangnya dia masih anak-anak yang begitu polos.
"Kamu bersenang-senang disana, Dek. Sedangkan aku, disini hanya bisa bermain dengan Kakek dan Nenek. Dan semua ini karena ulahmu, Gavriel." Batinku dalam hati.
"Kok Mas Jo diem aja sih!"
"Oh, nggak. Mas Jo cuma lagi ngebayangin aja, pasti seru ya, Dek. Liburannya! Sayangnya mas Jo gak diajak sama Papa dan Mama, jadi gak bisa main bareng sama Gavriel." Sengaja ku perjelas kata-kataku yang mengatakan tidak diajak. Biar saja Papa merasa tersindir. Meski aku sendiri sangat kesal dengan cerita Gavriel.
"Sudah ya! Gavriel main sama Vio lagi sana, Papa mau bicara dulu sama Mas Jo ya!"
Papa menyuruh Gavriel untuk bermain dengan Vio, karena ingin melanjutkan pembicaraan denganku. Apa mungkin Papa merasa tersindir ya! Dengan kata-kata tadi. Jika memang iya, baguslah. Dengan begitu, Papa tau kalau aku tak suka dengan perlakuannya padaku, mementingkan hukuman dari pada kebahagiaan anaknya sendiri.
"Jo, dengar Papa ya! Papa melakukan semua ini, juga demi kebaikan kamu. Agar kamu bisa terdidik menjadi anak yang lebih mengerti pentingnya tanggung jawab, kalau tidak dari sekarang kamu belajar. Maka sampai kamu remaja atau dewasa pun, tak akan pernah tau betapa pentingnya, menjaga amanah yang orang lain berikan sama kamu. Papa janji, pulang nanti, Papa akan belikan oleh-oleh apapun yang kamu mau. Sekarang ini, kamu hanya perlu baik-baik saja sama Kakek Nenek ya! Belajarlah menjadi anak yang tangguh dan mandiri selama Papa dan Mama gak ada."
Panjang lebar Papa menjelaskan ini dan itu, meski aku sedikit paham dengan apa yang Papa bicarakan sejak tadi. Nyatanya, tetap saja aku merasa seperti bukan anak Papa dan Mama. Karena mereka sering kali mengajari ini itu padaku, tapi tidak pada Gavriel.
"Iya, Pa." Ku iyakan saja ucapan Papa. Aku tak mau membantah, agar tak selalu dicap sebagai anak nakal. Ku kembalikan ponsel pada Kakek tanpa berpamintan terlebih dahulu pada Papa.
"Sudah?" Tanya Kakek padaku, dan aku hanya membalas dengan mengaggukan kepala tanpa mau berkata apa-apa lagi.
Kakek berlalu dari sampingku, sambil membawa kopi yang ia minum tadi dan tetap melakukan panggilan video call dengan Papa. Aku pun sibuk bermain PS di ruang keluarga, karena semenjak ada Kakek, aku selalu bermain dengan Kakek, untuk mengusir ingatanku pada Papa, Mama dan juga Gavriel.