Hari ini adalah hari ketiga libur panjang, seperti biasa jam 7.00 pagi aku akan turun untuk sarapan. Dan bermain dengan Gavriel, hari ini aku ingin sekali menyuruh Gavriel untuk meminta Mama membawa kami ke tempat bermain anak. Menghabiskan waktu libur bersama, karena jika hanya bermain di rumah sangat bosan sekali pastinya.
Rumah tampak sepi, saat aku keluar dari kamar. Padahal ini masih sangat pagi, biasanya Bi Maria sudah sibuk dimeja makan menyiapkan piring serta susu untukku dan Gavriel. Bi Ningsih juga tak ada, biasanya pagi begini dia sudah bergegas ke kamar Gavriel. Lebih baik aku sarapan terlebih dahulu, mungkin nanti Papa, Mama dan juga Gavriel akan turun beberapa saat lagi.
Alu mulai membuat roti selai coklat kesukaanku, Bi Maria memberikan susu padaku. Tapi anehnya, piring dimeja makan hanya satu saja, yaitu piring untukku. Begitu pula susu yang dibuat Bi Maria juga hanya satu, biasanya dia membuat dua. Aku merasa aneh karena tak seperti biasanya. Apa mungkin Bi Maria bangun kesiangan, hingga belum menyiapkan semuanya.
Hanya butuh beberapa menit saja untukku habiskan sarapanku. Tak kunjung ada yang turun dari lantai atas, tumben sekali. Biasanya, Papa sudah turun dari tadi sebelum aku menghabiskan sarapanku.
Aku beranjak menuju lantai atas, memastikan bahwa Papa dan Mama memang sengaja belum turun. Aku takut terjadi sesuatu dengan mereka, atau dengan Gavriel. Karena anak itu juga belum turun juga sedari tadi, dan aku juga tak melihat Bi Ningsih yang biasanya sedang mengurusi Gavriel.
Sampai di lantai atas, tepatnya didepan pintu kamar Papa dan Mama. Ku ketuk perlahan, karena Papa selalu mengajarkan padaku. Jika ingin masuk kamar seseorang, harus meminta izin terlebih dahulu bagi penghuninya.
Tok...tok... tok...
Tak ada jawaban dari dalam kamar Papa dan Mama. Hingga beberapa kali ku ketuk, tetap saja tak ada jawaban. Aku mencoba membuka kamar Papa dan Mama perlahan, takutnya mereka memang tak mendengar suara ketukan pintu dariku. Saat pintu mulai terbuka, tak ku lihat siapapun didalam sana. Kemana perginya mereka, pagi-pagi begini sudah tak ada di rumah.
Apa mungkin terjadi sesuatu pada Gavriel? Sepertinya dia juga tak ada di kamarnya. Aku beralih menuju kamar Gavriel, dia juga tak ada disana. Bahkan Bi Ningsih juga tak ada. Kemana sebenarnya mereka pergi? Kenapa tak ada yang memberitahu aku? Aku berlari menuruni tangga, untuk menanyakan kemana perginya Mama, Papa, dan Gavriel pada Bi Maria.
"Bibi, kemana Papa dan Mama? Mengapa mereka tak ada dikamar? Gavriel juga gak ada, Bi Ningsih juga gak ada. Apa terjadi sesuatu sama Gavriel? Mengapa pagi-pagi sekali sudah tak ada di rumah."
Bi Maria melihat ke arahku seperti tatapan kasihan. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa aku sendiri yang tidak tau kemana perginya orang-orang di rumah ini.
"Maaf ya, Den. Bi Maria gak langsung ngasih tau sama Aden. Sebenarnya Tuan sama Nyonnya dan juga Den Gavriel pergi berlibur ke pulau Bali bersama keluarganya Pak Pras, Den. Berangkat pagi-pagi sekali tadi, sekitar jam 04.00 subuh, karena penerbangannya akan dilaksanakan jam 06.00 tadi, Den."
Jadi mereka pergi liburan, kenapa aku tak diajak. Kenapa hanya menyisakan aku sendiri disini, aku juga ingin ikut. Aku belum pernah ke Bali. Tahun lalu Papa dan Mama hanya membawaku ke puncak bersama Gavriel, itu pun tak jauh dari sini. Tak perlu naik pesawat, cukup menggunakan mobil dan menyewa villa untuk menginap.
