Setelah kejadian tadi, Tante Ningrum langsung membawa Viola pulang. Meski acara membuat cake dengan Mama belum selesai, karena Tante Ningrum tak mau Viola kedinginan jika terlalu lama memakai pakaian basah. Mama tak kunjung usai memarahi aku, dengan alasan aku tak menjaga Viola dengan baik. Meskipun tadi sudah ku jelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi, hingga Mama mengadukan semua yang terjadi pada Papa.
Mama menelvon Papa yang saat ini sedang mensurvei cabang perusahaannya dibeberapa daerah. Hingga besok baru bisa pulang, aku takut jika Papa mendengar kejadian hari ini. Dia akan marah juga padaku. Semoga saja Papa bisa lebih percaya padaku, jika ku ceritakan kejadian yang sesungguhnya, hingga ia tak akan ikut memarahiku.
Gavriel sudah berhenti menangis sejak tadi. Sejak Viola dan Tante Ningrum pulang ke rumahnya. Semua ini gara-gara Gavriel. Andai saja dia mau mengatakan yang sejujurnya pada Mama, pasti aku tak akan dimarahi seperti ini. Aku harus menasehatinya, agar besok mau minta maaf pada Viola dan Tante Ningrum. Dia harus belajar mengakui kesalahannya, dan tidak melimpahkan kesalahan pada orang lain. Meski dia masih bocah berumur 6 tahun.
"Gavriel, kenapa kamu gak minta maaf sama Vio dan mommynya tadi? Dan mengatakan yang sebenarnya pada Mama dan mommynya Vio."
"Gavriel kan gak sengaja mas Jo. Masak harus minta maaf! Lagian itu salah Viola juga, karena dia tak mau jaga. Jadi membuat Gavriel kesal dan tak sengaja menabraknya hingga terjatuh."
"Tapi tetap saja kamu yang salah, Gavriel. Lihat, gara-gara kamu, mas Jo yang kena marah sama Mama. Apa kamu gak kasian sama mas Jo? Setiap hari mas Jo dimarahi sama Mama, karena ulah kamu. Katanya, Gavriel sayang sama mas Jo. Tapi kenapa Gavriel tega membuat mas Jo dimarahi sama Mama?" Aku mencoba menjelaskan akibat dari perbuatan Gavriel tadi, agar dia tidak seenaknya saja bersikap acuh dengan kesalahannya.
Gavriel menunduk mendengar kata-kataku. Aku berharap dia bisa merasa iba padaku, yang setiap hari harus rela dimarahi oleh Mama akibat ulahnya yang suka usil itu.
"Maafin Gavriel ya mas Jo. Besok Gavriel akan minta maaf sama Vio dan Tante Ningrum, supaya Mama gak marah lagi sama mas Jo."
"Makasih ya, Dek."
Ku peluk Gavriel, dia pun membalas pelukanku. Semoga dengan kejadian ini, dia tak lagi berbuat usil padaku atau siapapun itu. Hingga yag menadapat amarah Mama adalah aku.
***
Esok harinya, ku lihat Papa sudah ada di ruang keluarga sedang memeriksa beberapa berkas yang aku tak tau itu apa. Mungkin pekerjaan Papa di kantor sedang banyak hari ini. Aku mendekati Papa yang masih tak menyadari kedatangaku, aku harap Papa tidak ikut memarahiku. Karena persoalan kemarin Mama adukan pada Papa.
"Papa sibuk ya?" Papa menoleh kearahku, dan meletakkan beberapa lembar kertas yang dipegangnya tadi.
"Jo, Mama bilang kemarin Vio jatuh ke kolam gara-gara kamu? Apa yang kamu lakukan, hingga membuat Vio jatuh? Kamu mau buat Papa malu didepan Om Pras dan Tante Ningrum,"
Astaga, kenapa Papa malah ikut memarahiku. Harusnya Papa menanyakan terlebih dahulu, apa yang terjadi sehingga Viola jatuh ke kolam. Bukan langsung menuduh aku yang menyebabkan Viola jatuh.
"Nggak, Pa. Bukan Jo yang buat Vio jatuh, Jo cuma bantuin Vio saat hampir tenggelam di kolam. Vio jatuh karena ulah Gavriel, Pa."
"Bagaimana bisa Gavriel yang membuat Vio jatuh? Kenapa kamu malah menuduh adikmu? Dia masih bocah kecil yang tak tau apa-apa, beda dengan kamu, yang sudah mengerti ucapan orang tua" Lagi-lagi Papa seperti tak percaya dengan ucapanku, aku harus menceritakan yang sesungguhnya. Meski Gavriel belum mengakuinya pada Viola dan Tante Ningrum.
"Awalnya aku, Gavriel dan Vio main petak umpet, Pa. Aku yang jaga. Setelah itu, yang ku temukan terlebih dahulu Gavriel, baru kemudian Viola. Tapi, Gavriel gak mau jaga. Dia maunya sembunyi saja, terus dia nyuruh Vio yang jaga. Karena Vio gak mau, Gavriel jadi kesal dan menarik tanganku sambil berlari. Gavriel gak sengaja nyenggol bahu Vio, terus Vio jatuh deh ke kolam. Aku berusaha bantuin Vio, Pa. Dengan menarik tangannya dari atas kolam. Tapi, aku gak kuat. Jadi aku ikut terjebur juga ke kolam. Aku megangin tubuh Vio, agar dia tidak tenggelam. Lalu Mama dan Tante Ningrum datang, buat menyelamatkan Vio. Jadi begitu ceritanya, Pa."
Semoga saja setelah ini, Papa tak lagi memarahiku dan menyalahkan aku seperti Mama. Aku yakin Papa bisa mengerti, lagi pula selama ini, Papa yang selalu mengerti aku.
"Tetap saja, Jo. Harusnya kamu sebagai seorang Kakak bagi Vio dan Gavriel, bisa melindungi mereka. Apalagi itu menyangkut nyawa, kalau memang Gavriel gak mau jaga. Kenapa tidak kamu saja yang menjaga lagi? Kamu itu harus bisa mengalah sama adikmu, Papa gak mau kalau dia sampai kenapa-napa. Sama halnya dengan Viola, Papa juga tidak mau kalau dia kenapa-napa."
Ternyata dugaanku salah, kali ini Papa tetap menyalahkan aku. Meski sudah ku ceritakan sedetail mungkin kejadian kemarin, aku merasa ini semua tak adil bagiku. Hanya karena aku lebih tua dari Gavriel, aku harus selalu mengalah dengannya. Aku juga masih kecil, usiaku saja belum masih 8 tahun.
"Kenapa sih, Pa. Harus selalu Jonathan yang mengalah sama Gavriel. Jo juga masih anak-anak, Pa. Semua hal yang dilakukan sama Jo selalu saja salah, padahal kemarin Jo juga hampir tenggelam karena menolong Viola. Mama saja tak menolong Jo untuk naik keatas kolam, malah Mama hanya melihat saja saat Jo berusaha naik keatas kolam. Dan sekarang, Papa juga menyalahkan Jo karena kejadian kemarin."
"Papa bukan nyalahin kamu, Jo. Hanya saja, kamu itu lebih mengerti dari pada mereka. Mana yang bahaya atau tidak, jadi kamu harus lebih bisa menjaga mereka. Karena umur mereka dibawah kamu."
"Tapi, Jo juga masih anak-anak, Pa. Kenapa Jo terus yang dituntut untuk bisa melindungi mereka, kenapa mereka tak diberi nasehat juga sama Papa dan Mama. Agar tau, mana yang boleh dan mana yang tidak."
Belum sempat Papa menjawab ucapanku, Mama dan Gavriel sudah turun dari tangga dan mendekati aku dan Papa yang sedang membahas masalah kemarin. Kali ini, aku tak mau lagi disalahkan. Gavriel harus mau mengakui kesalahannya di depan Mama dan Papa, tak hanya itu Gavriel juga harus meminta maaf atas tindakannya kemarin yang hampir mencelakai nyawa Viola. Jika aku terus-terusan mengalah, maka sampai kapapun Gavriel tak akan tau pentingnya minta maaf dan mengakui kesalahan. Meski aku masih kecil, aku tak mau dituntut untuk selalu mengalah dengan kesalahan yang tidak aku perbuat.
"Sejak kapan kamu mulai berani melawan ucapan Papa, Jo? Siapa yang mengajari kamu untuk melawan orang tua, hah." Kali ini Papa benar-benar marah padaku. Tapi jika tidak sesekali membantah, aku akan terus-menerus disalahkan oleh kesalahan yang tak ku perbuat.
"Tapi, Pa....!"
"Tidak ada tapi-tapian, Papa akan menghukummu atas kejadian yang menimpa Viola, karena kamu, Papa dibuat merasa bersalah sama keluarga Vio. Putri satu-satunya hampir saja mati gara-gara kamu."