"Tapi, kenapa aku tak diajak, Bi? Aku juga ingin liburan bersama mereka. Hu...hu...hu... Aku ingin ikut, Bi. Ayo antarkan aku ke bandara." Ku tarik celemek yang dipakai oleh Bi Maria, berharap dia bisa mengantarku kesana menyusul mereka. Siapa tau saat ini mereka belum berangkat.
Bi Maria memelukku, mencoba menenangkan aku yang tetap saja menangis. Setega itu mereka padaku, sebenarnya aku ini anak mereka atau bukan. Kenapa aku selalu diasingkan, dan diperlakukan seperti bukan bagian dari mereka.
"Den Jo jangan nangis ya! Kan disini ada Bibi yang jagain Den Jo, ada pak Joko yang bisa nganter Den Jo kemanapun Den Jo mau. Sudah ya! Jangan nangis lagi." Tetap saja aku tak bisa tenang dengan ucapan Bi Maria, karena dia bukan bagian dari keluargaku.
"Aku gak mau, Bi. Hu...hu...hu... Aku tetap mau ikut Papa sama Mama liburan, Gavriel diajak, tapi kenapa aku nggak, Bi. Ayo Bi! Anter aku ke Bandara. Panggil pak Joko untuk mengantarku, Bi."
"Gak bisa, Den. Bibi gak bisa nganter, Tuan dan Nyonya hanya berpesan untuk menjaga Den Jo disini. Den Jo jangan nangis lagi ya! Bibi gak tega kalau lihat Den Jo nangis begini,"
Bibi Maria memelukku erat, tangisku semakin menjadi. Aku ingin menyusul Papa dan Mama ke Bandara, tapi bagaimana caranya? Aku masih terlalu kecil untuk menyusul mereka sendirian kesana. Bagaimana jika aku tersesat, dan hilang seperti kemarin. Aku tak bisa berpisah dengan Papa dan Mama, karena hanya mereka orang yang paling aku sayangi.
***
Aku menonton televisi, kartun kesukaanku. Tapi semua itu tak bisa menghiburku, aku terus bertanya-tanya kenapa aku tak diajak liburan oleh Papa dan Mama. Apa mungkin ini semua berkaitan dengan kata-kata Om Pras dan Tante Ningrum kemarin? Apa ini yang dimaksud Papa dan Mama kemarin, tentang hukuman yang mereka berikan padaku? Apa harus dengan cara ini, mereka menghukum ku? Apa tak ada cara lain, seperti membersihkan kamar setiap hari sendiri.
"Bi, aku mau menelvon Papa." Pintaku pada Bi Sri yang sedari tadi menyapu didepan ruang keluarga. Dia adalah pembantu yang bertugas untuk membereskan rumah.
"Sebentar ya, Den. Bibi ambil dulu teleponnya." Bi Sri berlalu dari hadapanku, untuk mengambil telepon rumah yang terpasang dipojok kiri sofa. Ya, hanya itu yang bisa digunakan untuk menghubungi Papa maupun Mama. Karena usiaku yang masih belum cukup umur, Papa dan Mama melarangku memegang telepon seluler. Begitu pula dengan Gavriel.
"Ini, Den. Sudah Bibi sambungkan pada nomor handphone Tuan."
Aku menerima telepon rumah yang diberikan oleh Bi Sri, belum ada sambungan dari seberang sana. Sekian lama menunggu, tapi tak kunjung ada sambungan juga. Bahkan hingga telpon tersebut terputus secara sepihak, kenapa nomor Papa tidak bisa dihubungi.
"Bi, kenapa gak bisa ya?" Tanyaku pada Bi Sri yang sudah melanjutkan pekerjaannya sejak tadi. Bi Sri melihat ke arah jam dinding besar diatas televisi. Kemudian melihat kearahku.
"Mungkin masih dalam penerbangan, Den. Ini masih jam 8.00 . Bisa jadi, Nyonya sama Tuan baru melakukan penerbangan beberapa jam yang lalu."
Lagi-lagi aku menjatuhkan air mataku, mengingat kedua orang tuaku yang tega meninggalkan anaknya disini. Sedangkan mereka pergi liburan, para pembantu saja tau kalau mereka liburan. Karena mungkin Papa dan Mama sudah banyak meninggalkan pesan untuk mereka. Tapi, mengapa padaku tidak. Bahkan mereka tak memberitahuku kalau akan liburan ke Bali. Tau-tau aku sudah ditinggal saja.